"Seret Penjahat Perang Nduga Ke Mahkamah Pidana Internasional dan Selengarakan Hak Menentukan Nasib Bagi Bangsa Papua"
Oleh: Wissel Van Nunubado
PENDAHULUAN
Militerisme adalah paham yang mengutamakan pendelatan militer dalam rangka menpertahankan kekuasaan. Militer merupakan tentara. Sedangkan tentara adalah orang-orang yang dilatih untuk berperang.
Mengingat militerisme adalah paham maka yang pasti paham itu bisa ada dalam pikiran orang-orang yang bukan militer. Mereka itu akan sangat jelas saat konflik bersenjata mereka akan bertindak sebagai sukarelawan atau milisi.
Dengan demikian maka prinsipnya lawan militerisme maka yang dilawan adalah siapapun orang dari kelompok manapun yang berwatak militerisme. Pada prinsipnya perjuangan lawan militerisme bertumpu pada penghormatan terhadap HAM karena menurut mereka Konflik Bersenjata tidak menyelesaikan masalah pokok dan justru melaluinya melahirkan persoalan baru sehingga dalam persoalan politik para pengusung tuntutan Lawan Militerisme cenderung memilih Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai mekanisme penyelesaian soal yang beradab.
Pada prinsipnya Konflik bersenjatan dan Hak Menentukan Nasib Sendiri dijamin dalam hukum internasional. Dengan demikian kedua alternatif penyelesaian itu diakui secara internasional. Untuk diketahui bahwa Lawan Militerisme adalah tuntutan yang diusung untuk melawam segala tindakan yang dilakukan oleh orang-orang yang berwatak militerisme.
FAKTA KASUS NDUGA
Apapun alasannya konflik senjata antara TNI/Poliri vs TPN PB merupakan implementasi dari paham militerisme. Alibi penegakan hukum ala TNI/Polri yang menyebutkan TPN PB sebagai sipil bersenjata merupakan dalil untuk menghindari penegakan hukum Konvensi Jenewa Tahun 1949 dalam konflik bersenjata di nduga.
Dengan melihat korban hak hidup baik dipihak TNI/Polri dan TPN PB serta masyarakat sipil dan juga melihat korban hak atas rasa aman masyarakat sipil baik 50 KK penduduk kampung alguru serta Ratusan warga nduga yang mengungsi ke kabupaten asmat, mimika, jayawijaya dan lain-lain serta terhambatnya pemenuhan kebutuhan pokok (sandan, pangan dan papan) akibat konflik bersenjata menunjukan bukti keganasan implementasi watak militerisme.
Melalui usaha masyarakat sipil yang memperjuangkan pemenuhan HAM Masyatakat Sipil di Nduga kemudian ditangapi miring oleh Militer Indonesia semakin menunjukan watak kebinatangan manusia yang terkandung dalam paham militerisme itu. Watak kebinatangan itu terlahir dari prinsip manusia adalah serigala bagi manusia lainnya yang hanya dapat ditemukan dalam pikiran orang-orang yang berpaham militerisme.
Seruan Lawan Militerisme dalam kasus nduga adalah sikap yang ditujukan untuk melawan TNI/Polri dan TPN PB yang memilih Konflik Bersenjata dalam menyelesaikan persoalan. Selanjutnya melalui Lawan terhadap militerisme masyarakat sipil ingin menyelamatkan masyarakat sipil nduga yang HAMnya terjebak dalam Konflik Bersenjata. Selain itu, masyarakat sipil juga berambisi mengeluarkan manusia dari jebakan kebinatangan manusia yang hidup dalam paham militerisme.
Dalam rangka penyelesaian persoalan pokok masyarakat sipil mengusulkan mekanisme HAK MENENTUKAN NASIB yang dijamin dalam hukum internasional sebagai penganti Konflik Bersenjata.
Perjuangan masyarakat sipil dengan misi Lawan Militerisme merupakan upaya advokasi HAM yang ditujukan untuk mengkampanyekan prinsip non kekerasan yang dijamin dalam Prinsip Johanesburg. Atas dasar itu jika usaha masyarakat sipil dibungkam maka dapat disimpulkan bawah para penganut paham militerisme menginginkan hidupnya kebinatangan manusia dalam bangunan kemanusiaan yang beradab.
PENUTUP
Sudah saatnya keberadaban manusia dikedepankan dalam menyelesaikan persoalan pokok di papua. Cara-cara yang dipraktekan oleh penganut paham militerisme sudah sewajibnya dikesampingkan dalam rangka penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di muka bumi ini.
Pada prakteknya jika TNI/Polri dan TPN PB masih ingin melangsungkan konflik bersenjata maka diwajibkan untuk memberlakukan prinsip-prinsip hukuk perang internasional sebagaimana diatur dalam Konvensi Jenewa 1949, Prinsp Siracusa dan Prinsip Johanesburg. Selanjutnya apabila ada pelanggaran hukum internasional maka diwajibkan untuk menuntut pada Pengadilan Pidana Internasional karena korban Konflik Bersenjata merupakan tindak pidana internasional tentang Kejahatan Perang sebagaimana diatur dalam Statuta Roma tentang Mahkama Pidana Internasional. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi HAM dalam Konflik Bersenjata.
Meskipun demikian sebagai masyarakat sipil pengusung tuntutan Lawan Militerisme secara esensial akan tetap tidak sepakat dengan Konflik Bersenjata karena dalam sejarah konflik bersenjata di dunia yang tersisa hanyalah darah dan air mata masyarakat sipil yang akan mengukir menara kebinatangan manusia diatas prinsip penghargaan dan penghormatan terhadap harkat dan martabat dalam bumi manusia.
Sudah saatnya masyarakat sipil mengangkat Bendera Lawan Militerisme secara tinggi-tinggi untuk memulihkan manusia dari virus kebinatangan manusia sambil menghapus prinsip manusia sebagai serigala bagi manusia lainnya dengan cara menyelengarakan HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI BAGI BANGSA PAPUA.
Untuk mengakhiri tulisan ini akan dikutip pernyataan Bapak Bangsa Papua Alm. Dort Theis Hiyo Eluwai sebagai berikut : "Jika papua merdeka, saya akan mendesak dunia internasional untuk mengubah pabrik senjata menjadi pabrik makan untuk dibagikan kepada masyarakat yang kelaparan"
Kritikanmu Adalah Pelitaku