SURAT PERNYATAAN PRESMA UNCEN: UPAYA MEMATIKAN RUANG DEMOKRASI DAN OTONOMI KAMPUS DI PAPUA

Oleh: Lagowan Checarson

Drama serial dari aksi klasik militer Indonesia yang selalu fobia dan paranoia terhadap aksi-aksi menuntut keadilan dan kebenaran di Papua baru saja menandai 17 Agustus ini. Aksi klasik teror, intimidasi dan represifitas yang dilakukan kepada Presbem Uncen, Ferry Kombo yang diakhiri dengan di tanda tanganinya surat pernyataan bermeterai di bawah tanda tangan rektor Uncen, Apolo Safanpo merupakan cara-cara kuno, tidak bermartabat dan indikasi bahwa Papua masih diperlakukan seperti di bawah zaman orba.

Dalam konteks kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat di Papua, peristiwa2 ini menjadi sinyal masih kencangnya upaya pembungkaman kebebasan demokrasi di Papua. Demikian juga dengan otonomi Kampus kembali dijarah dan dijebloskan dalam kekuasaan dan kontrol militer yang selanjutnya memantapkan peranan Kampus Uncen sebagai lembaga pendidikan tinggi yang menjalankan legitimasi dan propaganda penguasa sebagaimana ulasan Benny Giay dalam menuju Papua Baru 2001.

Kita tidak bisa banyak bergembira karena lembaga-lembaga pendidikan tinggi di Papua masih dijajah oleh militer oleh karenanya kebebasan mimbar akademik dan hasil-hasil kajiannya yang seharusnya bersifat universal tanpa dibatasi oleh sekte kedaulatan negara dan intervensinya sejak dulu tidak pernah ada.

Dari peristiwa Uncen ini, memang sudah diketahui bahwa ketakutan pihak aparat sudah ada sejak lama dan karena itu mereka telah berkali-kali mencoba menerobos masuk untuk secara langsung terlibat dalam perguruan tinggi. Hal itu justru sudah nampak sejak 2016 lalu, ketika muncul wacana rektor akan dipilih oleh Presiden. Tetapi gagal karena banyak yang tolak ide tersebut dengan kekhawatiran seperti yang diungkapkan paitua Giay. Akhirnya kandas. Padahal usulan pelaksanaan aturan itu kami duga berkaitan dengan berbagai aksi-aksi mahasiswa Uncen dalam beberapa tahun terakhir dalam mendorong agenda pnentuan nasib sendiri atau penutupan Freeport. Apalagi usulan tersebut lahir seusai Presiden Jokowi balik dari Papua.

Kita juga masih ingat, bagaimana kegagalan MoU antar Polda dan pihak Uncen beberapa waktu lalu yang gagal terlaksana karena mahasiswa melakukan pemalangan hampir selama 1 minggu dan membuat rencana kerjasama itu harus dibatalkan. Memang pihak Polda marah besar pastinya atas pembatalan itu karena seperti kita ketahui Polda maunya itu kan selalu menang dalam hal apa saja (siapa yang tidak tahu watak militer). Hal ini pula yang memicu lahirnya upaya intimidatif terhadap Presma Uncen Ferkom kemarin.

Tujuannya satu, agar Uncen jangan banyak bicara soal hak-hak rakyat Papua terutama hak di bidang politik untuk bebas dan merdeka dengan menentukan nasib sendiri. Aparat mau agar Uncen diam dan ikuti apa yang sedang diperlihatkan dan dipertontonkan pemerintah di dalam membangun Papua dengan berbagai kebijakan yang tidak pro terhadap Rakyat Papua tetapi pro terhadap pendatang, pro terhadap kapitalisme dan pro terhadap imperialisme.

Peranan pihak lembaga Kmpus dalam penandatangan surat pernyataan ini memang sudah jelas karena ditekan pihak militer sebagaimana yang biasa terjadi. Tetapi yang akan disayangkan adalah pihak lembaga pun telah tunduk dan bermain mata dengan militer dalam menekan mahasiswa. Lembaga Uncen menunjukan dirinya, mudah di intervensi, diatur dan menjadi lembaga pendidikan yang terjebak dalam masalah perbedaan ideologi yang akan terus menjadi dalang dibalik penderitaan orang Papua.

Uncen sebagai suatu lembaga pendidikan tinggi mustinya menjadi tempat mengembangkan ide-ide kritis melalui kajian ilmiah tentang semua persoalan dalam dinamika hidup orang Papua. Dan semstinya menjadi problem solving atas semua kajiannya ini bukan sebaliknya menjadi alat kekuasaan dalam menjalankan doktrin dan legitimasi penguasa.

Syok terapi yang diberikan Polda melalui Rektor Uncen kepada BEM Uncen dkk sebagai agent of change dan control sosial bukan saja mendegradasi peran sentral itu tetapi turut menjadi sinyal yang akan membangkitkan semangat persatuan dan kesatuan mahasiswa Papua di mana pun untuk terus melawan. Walaupun tidak terpikirkan, cara-cara demikian akan terus menjadi narasi rakyat Papua yang kelak akan melahirkan kesadaran untuk melakukan perlawanan terhadap negara dan sistem militernya yang barbar dan anti terhadap kemanusiaan. Dan untuk itu Kita mungkin hanya butuh waktu saja sebelum semuanya terjadi. Walaupun satu yang dibungkam dan dibunuh, masih banyak yang masih bebas dan hidup, kecuali semua kau bunuh dan lenyapkan dari tanah ini.

R.I.P N.K.R.I

Abepura, 17 Agustus 2018

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »