Setara Kritik Kebijakan Jokowi Terkait Pembangunan di Papua

Peneliti bidang HAM Setara Institute Ahmad Fanani Rosyidi saat mempresentasikan laporan Kondisi HAM di Papua tahun 2016 di kantor Setara Institute, Jakarta Selatan, Senin (20/2/2017)

JAKARTA, - Peneliti bidang Hak Asasi Manusia Setara Institute, Ahmad Fanani Rosyidi menilai, langkah politik Presiden Joko Widodo terkait pembangunan di Papua, ambigu.

Menurut Ahmad, Presiden Jokowi melakukan manuver politik dengan membuka kran demokrasi secara parsial.

"Pemerintah secara simbolik telah menunjukkan kepedulian pada penanganan persoalan Papua. Tapi di satu sisi, menurut catatan kami, Presiden tidak memiliki satupun kebijakan konkret dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dan kondisi demokrasi di Papua. Terlihat adanya ambiguitas dari langkah politik Presiden," ujar Ahmad, saat jumpa pers di Kantor Setara Institute, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (20/2/2017).

Ahmad tidak membantah fakta bahwa selama dua tahun masa pemerintahannya, Presiden Jokowi telah melaksanakan pembangunan infrastruktur di Papua.

Hingga 17 Oktober 2016, Presiden Jokowi sudah lima kali berkunjung untuk mengawasi pembangunan infrastruktur di Papua.

Meski demikian, langkah pemerintah hanya fokus pada pembangunan ekonomi dan infrastruktur.

Baca : Tolak Dialog, Solusi Papua - Perundingan Segitiga

Penanganan Papua terkait hak dan akses keadilan yang sama dengan warga negara Indonesia di daerah lain belum diperhatikan.

Sementara, permasalahan kekerasan politik dan masifnya pelanggaran HAM yang terjadi di Papua cenderung diabaikan dan belum dianggap sebagai persoalan serius oleh pemerintah.


Berdasarkan catatan Setara Institute pada tahun 2015, ada 16 peristiwa pelanggaran HAM di Papua.

Angka tersebut meningkat menjadi 68 peristiwa pada 2016 dengan 107 bentuk tindakan oleh negara melalui aparat keamanan, seperti Polri dan TNI.

Jika dirinci, bentuk tindakan yang kerap dilakukan oleh aparat umumnya berupa penangkapan, penyiksaan, dan kriminalisasi aktivis.

"Hal ini semakin menunjukkan bahwa pemerintah masih menghadirkan pendekatan militeristik dan aksi represif terhadap masyarakat Papua," kata dia.

Langkah politik Presiden yang terkesan ambigu dan kontradiktif, lanjut Ahmad, bisa dilihat dari kebijakan pemberian grasi untuk tahanan politik.

Di satu sisi, Presiden memberikan grasi terhadap enam tapol dan memberikan kebebasan pers asing.

Akan tetapi, di sisi lain, pemerintah melakukan aksi penangkapan secara masif terhadap aksi demonstrasi masyarakat Papua.

Bahkan, Presiden berencana membangun Kodam baru, Mako Brimob, pangkalan Angakatan Laut, dan penambahan pasukan di Papua.

Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos mengatakan, pemerintah harus merancang suatu kebijakan baru penanganan pelanggaran HAM Papua untuk memperoleh kepercayaan rakyat Papua.

Dengan demikian, dapat tercipta dialog-dialog lanjutan pembangunan Papua yang komprehensif.

Menurut Bonar, pemerintah dan warga Papua perlu mengupayakan dialog terbuka dengan komitmen tinggi untuk memahami Papua secara bersama-sama.

"Pemerintah harus mengedepankan pendekatan dialog dengan meletakkan kehormatan warga Papua, penegakan hukum atas berbagai pelanggaran HAM, dan intervensi kesejahteraan secara berkelanjutan sebagai kunci penanganan Papua yang komprehensif," kata Bonar.

Penulis    : Kristian Erdianto
Editor     : Inggried Dwi Wedhaswary
Sumber: KOMPAS.com

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »