PELANGGARAN INDONESIA DI PAPUA

MENGAPA ORANG PAPUA INGIN MERDEKA ?


Pada hakekatnya Kami berjuang Untuk Merdeka Karena kebenaran sejarah yang didalam ruhnya” ada “makna dan kehendak Sejarah”. Maka kami merasa bahwa Hak- Hak Dasar Hidup Kami Telah di langgar oleh Pemerintah Sejak Papua di Integrasikan Kedalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia antara lain dengan berbagai pelanggaran di bidang- bidang sebagai berikut:

A.   DI BIDANG EKONOMI, yaitu:


  1. a.      PENGELOLAAN HASIL HUTAN
  1. b.      PENGELOLAAN HASIL LAUT
  1. a.      TARI DAN SENI
  1. b.      PENGGUNAAN BAHASA
  1. kasus Kimaam
  1. Pembunuhan terhadap Theys Hiyo Eluay dan penghilangan sopirnya, Aristoles Masoka.
  1. Kasus Wasior
  1. Kasus Abepura
  1. Wamena
  1. Operasi Puncak Jaya
  1. Timika berdarah
  1. Kasus Freeport
  1. Kekerasan berbasis gender bersifat kekerasan fisik, seksual atau psikologis, penganiayaan, pemerkosaan dan berbagai jenis pelecehan
  1. Diskriminasi dalam lapangan pekerjaan.
  1. Diskriminasi dalam sistem pengupahan.

 Pada realitasnya,  Hutan Papua telah di kuasai oleh beberapa pemilik HPH diantaranya Yakni: oleh HPH PT. HANURATA, HPH PT. ARFAK INDRA, dan lain- lain
-          Memasukan Perusahaann Tambang: Seperti Tambang Emas, Tembaga, Minyak, Batu Bara, Nikel,Tima, dan Gas Alam
-          Dahulu di tengah masyarakat ada mitologi menyangkut manusia sejati, yang berasal dari sebuah Ibu, yang menjadi setelah kematiannya berubah menjadi tanah yang membentang sepanjang daerah Amungsal (Tanah Amugme), daerah ini dianggap keramat oleh masyarakat setempat, sehingga secara adat tidak diizinkan untuk dimasuki.
 -          Sejak tahun 1971, Freeport Indonesia, masuk ke daerah keramat ini, dan membuka tambang Erstberg. Sejak tahun 1971 itulah warga suku Amugme dipindahkan ke luar dari wilayah mereka ke wilayah kaki pegunungan.
 -          Tambang Erstberg ini habis open-pit-nya pada 1989, dilanjutkan dengan penambangan pada wilayah Grasberg dengan izin produksi yang dikeluarkan Mentamben Ginandjar Kartasasmita pada 1996. Dalam izin ini, tercantum pada AMDAL produksi yang diizinkan adalah 300 ribu /ton/hari

-          Perusahaan diatas permukaan bumi, Seperti Perusahaan Loging (Kayu)

Perusahaan yang bersifat sementara dan bersifat menetap atau Perusahaan yang operasinya jangka panjang untuk mengeruk hasil yang sebanyak- bayaknya tanpa memperhatikan upah kerja yang maksimal kepada pekerja dan pembagian hasil bagi pemilik hak ulayat marga atau suku Tertentu yang mempunyai hak dan warisan hidup dari leluhur sebagai milik pusaka mereka.
          Tanpa memperhatikan kehidupan satwa lain di sekelilingnya, Sehingga tanah menjadi longsor, air menjadi banjir, ikan, buaya dan hasil tanaman pepohonan lain yang dapat menjadi korban kepunahan.
          Baik pohon besar ataupun pohon kecil, tali dan rotan juga menjadi korban kepunahan akibat pembalakan secara liar oleh pengusaha yang dengan menutup mata untuk mengeksploitasi hasi di Tanah Papua demi kemakmuran dan kesejahteraan Kaum imperialisme/kaum Kapitalisme Modern.
          Akhirnya warisan tersebut tidak dapat di pergunakan oleh keturunan dan anak cucu mereka untuk kehidupan massa depannya.
          Hanya karena akibat eksploitasi hasil yang membabi buta oleh kaum pemilik modal, sehingga hutan menjadi gundul, Tanah menjadi tandus dan gersang, air sungai yang bening menjadi berwarnah keruh kehijau- hijauan.


Telah terjadi eksploitasi hasil laut dengan Menggunakan alat- alat canggih seperti Pukat hari mau dan alat- alat lain.
Juga telah mengeksploitasi hasil laut dengan menggunakan Racun/Pembiusan pada ikan dan hasil lain, dengan menggunakan Boom sehingga banyak Terumbuh karang serta ikan- ikan besar dan ikan- ikan kecil turut mati dan telah musnah.
Juga terdapat eksploitasi pasir sebagai bahan bangunan dengan menggunakan alat modern yang canggih dapat menambang pasir(sedot)malalui slank atau pipa dari kapal yang sedang berlabuh lautan bebas.
Masyarakat setempat yang mendiami wilayah pesisir pantai tidak di perdayakan oleh Pemerintah setempat, sehingga mereka Cuma bisa menangap ikan atau hasil lautnya dengan menggunakan alat cara- cara tradisional.
Di samping itu “Polisi Air” sebagai penjaga laut tidak di fungsikan sebagaimana tugas tanggung jawabnya untuk mengamankan wilayah perairan


B. DI BIDANG POLITIK, yaitu:

Sejak Papua di Integarasikan ke wilayah Repblik Indonesia lewat PEPERA tahun 1969 telah terjadi rekayasa sejarah dan manipulasi politik lewat dua perjanjian Internasional (Roma Egreement dan New York Egreement) Yang salah satu isi perjanjian dari Roma Egreement adalah menitipkan Papua Ke Indonesia Selama 25 tahun untuk mendidik, setelah itu memberikan kedaulatannya untuk mengatur rumah tangga negaranya sendiri.
Tapi karena kepentingan Indonesia, Belanda, dan Amerika Serikat maka pemerintah membahas dan mengesahkan Undang- undang No. 1 tahun 1967 tentang (Penanaman Modal Asing), dan Undang- undang No. 11 tahun 1967 tentang (Pertambangan). 
Sehingga perjanjian itu kemudian di ubah lagi di New York Egreement bahwa rakyat Papua diberikan Hak dan kebebasan untuk memilih apakah Merdeka atau berintegrasi dengan Indonesia lewat Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 yang dilakukan dengan jajak pendapat.
Sementara menyongsong PEPERA Pemerintah Republik Indonesia lewat militernya melakukan terror, intimidasi, pemamaksaan kehendak, memanipulasi data, dan berbagai macam tindakan anarkis terhadap Orang Asli Papua, dan sampai kepada pembunuhan dan kematian orang Papua.
Juga melarang Orang papua untuk jangan menyebut nama Papua lagi, apa bila rakyat menyebut nama Papua akan tindak lewat proses hukum yang tidak berpri kemanusian oleh aparat penegak hukum pada hal dalam Pancasila sila ke- 2 telah menyatakan bahwa hal- hal yang menyangkut dengan Pri-kemanusiaan harus dijunjung tinggi oleh seluruh warga Negara Republik Indonesia.
Bagi siapapun warga Papua yang menyuarakan aspirasi rakyat menyangkut Hak- hak dasar orang Papua akan di tangkap dan di cebloskan kedalam penjara oleh pemerintah Republik Indonesia lewat kekuatan lembaga penegak hukumnya, terkadang dilakukan sampai pada tingkat pembunuhan yang tradis.
Tidak memperioritaskan orang Papua berpolitik baik di tingkat daerah maupun tingkat pusat, apa lagi mendirikan kelompok (LSM) yang membelah dan menyampaikan aspirasi rakyat menyangkut hak- hak dasar orang asli Papua.
Melarang orang Papua untuk tidak memakai simbol- simbol daerah asli orang Papua dan lain sebagainya bagi rakyat Papua.
Kemudian menyangkut sengketa politik Pilkada, baik pilkada I dan pilkada II telah terjadi manipulasi politik kewenangan dan kekuasaan, yang tidak sesuai dengan UUD No. 21 tahun 2001 tentang otsus Papua di mana pelimpahan kewenangan kepada Papua untuk mengatur sendiri tentang penyelenggaraan pemerintah daerah dalam bentuk pembangunan apapun, kecuali militer, keuangan, dan hubungan luar negeri, telah menyimpang dari uud otsus tersebut.
Terkadang warga Papua masih di diskriminasikan kedalam penerimaan dan pencalonan pegawai negeri sipil dan tidak di ikut sertakan didalam penerimaan anggota baru kepolisian dan TNI, selalu saja ada pertanyaan bahwa kalian kami terima tapi kamu adalah penghianat Negara NKRI jadi kami tidak menerima lamaran kalian.
Telah banyak terjadi di lembaga- lembaga pemerintahan di seluruh Indonesia yang masih rasis dan diskriminasi terhadap massa rakyat Papua pada massa lalu dan juga di massa kini, akhirnya orang Papuadi tromakan dengan hal- hal tersebut sehingga kini orang Papua selalu saja dianggap primitive dan masih bodoh, sehingga selalu melakukan eksploitasi hasil alamnya dengan berdasarkan Undang- undang penanaman modal asing dan Undang- Undang dan Undang- Undang Pertambangan di seluruh tanah Papua.  


C. DIBIDANG KEBUDAYAAN, yaitu:

Pada dasarnya Tuhan menciptakan orang Papua di tanah itu telah sarat dengan berbagai budaya dan tarian tradisional yang menjadi ciri khas kekayaan tersendiri yang sakral dan mulia bagi mereka yang harus diwariskan kepada generasi selanjudnya oleh leluhur terdahulu bangsa Papua.
          Karya seni, kata Jakobus Degei, bapak tiga anak ini, selalu lahir dari pengamatan dan penglihatan sang penciptanya. Artinya, seorang seniman tidak akan pernah dapat membuat karya seni tanpa dia memahami apa yang digarap. Jakobus Degei menjelaskan kebenaran yang dimaksud bukan kebenaran si pelaku seni, melainkan pada karya seni yang dihasilkan.
          Banyak tokoh seniman yang dilahirkan langsung dari Tanah Papua. Meski tanpa sentuhan pendidikan formal, namun karya seniman- seniman Papua, sesungguhnya tak kalah dengan seniman dari daerah lain. Namun sayang, pemerintah tidak memberikan perhatian kepada mereka. Meski sekedar fasilitas. “Di Papua ada pasar sayur, ada pasar ikan, tapi tidak ada pasar seni.
          Bukan hanya soal fasilitas yang minim. Jaminan untuk bebas menuangkan ide- ide kreatif pun menjadi sesuatu yang mahal. Terkadang bertaruh dengan nyawa. Beberapa Seniman Papua merasakan benar ketidakleluasaan itu. Karya- karya ini pernah diberanguskan. Karya yang sebenarnya hanya mengangkat realita sebagian rakyat Papua yang hendak memperjuangkan cita- citanya.
          Karya- karya itu disita ketika dipamerkan. Sampai kini, Seniman- seniman Papua tidak pernah tahu dan diberi tahu alasannya. Tapi itu tak mengendurkan semangat seniman Papua. Sebagai orang asli Papua akan selalu menghadirkan beragam kemelut yang ada di tanah tumpah darahnya itu, apapun resikonya. Mereka tidak pernah punya keraguan untuk mengungkapkan semunya.
          Tak hanya pemberangusan kreatifitas dengan penyitaan karya seni yang dialami seniman Papua. Nyawa seniman dianggap murah. Masih terus diingat peristiwa terbunuhnya budayawan dan komponis asal Papua, Arnoldus Clemens di tahun 1980. Arnoldus yang juga dosen Universitas Cenderawasih tewas mengenaskan karena karya-karyanya dianggap membahayakan.
          Namun melalui ekspansi politik dan ekonomi Indonesia yang mencaplokkan Papua ke dalam wilayah Republik Indonesia karena kepentingannya dengan Negara- negara liberal dalam upaya ekspolitasi hasil alam Papua yang sangat terkaya di dunia yang penuh dengan misterinya menjadi kekuatan lumbung cadangan devisa bagi NKRI dan negar- negar liberal lainya di dunia.

Ukulele Mambesak: Membayangkan Identitas Budaya Papua 1970-1980-an
Grup Mambesak (dalam bahasa Biak Numfor berarti burung Cenderawasih atau burung kuning) menjadi momentum kebangkitan seni dan identitas
budayaPapua.  
Grup yang mempopulerkan lagu-lagu dan tari-tarian rakyat Papua
ini berdiri pada 15 Agustus 1978. Markas mereka sekaligus tempat pentas dan kelahirannya adalah di halaman Museum Antropologi Loka Budaya Universitas Cenderawasih Jayapura Provinsi Papua. Sebelum bernama Mambesak, grup ini bernama Manyori yang berdiri pada awal tahun 1970-an. Anggota Mambesak diantaranya adalah Arnold Clemens Ap, Sam Kapissa, Yowel Kafiar, Marthinny Sawaki.
          Ide dasar Mambesak adalah mengangkat kesenian rakyat Papua yang berakar pada lagu-lagu dan tari-tarian rakyat yang hidup pada keseharian rakyat Papua. Mereka kemudian menggali lagu-lagu dan tari-tarian rakyat Papua dan menampilkannya dalam bentuk nyanyian dengan peralatan ukulele (gitar kecil), tifa (kendang khas Papua), bass, dan gitar. Pementasan mereka juga diselingi dengan mop(guyonan-goyonan khas Papua ) yang dibawakan oleh Arnold Ap.
Dalam setiap penampilannya, selain menyanyikan lagu dan menari, Mambesak juga menggunakan logat bahasa Indonesia logat Papua dan menguraikan beberapa unsur-unsur kebudayaan Papua.
Kehadiran Mambesak disambut antusias rakyat Papua yang membayangkan identitas budaya mereka. Kebangkitan budaya Papua yang lama terpendam sempat muncul pada tahun 1970-1980-an ketika Arnold Ap dan Grup Mambesak-nya begitu terkenal di seluruh Papua. Lima volume kaset Mambesak yang berisi reproduksi dan rearrangement lagu-lagu daerah Papua berulang kali habis terjual dan diproduksi kembali. Siaran radio Pelangi Budaya dan Pancaran Sastra yang diasuh oleh Arnold Ap dkk dari Mambesak di Studio RRI Nusantara V Jayapura setiap hari Minggu siang sangat populer.
Kebangkitan identitas budaya Papua melalui kesenian inilah yang dicurigai oleh Pemerintah Indonesia sebagai benih-benih separatisme Papua. Aparat keamanan saat itu, Koppasandha (kini Kopassus) mencurigai gerakan kebudayaan Arnold Ap dan Mambesak adalah benih laten “nasionalisme Papua” dalam “bungkus kultural”. Arnold Ap akhirnya ditembak di pantai Pasir Enam, sebelah timur kota Jayapura pada 26 April 1984, pada saat sedang menunggu perahu bermotor yang konon akan mengungsikannya ke Vanimo, Papua Nugini, ke mana isteri, anak-anak, dan sejumlah teman Arnold Ap telah mengungsi terlebih dahulu pada 7 Februari 1984.
Kini orang Papua merasakan ada kerinduan dari para pegiat seni dan budaya akan sebuah kebangkitan kembali kebudayaan Bangsa Papua.

[1] Dengan seni dan budayalah orang Papua bisa menegakkan identitasnya. Kesan yang orang papua rasakan saat ini, jati diri orang Papua terletak pada ekspresi seni dan budaya, yang sayang sekali sering diputarbalikkan sebagai “politik” dan pemberontakan.
Perjalanan seni dan budaya di Tanah Papua penuh dengan kompleksitas yang melibatkan bukan hanya penetrasi politik tapi juga agama dan adat. Kesemuanya dibungkus melalui ekspresi seni untuk menunjukkan identitas diri dan kebudayaan yang ada di Tanah Papua. Pasang surut perkembangan seni di Tanah Papua salah satunya melibatkan campur tangan dari pemerintah dan agama. Bahkan salah seorang tokoh seni di Kota Manokwari mengungkapkan pernyataan, “Masuknya pemerintah dan agama yang menghancurkan budaya Papua.”

[2] Bagi pemerintah (Belanda dan Indonesia), ketika rakyat Papua menyanyi dianggap ketinggalan zaman, dilarang dan dianggap ekspresi pemberontak terhadap negara. Oleh karena itulah perlahan-lahan namun pasti budaya orang Papua hilang.
Salah satu momentum ekspresi seni dan budaya Bangsa Papua adalah munculnya kelompok Mambesakpada 15 Agustus 1978 yang dalam bahasa Biak Numfor berarti Burung Cenderawasih atau burung kuning dengan tokohnya yang kemudian menjadi legenda, Arnold Clemens Ap. Melalui Mambesak inilah lagu-lagu dan tari-tarian daerah Papua dipentaskan oleh Arnold Ap, Sam Kapissa, Demyanus Wariap Kurni, Edy Mofu, Marthiny Md. Sawaki, Thonny W. Krenek dan yang lainnya. Pada saat itulah timbul bayangan akan kebangkitan seni dan budaya Papua seperti yang selalu diusung oleh Arnold Ap dan kawan-kawannya di kelompok Mambesak. Namun, bayangan akan kebangkitan seni dan budaya Papua itu tidak berlangsung lama saat Arnold Ap dibunuh oleh pasukan Koppasandha (kini Kopassus) pada 26 April 1984 di Pantai Pasir Enam.
Kini, setelah 30 tahun lebih, saya menyaksikan kembali bagaimana masyarakat dorang (mereka) kembali bergairah membicarakan Mambesak, meski sebelumnya ekspresi menyanyikan lagu-lagunya terbuka lebar di publik. Gairah tersebut bisa saya rasakan saat membicarakan “gerakan-gerakan sosial” yang telah dilakukan untuk menghadirkan seni dan budaya Papua sebagai jati diri, identitas diri Bangsa Papua. Dan kehadiran Mambesak selalu akan menjadi catatan penting.
Orang papua merasakan bagaimana ekspresi para pegiat seni ini ketika mereka berbicara tentang lagu dan tari sebagai bagian dari identitas diri orang papua. Ekspresi dan pernyataan orang papua mengungkapkan sejarah panjang kompleksitas budaya dan kekuasaan di Tanah Papua. “Kitong (kita) mengalami masa dimana tong merasa terancam hidup di republik ini. Pemerintah dong menganggap apa yang tong bicarakan selalu dianggap melawan pemerintah,” ungkap seorang pegiat seni dengan suara bergetar. Baginya, budaya merupakan bagian dari hidup orang Papua yang diekspresikan melalui lagu-lagu dan tari-tarian. Oleh pemerintah (Indonesia), menyanyikan lagu-lagu daerah dinggap menentang pemerintah.



Bahasa Indonesia, Mempengaruhi Punahnya Bahasa Daerah !!

Perkembangan bahasa daerah dewasa ini mencemaskan. Dari 742 bahasa daerah di Indonesia, hanya 13 bahasa yang penuturnya di atas satu juta orang. Artinya, terdapat 729 bahasa daerah lainnya yang berpenutur di bawah satu juta orang. Di antara 729 bahasa daerah, 169 di antaranya terancam punah, karena berpenutur kurang dari 500 orang. Banyak dari kita yang malu menggunakan bahasa ibu dalam kehidupan sehari-hari, karena lebih enak kalau kita menggunakan Bahasa Indonesia.

Di Papua bahasa Mapia satu penutur, Tandia dua penutur, Bonerif empat penutur, dan bahasa Saponi 10 penutur.

Multamia menjelaskan, pada umumnya bahasa daerah yang jumlah penurutnya sedikit cenderung merupakan bahasa yang tidak mempunyai aksara. Dengan demikian, tradisi lisan yang berkembang pada bahasa- bahasa minoritas ini jika tidak segera didokumentasikan, akan sangat sulit untuk mempertahankan eksistensi mereka. Dari itu kita sebagai penerus bahasa daerah masing- masing, jangan malu kalau kita komunikasi dengan menggunakan bahasa daerah.

Ahli linguistik ini berpendapat, langkah awal untuk melakukan antisipasi adalah mendaftarkan bahasa- bahasa yang jumlahnya penuturnya sedikit. Bahasa yang dapat dikategorikan sebagai bahasa yang berpenutur sedikit namun masih mempunyai potensi untuk hidup, sebenarnya adalah bahasa- bahasa yang penutur sekurang- kurangnya 1.000 orang.

Sebagai langkah awal diinterpretasikan bahasa- bahasa yang jumlah penuturnya 500 orang atau kurang, dapat dikategorikan sebagai bahasa yang cenderung dianggap memasuki ambang proses berpotensi terancam punah. Harus ada kemauan dari pihak pemerintah dan masyarakat penuturnya untuk menyelamatkan bahasa- bahasa yang terancam punah itu mengingat daya saingnya lemah, sehingga sulit bersaing dengan bahasa- bahasa daerah yang besar.

Belum lagi tuntutan untuk mampu bersaing dengan bahasa Indonesia yang berstatus sebagai bahasa nasional. Ada baiknya bahasa daerah yang terancam punah itu, diolah menjadi buku dan mulai diajarkan sebagai materi ajar muatan lokal. Dengan demikian sedikit-demi sedikit, bahasa dan budaya yang terancam punah itu mulai dikenal lagi oleh generasi muda.

Penempatan Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dalam Undang- undang Dasar Negara Kesatuan RI 1945 telah menempatkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi antar suku, termasuk bahasa pengantar dalam pelaksanaan pendidikan anak bangsa di sekolah- sekolah dan universitas- universitas di seluruh Indonesia.

Bahasa Indonesia juga bahasa yang resmi digunakan oleh pemerintah daerah seluruh Indonesia. Hasilnya, dari Sabang sampai Merauke seluruh rakyat Indonesia bisa berbahasa Indonesia.

Bahasa Indonesialah yang mempersatukan Indonesia.
Punahnya Bahasa Daerah
         
Tidak bisa dipungkiri, kehadiran Bahasa Indonesia ikut mendesak punahnya bahasa daerah. Di Indonesia ada 746 bahasa ibu, tapi dari tahun ke tahun jumlahnya berkurang. Di Papua, dulu ada 273 bahasa daerah. Kini menjadi 271 bahasa.
          Di Sumatra, jumlah bahasa daerah berkurang, dari 52 bahasa menjadi 49 bahasa. Di Sulawesi, bahasa daerah berkurang dari 116 bahasa menjadi 114 bahasa. Menurut hasil penelitian UNESCO, kepunahan bahasa ibu terbanyak terjadi di Indonesia. Punahnya bahasa ibu bisa menyebabkan punahnya budaya, karena setiap bahasa memiliki istilah yang erat dengan tradisi dan budaya local.
          Kepala Bidang Peningkatan dan Pengendalian Bahasa Badan Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional, Sugiyono mengatakan, "Dari 746 bahasa daerah di Indonesia kemungkinan akan tinggal 75 saja. Dalam teorinya ada karena peperangan, bencana alam tetapi penyebab yang paling utama sekarang ini saya kira urbanisasi dan perkawinan antar etnis.
          Karena kalau dua orang dari daerah kemudian pindah ke Ibukota atau ke kota besar maka mereka akan berinteraksi dengan etnis lain, lalu bahasa etnisnya sendiri akan ditinggalkan. Mereka akan memilih bahasa Indonesia sebagai penghubung antar etnik satu dengan etnik yang lain."
          Sugiyono menjelaskan dari 746 bahasa daerah yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, hanya sembilan yang memiliki sistem aksara, yakni Aceh, Batak, Lampung, Melayu, Jawa, Bali, Bugis, Sunda dan Sasak.  Sisanya, kata Sugiyono, hanya diturunkan melalui tradisi lisan dan inilah yang perlu dikaji lebih jauh dan didokumentasikan agar tidak hilang.
          Menurut Sugiyono, pihak Kementerian Pendidikan Nasional saat ini terus melakukan pengumpulan kosa kata dan merekamnya serta melakukan revitalisasi untuk menghidupkan kembali bahasa daerah dengan menggelar berbagai festival seni di daerah-daerah.
          "Bahasa yang bertahan itu umunya punya sistem tulis artinya bahasanya sendiri mempunyai faslitas untuk merekam bahasa itu dalam media selain lisan, ini lebih banyak bertahan. Implikasinya bahasa yang punya sistem tulis itu pasti berkembang katakanlah Jawa, Sunda, Madura dan semua Melayu," kata Sugiyono.
          Pengamat Bahasa dari Universitas Atmajaya Jakarta Bambang Kaswanti Purwo menganjurkan agar setiap orangtua terbiasa menggunakan bahasa daerah dirumahnya. Selain itu, Kementerian Pendidikan Nasional harus mulai mewajibkan setiap murid menguasai setidaknya satu bahasa daerah. Hal ini dilakukan agar bahasa daerah tidak punah.
          Bambang Kaswanti Purwo mengatakan, "Masalahnya sekarang orang tua cenderung enggan menggunakan bahasa ibu (daerah) dan (hanya) menggunakan Bahasa Indonesia, karena beranggapan untuk maju anak harus bisa berbahasa nasional.
          Kalau berbeda justru akan memperkaya anak, kita bagi tugasnya misalnya ayahnya bahasa Biak, ibunya bahasa Fakfak, sehingga anaknya mempunyai kesempatan belajar dua bahasa daerah sekaligus. Kalau bahasa sampai punah, kita tidak mempunyai kekayaan bahasa itu lagi, padahal setiap bahasa memiliki kekhasan dan kekayaan masing- masing."
          Badan PBB yang membidangi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Unesco telah mencanangkan tanggal 21 Februari sebagai bahasa ibu internasional. Hal itu dilakukan karena hampir semua bahasa daerah yang berada di sejumlah negara didunia telah terancam punah.
          Jadi kita sebagai orang Papua yang memiliki berbagai suku dan bahasa janganlah ragu untuk mengembangkan bahasa daerah yang kita miliki. Bukan hanya Bahasa Indonesia apalagi Bahasa Inggris yang mesti dipelajari, tetapi kita juga harus memperhatikan bahasa daerah yang kita miliki.

D. DI BIDANG HUKUM, yaitu:
Kapan penegakan hukum akan terlaksanakan di Bumi Cenderawasih Papua ini ?

Sejak tahun 1969, yang namanya orang asli Papua itu melakukan konflik/kericuhan/perkelahian dengan pihak aparat keamanan Papua, akan tetap ada anggota masyarakat tewas akibat tembakan senjata. Yang aneh, yang tidak dapat diterima siapapun manusia di dunia adalah orang asli Papua sering ditembak mati hanya dengan alasan sepele saja.

Apabila diklarifikasi tingkat pelenggarannya lewat jalur hukum tindakan penembakan mati yang dilakukan aparat keamanan itu biasanya tidak seimbang dengan tingkat pelanggarannya yang dijadikannya sebagai alasan penembakan oleh aparat keamanan.
Semua bentuk kekerasan, baik yang berat maupun ringan, yang dilakukan orang Papua baik dengan motif kriminal maupun bermotif politik Papua merdeka selalu dipolitisir oleh aparat keamanan. Sehingga terkesan jelas aparat keamanan di Papua melaksanakan program penembakan, bukannya program penegakan hukum. Orang asli Papua yang bersalah ataupun yang melakukan kekerasan sangat jarang ditahan untuk ditindak hukum.
Beberapa kejadian berikut sebagai contohnya. Penembakan Mako Tabuni oleh aparat keamanan baru-baru ini dinilainya tanpa melewati prosedur hukum guna dicek bukti fisik dan saksi mata. Penembakan hanya berdasarkan praduga belaka, dan hanya atas dasar laporan pihak ketiga tanpa pembuktian faktual.
Selain itu pada bulan Oktober 2010 di KPR Nabire penembakan terhadap Melky A, karena mengancam tim polisi dengan parang. Si korban dalam keadaan sakit malaria tropika hanya mengancam dan tidak melukai pihak kepolisian. Namun demikian si korban ditembak dengan alasan melumpuhkan.
“Jadi anggota masyarakat yang sakit pun ditembak dengan alasan si korban mengancam dengan parang,”
Lain lagi di Kampung Itepa, Distrik Ugapuga, Kabupaten Dogiyai. L. Agapa memalang mobil yang ditumpangi aparat keamanan pada pukul 20.00, pada bulan Februari 2012. Pelaku pemalangan mobil terkena tembakan peluru dan mati di tempat. Si korban memang dalam keadaan mabuk. Ia warga sipil di Kampung Wenekaya dan bukan anggota OPM. Terjadi pengorbanan nyawa hanya karena memalang mobil pelintas jalan.
Berikutnya dalam bulan Mei 2012, di Degewo Kabupaten Paniai dalam peristiwa adu fisik 5 warga sipil dengan para anggota Brimob, dimana pihak aparat keamanan tidak ada yang cidera berat. Sedangkan pihak masyarakat 1 orang tewas dan 4 orang menjalani perawatan medis.
Ini hanya beberapa contoh dari begitu banyak peristiwa penembakan yang dialami rakyat sipil Papua dengan dasar alasan sepele saja. Kalau tindakan penembakan yang diberlakukan bukannya tindakan hukum, maka akan terjadi orang- orang Papua bisa segera habis termakan peluru alat negara republik ini.
Yang jelasnya, jalan penembakan bukan solusinya bagi masalah Papua. Sebaliknya jalan penembakan akan lebih memperlebar masalah Papua. Pendekatan keamanan Papua yang penuh kekerasan/penembakan itu perlu dirubah dan perlu diingat bahwa orang Papua itu kalau baik dengan mereka, maka mereka akan jauh lebih baik. Tetapi sebaliknya, kalau mengganggu mereka, maka mereka pun akan menjadi lebih kasar dan menjauh dari anda.
Bukan berarti status dirinya sebagai manusia rendah, bukan berarti mereka tak pantas untuk dihormati. Bukan berarti mereka itu gampang ditipu dan dibunuh. Manusia kotor adalah juga manusia yang sama harga dan nilai dirinya dengan orang lain yang lebih bersih dan dipandang layak. Yang berhak mencabut nyawa seseorang hanyalah Sang Pencipta, bukan manusia.
aparat keamanan di Papua tidak berhak sedikitpun untuk mencabut nyawa seseorang. Manusia suci seperti Allah dialah yang dapat mencabut nyawa seseorang.

E. DI BIDANG PENDIDIKAN, yaitu:
Selama 66 tahun Indonesia menyatakan kemerdekaan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), hingga kini warga Kampung Fakafuku Distrik Agimuga Kabupaten Mimika belum satupun bersekolah hingga mengenyam pendidikan di jenjang perguruan tinggi. Mengapa bisa demikian?
Rutinitas kehidupan warga‘Suku Sempan’ mirip seperti Suku Kamoro di Mimika lainnya. Yakni mengantungkan hidup kepada alam sekitarnya. Mulai dari mencari makan dan minum, singkat kata mereka mengenal  menjalankan rutinitas hidup; ke Sungai, menggunakan Sampan dan mengayau Sagu (3S).
Suku Sempan dalam peta Topograpi, mendiami beberapa kampung di wilayah Timur Kabupaten Mimika. Seperti wilayah Sempan Timika, Wilayah Manasari (Omawita, Fanamo) hingga Kampung Otakwa, Fakafuku dan sekitarnya di Timur Kabupaten Mimika, Papua. Mereka jarang mengungkapkan keluhan hidup secara spontan, kecuali melalui ciri khas menari dan menyanyi.
Pertanyaan adalah, mengapa sistim pendidikan jaman sekarang terlihat belum memihak kepada Suku Sempan di Fakafuku, jauh dibawah Suku Kamoro? “Jangan pernah persalahkan warga!” demikian pesan ketika diskusi topik ini Kampung Fakafuku beberapa pekan lalu. Menyimak cerita warga setempat, kondisi buruk dan ketertinggalan pendidikan bukanlah cerita baru. Warga dan pola hidup setempat selalu diposisikan salah. Benarkah demikian?
Dilihat dari sisi pendidikan hal semacam itu bukan cuma terjadi di Timika saja. Namun hal yang sama dan serupa juga terjadi di seluruh kabupaten di Papua. Kemudiaan dari korikulum yang biasa di terapkan terkadang di Papua masih mempergunakan korikulum yang lama sementara di Jawa dan sekitarnya sudah menggunakan korokulum ajaran baru.
Hal ini jelas membedakan kemampuan anak- anak dalam pemahaman pembelajaran. Sehingga kalau di bandingkan secara nasional maka intelektual anak- anak Papua sangat jauh tertinggal dari siswa/wi yang di Jawa dan sekitarnya. Kemudian melalui korikulum budaya Jawa dan cara belajarnyaditerapkan sama di seluruh Indonesiadan Papua pada khususnya. Mana mungkin siswa dapat mengerti tentang apa yang diajarkan oleh gurunya di sekolah/kelas. Kemudian mengapa semua jurusan masih mendapatkan pelajaran- pelajaran umum.
Dengan mengajarkan pelajaran umum kepada siswa yang telah mengambil jurusan atau specisifik ilmu telah di sibukkan dengan mata pelajaran umum sehingga ilmu yang di tekuninya menjadi tidak maksimal. Sehingga menurut saya demi kemajuan pendidikan Eptanas harus di bubarkan oleh menteri pendidikan.
Biar semua siswa lebih berfokus kepada ilmu atau mata pelajaran yang dianggap mampu untuk di pelajari secara baik dan mendalam hanya mata pelajaran tersebut. Menyangkut dengan penilaian siswa harus diserahkan kewenangan secara penuh kepada sekolah atau tenaga pengajar dari siswa- siswi yang bersangkutan. Ini merupakan penerapan kemajuan pendidikan yang sangat bermutu dan berkualitas di suatu Negara atau daerah.

F. DI BIDANG KESEHATAN, yaitu:
Di jumpai masyarakat  Papua banyak sekali yang menderita berbagai penyakit, baik orang dewasa maupun anak- anak kecil lagi- bagi ibu-ibu hamil, diantaranya kadang bisa dapat terobati hanya dengan menggunakan obat- obat tradisional, dengan obat tradisional yang mereka konsumsi terkadang obat tersebut mampan, terkadang juga tidak mampan.
Masyarakat tidak bisa mampu untuk melawan penyakit dengan cuma mengandalkan obat- obatan tradisional saja sehingga ada masyarakat tertentu yang berupaya ke kota untuk berobat walau, ke kota harus menggunakan biaya yang cukup mahal, karena jarak dari kampung ke kota sangat jauh.
Ttransportasi yang di gunakan adalah hanya mengandalkan berjalan kaki hampir lebih dari 70-an km. Mau tak mau biasanya masyarakat harus sampai ke kota dengan cukup menerima tantangan pahit ditengah Hutan belantara walau memakan wakut 2 sampai 4 hari di hutan. Itu bagi masyarakat yang hidup di kampung- kampung pedalaman Papua.
Sementara bagi masyarakat yang tinggal dan hidup di pesisir pantai yang notabenenya juga sama dengan saudara- saudara lain yang hidup di pegunungan Papua.
Untuk ke kota juga memakan jarak dan waktu yang sangat melelahkan. Uang adalah hal yang sangat menentukan masyarakat bisa sampai di kota dengan menggunakan alat transportasi tradisional laut yang mengandalkan semangat mendayung oleh tenaga manusia. Ini adalah hal yang sangat pahit dan menyedihkan rasanya namun mereka tetap melakukannya dengan tenang sabar dan semangat, demi mempertahankan kehidupan mereka.
Sangat jauh dari kampung ke kota dan kekurangan biaya obat untuk pengobatan, karena harga obat sangat mahal. Sehingga kematian adalah perjuangan yang ditekuninya dengan sabar dan pasrah. Ibu- ibu hamil dan anak- anak adalah Tingkat kematian yang sangat tinggi di kampung- kampung yang jaraknya jauh dari kota di Papua.
Pemerintah daerah kini banyak membangunan rumah sakit dan pustu- pustu kesehatan di kampung- kampung, demi membantu kesehatan masyarakat, namun sangat di sesalkan karena telah banyak yang di temui dari pembangunan rumah sakit dan pustu- pustu tersebut yang di bangun oleh pemerintah daerah hanyalah sebuah bangunan rumah biasa saja tanpa obat- obatan dan tenaga medis.
Maka bangunan tersebut lambat laun menjadi rusak ini adalah kesalahan pemerintah daerah yang cuma bisa membangun dan tidak memperhatikan obat- obatan dan tenaga medisnya untuk membatasi banyaknya penyakit yang diderita oleh masyarakat di kampung- kampung.
Kemudian masyarakat mengira bahwa rumah sakit di kota yang bisa membantu menyembuhkan penyakit sehingga sering kali mereka sakit dan ke kota sampai disana ternyata masih ada saja kekurangan obat- obatan dan juga tenaga specilis penyakit tertentu, sehingga harus di rujukan harus berobat di luar kota lain.
Sampai di kota lain yang fasilitas rumah sakitnya lengkap, mereka berpikir bisa dapat tertolong penyakit yang di deritanya.
Disaat pemeriksaan dilakukan dokter, mengatakan bahwa penyakitmu bisa dapat tertolong dalam waktu yang lama karena perlu dilakukan proses pengobatan dan terapi secara teratur sehingga keseimbangan tubuh menjadi seimbang kembali, dokter- dokter juga sering mengatakan bahwa pada saat pengobatan pertama di Papua terdapat kesalahan pengobatan oleh tenaga medis. Jadi kamu harus bersabar untuk mengikuti proses pengobatan dan terpi dari kami, namun apa boleh di kata karena di kampung biaya obat mahal serta kurangnya fasilitas kesehatan masyarakat membuat usaha pengobatan tidak berhasil atau kematian.
Hal- hal ini terjadi di kampung- kampung yang jauh dari kota khususnya, dan masyarakat Papua pada umumnya.

G. HUBUNGAN SOSIAL ORANG PAPUA, yaitu:
-   Latar Belakang Terjadinya Pelanggaran Sosial Orang Papua
Papua adalah daerah di ujung timur Indonesia yang selama ini masih menjadi perhatian publik nasional dan internasional karena situasinya yang jauh dari kesan kondusif dan aman. Sejak awal, baik saat menjalankan administrasi pemerintahan sebelum PEPERA atau sesudah Papua secara resmi menjadi bagian dari wilayah Indonesia, pemerintah memilih dan menggunakan pendekatan keamanan (militer) dengan dalih menegakan kedaulatan negara, mengikis habis gerakan separatisme yang telah dipupuk sebelum Belanda hengkang dari Papua. Bahkan, pendekatan ini juga dijalankan oleh pusat untuk menangani sejumlah gerakan masyarakat sipil yang kritis terhadap pemerintah maupun perlawanan dari kelompok di Papua yang sejak awal menolak integrasi Papua ke Indonesia dengan jalan damai.
Dalam kenyataannya, penanganan konflik Papua tidak berubah walaupun rezim telah beberapa kali berganti. Hal itu bisa dilihat dengan belum adanya perubahan secara jelas terhadap kebijakan pusat setelah 50 tahun lebih integrasi Papua ke Indonesia. Faktanya pendekatan keamanan dan militer masih dipertahankan dan digunakan dengan alasan ancaman keamanan dan kedaulatan negara. Kemudian diperparah ketika terjadi perubahan politik nasional seiring tumbangnya rezim orde baru tahun 1998, penanganan konflik Papua tidak beranjak dari pola pendekatan politik militer. Meskipun tahun 2001 pemerintah pusat yang ketika itu dipimpin oleh Presiden Megawati Sokarnoputri memberikan Otonomi Khusus (OTSUS) sebagai suatu alat politik terhadap Papua melalui pada Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001, namun hal tersebut tidak menandakan adanya gejala perubahan pola penanganan di Papua, karena kenyataannya pendekatan yang bertumpu pada penggunaan aparat TNI masih diberlakukan. Tetap berlanjutnya pendekatan ini terhadap Papua mencerminkan sikap setengah hati dari pemerintah pusat untuk menyelesaikan konflik antara Jakarta – Papua secara damai dan tanpa kekerasan.
Sehingga sampai saat ini berbagai tindakan yang sifatnya melanggar hak-hak asasi manusia seringkali terjadi di Papua. Banyak sekali pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap warga sipil di papua, baik secara diam-diam maupun secara terang-terangan. Itu pun yang diketahui, tak terhitung juga pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah secara diam-diam yang belum diketahui hingga saat ini. Semua pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap warganya itu tak pernah diselesaikan satu kasus pun hingga saat ini. Bahkan KOMNASHAM juga belum bisa menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua ini dan cenderung acuh tak acuh. Di papua pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia di papua sudah cukup memprihatinkan, dan kasus-kasus seperti ini banyak terjadi di Papua dan umumnya di lakukan oleh aparat militer terhadap rakyat pribumi di papua. Sampai dengan saat ini kasus-kasus pelanggaran HAM di papua belum diselesaikan secara maksimal, dan dengan adanya hal inilah yang menyebabkan timbulnya akar konflik antara rakyat pribumi dengan pemerintah Indonesia.
Pelanggaran HAM yan dilakukan oleh pemerintah terhadap warga papua kian hari semakin membukit dan terus bertambah. Korban jiwa berjatuhan disana sini. Pelanggaran HAM tersebut tak satupun kasus yang dapat diselesaikan dengan baik tetapi selalu membiarkan dan berlalu begitu saja. Yang lebih parah lagi adalah aparat dalam hal ini TNI/POLRI selalu menyangkal bahkan menyembuyikan tindakan pelanggran yang mereka perbuat itu.

-          Potensi Kekerasan oleh Aparat
Menjadi persoalan ketika prasangka separatis juga menyebar dan mengkonstruk isi kepala aparat TNI yang bertugas di lapangan. Berbagai fakta memperlihatkan prasangka ini tidak semata tertanam di elit, prajurit TNI di bawah juga memperlihatkan tendensi serupa. Hal ini diperburuk dengan bentuk sikap dan tindakan. Dari segi sikap, tendensi ini membentuk stigma negative dalam memandang orang Papua dan melahirkan sikap penuh curiga. Muncul stigma memandang orang Papua sebagai separatis yang dalam realitasnya melahirkan persoalan. Secara tindakan muncul pola tindak yang mengacu pada kekerasan.
Saat ini anggota TNI di Papua mempunyai pandangan mereka menghadapi separatis sebagai musuh Negara. Mereka harus selalu bersiaga supaya tidak dibunuh oleh musuh dan sebaliknya harus membunuh musuh itu terlebih dahulu. Pada titik ini, orang Papua tidak dipandang sebagai warga Negara karena mereka lebih dilihat sebagai separatis dan musuh Negara. Saat ini aparat TNI di Papua memiliki dalil operasi yakni, “setiap orang Papua anggota OPM (Operasi Papua Merdeka) adalah separatis sampai dia terbukti bahwa dia bukan separatis”. Dengan dalil tersebut semua rakyat Papua dicurigai. Setiap gerak gerik orang Papua diikuti dan dibuntuti. Bahkan, aparat militer juga bisa membunuh kapan dan dimana saja dengan alasan membasmi separatis.
Banyak juga aksi-aksi militer yang menyetubuhi istri-istri anggota OPM agar para anggota OPM terpancing keluar dan TNI bisa menangkap dan membunuh mereka. Bahkan penduduk Papua yang meskipun bukan anggota OPM juga seringkali jadi sasaran TNI dan mereka sama sekali tidak mempunyai hak pembelaan diri atau hak bicara.

-          Faktor- faktor Penyebab Maraknya Pelanggaran HAM
Tentu saja ada banyak faktor yang menyebabkan maraknya kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua. Namun, secara umum hal itu tidak bisa dilepaskan dari berlanjutnya kebijakan keamanan yang menempatkan pendekatan kekerasan dan pemaksaan dalam menangani masalah Papua. Yang paling mendasar tentu saja berkaitan dengan aspek stigma yang menyelimuti seluruh persoalan Papua. Masalah ini telah menumbuhkan berbagai stigma negative terhadap orang-orang Papua, ketidakpercayaan dan sikap untuk selalu mencurigai. Namun apabila ditilik lebih lanjut, kekerasan dan pelanggara HAM di Papua ini juga tidak lepas dari campur tangan pihak asing yang berusaha menyetir pemerintah agar rakyat Papua tidak melakukan gerakan-geraan penentangan. Karena tentu saja agar memperlancar pengerukan kekayaan di Papua seperti contohnya Kasus Freeport yang baru – baru ini menambah list panjang masalah yang ada di Papua salah satunya penolakan kenaikan gaji pekerja. Padahal kenaikan gaji tersebut belum sepadan apabila dibandingkan dengan kewajiban dan waktu kerja mereka.
Kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua juga berkaitan dengan persoalan nilai di internal TNI yang belum berubah. Misalnya berkaitan dengan doktrin. Persoalan nilai ini seringkali membuka ruang bagi kekerasan TNI. Dan bahkan, ada kecenderungan pembenaran terhadap setiap kekerasan dan pelanggaran HAM oleh TNI, atasnama menjaga keutuhan dan integritas wilayah Indonesia.
Selain itu, terus berulangnya kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua, paling juga disebabkan oleh berbagai faktor lain, di antaranya: reformasi TNI yang tersendat, Otsus yang tidak Konsisten, ketertutupan dan Lemahnya Pengawasan terhadap Aparat Kemanan, impunitas terhadap berbagai kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi, budaya Kekerasan yang masih melekat serta lemahnya pemahaman HAM di aparat, stigma Separatis terhadap warga Papua, rendahnya Kesejahteraan aparat di bawah, keterlibatan asing dan kepentingan segelintir orang dalam berbagai bisnis di Papua, dan lain-lain.

-          Gagalnya Otonomi Khusus
Sejak 21 November 2001 atau tepatnya sepuluh tahun lalu, pemerintah pusat mulai menerapkan otonomi khusus Papua, sebagai solusi percepatan pembangunan di bumi Cendrawasih, termasuk mengatasi berbagai keresahan sosial. Namun Otsus yang sudah menghabiskan lebih dari 30 triliun rupiah, dinilai tidak memiliki target bahkan justru menimbulkan ketidakstabilan di Papua. Masih banyak penyimpangan bahkan pelanggaran HAM. Akibatnya tidak ada perkembangan di sana, masyarakat asli tak pernah menikmati hasil tanah kelahirannya.
Banyaknya pelanggaran terhadap Otsus ini yag menyebabkan ditarik kesimpulan bahwa penerapan Otsus mengalami kegagalan. Pelanggaran seperti ditetapkannya dualisme hukum antara Provinsi dan Kab/Kota di daerah Otonomi khusus di Tanah Papua, dimana Provinsi melaksanakan UU No.21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, sedangkan Kab/Kota melaksanakan UU No.32 Tahun 2004. Selain itu pencairan dana otsus juga selalu terlambat dan tidak ada pembagian hasil sumber daya Papua antar penduduk Papua dan Jakarta, belum ditentukan kebijakan khusus yang mengatur keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan terhadap orang asli Papua, dan banyaknya penculikan dan pembunuhan yang terjadi di Papua menjadi kesimpulan bahwa penerapan Otonomi Khusus gagal total dan otonomi khusus cenderung menjadi alat politik bagi pemerintah dan pihak asing.

-          Berbagai Macam Pelanggaran HAM di Papua
Pelanggaran HAM di Papua antara lain :
-          Pelanggaran primer pada UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu pelanggaran kebebasan individu untuk hidup (Liberty), pelanggaran keamanan (Safety), pelanggaran perlawanan terhadap penindasan (Resistance to Oppression). seperti pembunuhan dengan segala cara dan juga pemerkosaan. Banyaknya pembunuhan oleh TNI yang kemudian tidak diusut dan dibiarkan begitu saja antara lain :

-          Pelanggaran Terhadap Hak – Hak Sipil dan Politik
 Terkait dengan penyelewengan penerapan Otonomi Khusus yang pada realitanya ternyata tidak berpihak pada penduduk Papua. Juga terkait pelanggaran pada MRP (Majelis Rakyat Papua) yang sangat dicampuri oleh pemerintah pusat, dan bidang keuangan cenderung tidak transparan pada pembagian sumber daya alam papua. Selain itu, pelanggaran yang mendasar adalah segala kebijakan yang dibuat oleh pemerintah untuk Papua tidak pernah mengikutcampurkan suara Papua atau wakil-wakil Papua di dalamnya.

-          Pelanggaran Terhadap Hak – Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
Sektor ekonomi, pendidikan dan kesehatan penduduk Papua sangat buruk sekali. Ini dikarenakan pengalokasian APBD yang pada realitanya tidak sesuai dengan angka yang tertera. Juga terkait dengan pengeksploitasi sumber daya alam Papua yang hasilnya tidak bisa dinikmati oleh penduduk Papua. Bahkan ketika saya mengikuti kajian dialog Otonomi Khusus Papua (Mata Kuliah Reformasi Sektor Publik) di Fakultas Hukum dengan kerjasama Lab.
OTODA Fakultas Hukum, pada saat itu hadir penduduk Papua yang berkuliah di Universitas Brawijaya, mereka mengungkapkan secara riil bagaimana kondisi di Papua. Bahkan menurut mereka, berita pemerintah di televisi bahwa Papua sekarang sudah maju itu adalah bohong besar. Mereka tidak merasakan perbedaan adanya otonomi khusus atau tidak, karena mereka tetap tidur dan terbangun dengan suasana gelap gulita tanpa lampu. Sehingga banyak pertanyaan apakah otonomi khusus ini hanya alat politik? Mereka juga akhirnya membentuk stigma “membenci masyarakat Jawa”, karena mereka merasa dianaktirikan oleh pemerintah pusat.
Mereka juga mengungkapkan bahwa banyak sekali muncul pembenci-pembenci Jawa dikarenakan tindak-tanduk TNI yang menghamili penduduk Papua kemudian mereka tidak bertanggungjawab. Akhirnya lahirlah bibit-bibit pembenci masyarakat Jawa. Selain itu, populasi penduduk Papua juga tiap tahunnya selalu berkurang jauh sekali dikarenakan faktor dibunuh, kesehatan yang buruk, gizi buruk, dll. Sangat ironis sekali bila ditilik papua adalah daerah yang sangat makmur dengan SDA tambangnya dibandingkan dengan daerah Jawa.

-          Pelanggaran Terhadap Diskriminasi Rasial
Pelanggaraan di Papua mencangkup pelanggaran terhadap diskriminasi rasial dikarenakan pada pelanggaran di papua sudah membawa stigma kedaerahan (primordial, kepentingan segelintir orang dan stigma masyarakat Papua – Jawa). Terjadinya diskriminasi bahwa semua orang Papua adalah anggota OPM dan tindakan sewenang-wenang TNI membunuh tanpa aturan dan tidak ada hukuman membuat populasi penduduk Papua menipis. Selain itu, apabila hal ini terus berkelanjutan, maka kekerasan tersebut bisa menjadi genocide yaitu pemusnahan suatu ras atau suku. Karena apabila digambarkan pada tabel analisis perubahan kependudukan di Papua, penduduk asli papua bisa benar-benar punah. Selain itu, banyak persoalan lain seperti menganaktirikan orang papua asli dengan pendatang, dikarenakan orang Papua asli lebih banyak berkulit hitam. Hal ini biasanya terjadi di lingkungan sekolah dan tempat kerja.

-          Pelanggaran Diskriminasi Terhadap Perempuan
            Pelanggaran di Papua bisa termasuk pada pelanggaran diskriminasi pada perempuan, dikarenakan tindakan aparatur TNI yang sewenang-wenang menggunakan tubuh perempuan penduduk Papua sebagai pelampiasan kebutuhan seks kemudian ditinggalkan begitu saja. Selain itu, perempuan penduduk Papua khususnya istri – istri anggota OPM juga banyak dimanfaatkan untuk memancing para anggota OPM yang kebanyakan laki- laki agar keluar dari persembunyiannya dan aparat TNI bisa menangkap juga tidak segan – segan membunuh. Namun faktanya adalah bahwa undang – undang tentang hak asasi manusia belum mampu melindungi perempuan terhadap pelanggaran hak asasinya dalam bentuk :

  1. Kekerasan berbasis gender bersifat kekerasan fisik, seksual atau psikologis, penganiayaan, pemerkosaan dan berbagai jenis pelecehan
  2. Diskriminasi dalam lapangan pekerjaan.
  3. Diskriminasi dalam sistem pengupahan.

 -------------------------------------------------------

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »