PEPERA 1969 DAN REALITAS PEMBANGUNAN PAPUA BARAT

PEPERA 1969 DAN REALITAS PEMBANGUNAN PAPUA BARAT
[Pepera 1969 Sudah Menjadi Bencana Bagi Bangsa Papua Barat! Penyelesaian Papua Barat Suatu Tinjauan Internasional!]
Oleh Gerald Bidana)*
Pengantar
Secara Geologi-pulau Papua terbentuk selama ratusan tahun silam sebagai pulau terbesar kedua di dunia. Cakupan wilayah mulai dari Sorong sampai Samarai (PNG) dan dikelilingi gugusan pulau dengan kekayaan alam yang sangat bervariatif. Kekayaan alam terbesar Papua adalah hasil hutan dan jenis bahan mineral yang telah, sedang dan akan dilakukan eksplorasi dan eksploitasi secara berkelanjutan untuk menopang kehidupan manusia di dunia. Kekayaan alam Papua sebagai modal utama keberlangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya di atas tanah Papua maupun suku bangsa lain yang tidak memiliki kekayaan sumber daya alamnya.
Secara Antroplogis-suku bangsa Ras Melanesia telah menempati di atas tanah Papua dengan dengan ciri khas berambut keriting dan berkulit hitam. Suku bangsa Melanesia mencapai ratusan bahkan ribuan diantaranya 312 suku terdapat di bagian barat pulau Papua (Sorong sampai Merauke), sedangkan selebihnya terdapat di bagian timur termasuk negara Papua New Guinea dan negara-negara pasifik lainnya, (Benny Giay, 2011). Proses peradaban telah melahirkan kebudayaan permanen seperti komunitas perkampungan alami dan struktur kekerabatan yang diikat dengan marga.
Hubungan timbal balik dengan alam semesta membentuk karakteristik individu di setiap suku sebagaimana bahasa daerah dan bentuk-bentuk rumah adat yang menyebar di wilayah pantai dan hilir sungai besar, hulu sungai sungai besar dan pedalaman hutan rimba Papua serta lembah-lembah besar pegunungan Papua.
Pemahaman korelasi antara topografi alam dan karakter dasar suku bangsa Papua yang tercermin dalam diri individu beda kultur harus dijadikan tolok ukur pembuatan dan penentuan strategi pembangunan manusia Papua secara berkelanjutan.
Lebih jauh, administrasi deposit alam yang dapat dimanifestasikan sebagai institusi sosial dan kultural, dimana eksponen suku berperan secara konstitutif menjadi modal pembangunan Papua yang tidak terperhatikan dalam pembangunan ala Indonesia.
Secara Filosofy-Manusia Papua telah ADA dan untuk MENGADAKAN kehidupan di atas tanah Papua dengan kesadaran tinggi dan dengan kebebasan yang dimilikinya. Manusia Papua dapat berpikir secara bebas dan melakukan apa saja yang ada untuk menghidupi diri dan sesama. Manusia Papua memiliki filsafat materi. Artinya mereka dapat berpikir dan bekerja untuk hidup yang tercermin dalam perbuatan-perbuatan yang bersifat menguasai dan menaklukannya. Karena itu, manusia Papua dihargai sebagai pemilik dan pengguna tanah Papua sesuai dengan hakekatnya yaitu makhluk terhormat dan terindah di bumi. Dimana hakekat hidupnya selalu didasari oleh adanya keinginan untuk hidup bebas dan merdeka atas dirinya merupakan keinginan insani yang amat mendasar.
Modal dasar manusia Papua adalah akal budi dan intelektualitas diri sebagai potensi luar bisa sebagaimana manusia lain di dunia. Konkrit intelektualitas manusia Papua nampak dari pelaksanaan upacara ritual seperti pendidikan inisiasi anak atau mengukir patung dengan menggunakan kecerdasannya. Oleh sebab itu, pemaknaan keberadaan manusia Papua harus dan mesti sama dengan manusia lain di dunia. Adalah makhluk yang paling terindah, bernilai luhur dan terhormat di muka bumi ini.
Wujud akal budi dan intelektualitas manusia Papua adalah adanya keinginan untuk hidup bebas dan mredeka atas dirinya. Keinginan itu lahir secara otomatis dalam dirinya untuk hidup bebas merdeka dalam komunitas suku masing-masing. Menurut Nico Dister (1988:5), keinginan manusia untuk hidup dengan bebas merdeka merupakan salah satu keinginan insani yang amat mendasar. Maka tidak mengherankan bahwa masalah kebebasan sudah banyak disoroti dalam tulisan-tulisan di pelbagai bidang yaitu kebebasan warga negara dibicarakan dengan hangat di bidang politik, dunia ekonomi mengenal pasar bebas, di bidang pendidikan pun kebebasan anak didik seringkali menjadi pusat perhatian.
Papua dalam sejarah-Pemerintah Belanda dan Inggris memasuki tanah Papua pada abad ke 16 dan memberi nama baru “New Guinea dan kemudian disebut Papua New Guinea”. Kedua negara kerajaan itu membagi Papua menjadi West Papua New Guinea dan East Papua New Guinea. West Papua New Guinea dikuasai pemerintah kerajaan Belanda dan East Papua New Guinea dikuasai oleh pemerintahan kerajaan Inggris dan Jerman (Inggris menguasai bagian selatan dan Jerman menguasai bagian utara dari Pulau New Guinea bagian Timur).
Papua Timur membentuk negara berdaulat dengan nama Papua New Guinea semenjak 16 September 1975. Cakupan wilayahnya mulai dari Western Province dan Sandaun Province sampai Samarai dan kepulaun Manus, Rabaul, Bougainville dan sekitarnya. Sedangkan Papua Barat menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui PEPERA 1969, yang secara hukum internasional telah terjadi banyak kesalahan oleh Indonesia, Belanda, Amerika Serikat dan PBB. Wilayahnya meliputi Raja Ampat sampai Merauke dan Jayapura.
Keberadaan pemerintah Belanda di Papua Barat telah berhasil membangun manusia Papua melalui pendidikan dan penyebaran Injil. Bidang pembangunan yang sangat menonjol adalah perluasan wilayah administratif pemerintahan. George Junus Aditjondro (2000: xx), pemerintah Belanda mengadakan perubahan dalam pembagian wilayah pemerintahan daerah yang dipimpin oleh Gubernur Van Waardenburg pada tahun 1961. Pembagian daerah ini dikutip dari Rapport inzake Nederlands-Nieuw Guiena over hat jaar tahun 1961, terdapat pada tabel berkut.
Tabel 1. Afdeling dan ibukota dengan wilayahnya
Urutan Afdeling
Wilayah Afdeling
Ibu Kota Afdeling
Jumlah Afdeeling dan Ibukota


I


Afdeling Holandia


Hollandia
Onerdafdeling Hollandia dengan ibukota Hollandia
Onderafdeling Nimboran dengan ibukota Genyem
Onderafdeling Sarmi dengan ibukota Sarmi
Onderafdeling Keerom dengan ibukota Ubrub
Ost-Bergland dengan ibukota Wamena (Daerah Penjajakan)

II

Afdeling Geelvinkbaai

Biak
Onderafdeling Schouten-Eilanden dengan ibukota Biak
Onderafdeling Yepen/Waropen dengan ibukota Serui

III

Afdeling Cenreal Nieuew Guinea

Dalam penjajakan
(Enarotali)
Onderafdeling Paniai dengan ibukota Enarotali
Onderafdeling Tigi dengan ibukota Waghete
Onderafdeling Bidden-Bergland (Daerah Penjajakan)
West-Bergland (Daerah Penjajakan)



IV



Afdeling Zued Nieueuw Guinea



Merauke
Onderafdeling Merauke ibu kota Merauke
Onderafdeling Mappi ibu kota Mappi
Onderafdeling Boven Digul dengan ibu kota Tanah Merah
Onderafdeling Asmat dengan ibu kota Agats
Onderafdeling Muyu dengan ibu kota Mindiptana 


V

Afdeling Fak-Fak

Fak-Fak
Oderafdeling Fak-Fak dengan ibu kota Fak – Fak
Onderafdeling Kaimana dengan ibu kota Kaimana
Onderafdeling Mimika dengan ibu kota Kokonao




VI




Afdeling West-Nieuew Guinea




Manokwari
Onderafdeling Sorong dengan ibu kota Sorong
Onderafdeling Raja Ampat dengan ibu kota Doom
Onderafdeling Manokwari dengan ibu kota Manokwari
Onderafdeling Ransiki dengan ibu kota Ransiki
Onderafdeling Teminabuan dengan ibu kota Teminabuan
Onderafdeling Bintuni dengan ibu kota Steenkool
Tindakan perluasan wilayah administratif pemerintahan Belanda disertai pembangunan unit-unit pendidikan berpola asrama secara terpadu antara lain: sekolah pamong praja di Jayapura dan Merauke, sekolah pendidikan guru di Fak-Fak, Kokonao, Biak dan Wondama, sekolah pertanian di Manokwari, Paniai dan Fak-Fak dan sebagainya. Tujuannya adalah mempersiapkan orang Papua agar mampu menghadapi perubahan-perubahan perkembangan jaman.
Pemerintah Belanda memandang pendidikan sebagai alat utama pembebasan suku bangsa di Papua barat dari kebodohan dan kemiskinan akan pengetahuan secara modern. Agar harus terjadi enkulturasi nilai-nilai positif yang dimiliki masing-masing suku Papua dan mengadaptasikannya dengan budaya-budaya modern. Penerapan sistem dan model pengembangan pendidikan ini memang disesuaikan dengan karakteristik suku bangsa Papua, sehingga sangat mudah dalam pengembangan misi agama dan pendidikan.
Dua misi besar yang dilaksanakan pemerintah Belanda yaitu pembangunan pendidikan berpola asrama dan pengembangan misi pekabaran Injil. Salah seorang ahli teologi berkebangsaan Belanda yang menginjakan kaki pertama kalinya di tanah Papua barat dan mengatakan “Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri” (Wasior, Manokwari, 25 Oktober 1925, Pdt. I.S. Kijne).
Ungkapan tersebut mau mengatakan bahwa pertama, manusia Papua itu sungguh ada untuk mengadakan kehidupan di atas tanah Papua sebagai pengewantahan Yang Maha Pencipta langit dan bumi serta segala isinya. Kedua, martabat manusia Papua harus dihargai sebagaimana telah tertuang di dalam Alkitab yang diimaninya dan nilai-nilai universal manusia. Ketiga, manusia Papua suatu kelak pasti maju seperti suku bangsa lain di dunia, sehingga harus perlu dicerdaskan berdasarkan realitasnya dengan penghayatan nilai- nilai Kristiani dan dengan penyelenggaraan pendidikan yang sungguh memerdekakan suku Bangsa Papua.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi yang semakin maju dan canggih beberapa tahun terakhir telah mendorong orang Papua berkembang lebih maju dari keadaan sebelumnya, dari belum tahu menjadi tahu dan dari tidak bisa menjadi bisa. Kemajuan yang dicapai selama 50 tahun baru sekitar 0,5% dan merupakan babak baru bagi suku bangsa Papua. Ungkapan Kinzje sudah mulai dialami oleh masyarakat pribumi Papua pada akhir-akhir ini. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa dalam berbagai aspek pembangunan yang mensejahterakan manusia masyarakat Papua sejak 1969-2012 tidak menunjukkan proporsi yang signifikan, tidak ada keberpihakan yang berarti bagi keberlangsungan hidup orang Papua. Konsep pembangunan manusia Indonesia belum sungguh teraktualisasi lewat satuan-satuan pemerintahan yang ada.






Bagaimana Realitas Pelaksanaan PEPERA 1969?
PEPERA lahir dengan mengikuti pergolakan politik dunia. Telah terbukti dalam sejarah dunia secara umum dan secara khusus, Papua Barat telah menjadi korban "PERANG DINGIN" antara dua negara super power yakni USA dan Uni Soviet. Untuk “memperbesar serta memperluas" wilayah kekuasaannya, maka USA telah memainkan dengan jeli, lihai dan penuh tipu muslihatnya tanpa menghiraukan Bangsa Papua Barat sebagai pihak yang lebih berhak dalam menentukan nasib mereka sendiri. PBB dan Belanda ibarat "KERBAU DICOCOK LUBANG HIDUNG" dan Indonesia tertawa terbahak-bahak penuh kegirangan sebab Amerika sebagai negara super power pada saat itu berpihak kepadanya. Rakyat Bangsa Papua dan Tanah Papua yang kaya raya akan segala Sumber Daya Alam-nya, jatuh ke tangan Indonesia. Betapa malangnya orang Papua Barat menjadi obyek yang diperlakukan semau mereka tanpa mengenal belas kasihan dan nilai-nilai kemanusiaan, lebih ironisnya justru hal ini dilakukan oleh mereka yang selalu menyombongkan dirinya dengan AZAS DEMOKRASI yang dibanggakan.
Persiapan-persiapan kemerdekaan Papua yang telah dipersiapkan oleh Belanda sebagai negara penjajah pada saat itu dan disahkan pada tanggal 19-10-1961 hanya merupakan mimpi indah sesaat saja dan sejarah kelabu bagi generasi penerus Bangsa Papua.
Demi kepentingannya, Amerika menekan Belanda keluar. Sebaliknya Belanda menjadikan Papua Barat sebagai ''Barang Gadai" demi memperoleh bantuan keuangan dari USA untuk membangun negaranya pada dekade 60-an yang hancur akibat pendudukan Jerman atas Belanda pada dekade 40-an, dan juga untuk membebaskan semua investasinya di Indonesia yang disita oleh Indonesia pada masa itu.
Secara sepihak dibuat perjanjian antara mereka tanpa melibatkan perwakilan Bangsa Papua dan disahkan dalam New York Agreement pada tanggal 15-08-1962 dan implementasinya pada PEPERA 1969 dengan isi perintahnya adalah one man one vote tetapi kemudian telah terbukti adanya manipulasi kekuatan militer Indonesia.
Demi kepentingan pertahanan Indonesia, maka Indonesia yang baru saja merdeka akan tapi telah mengincar Papua dan berhasil mengocok USA dengan menggunakan momentum "Perang Dingin"dengan meminta bantuan kepada Uni Soviet agar mendapat bantuan keamanan demi merebut Papua. USA benar-benar kewalahan dan tanpa pikir panjang mendesak Belanda keluar dari Papua demi membendung masuknya pengaruh KOMUNIS ke kawasan Pasifik. Dengan demikian, dalam rangka mempertahankan eksistensi BLOK BARAT di kawasan Pasifik dan membendung masuknya KOMUNIS ke wilayah tersebut, maka USA menggunakan BANGSA dan TANAH PAPUA sebagai tameng dan jaminan.
Untuk kepentingan pembangunan Ekonomi negaranya, setiap jengkal tanah Papua yang memiliki kekayaan tersendiri sehingga terus dikuasainya. SDA yang sungguh luar biasa hebat dan beraneka ragam ini telah menjadi incaran USA sejak awal dekade 60-an. Memang, Pulau New Guinea sejak dahulu telah diketahui oleh negara-negara Barat bahwa deposit emas terbesar dunia ada di Papua Barat bila dibandingkan dengan PNG yang terdapat 5:1 dengan PNG. Jadi, 5 bagian deposit emas Pulau New Guinea berada di Papua Barat. Untuk itulah Amerika berusaha mendesak Belanda keluar dari tanah Papua dan "menyuruh" Indonesia menggantikan posisi Belanda.
Bagi Indonesia, hal ini benar-benar membahagiakannya tapi bagi Belanda kejadian ini adalah "SEJARAH KELAM" yang sering mereka sebut sebagai "ZWART GESCHIEDENIS" dan ini adalah salah satu penyebab masalah di mana Belanda berusaha melupakan Papua selama beberapa dekade demi meredam ''sakit hatinya" itu.
Salah satu proyek terbesar dunia yang menjadi pemicu masalah pelanggaran HAM di Papua adalah Freeport Mc.Moran Copper & Gold Inco beroperasi di Grasberg, di mana 67% saham milik Freeport, Rio Tinto Group (Inggris dan Australia) memiliki 13% serta Pemerintah Indonesia mendapat 9,3% dan PT Indocopper Investama Corporation memiliki 9%. Sudah sangat jelas bahwa Bangsa Papua secara umum dan pemilik ulayat secara khusus sama sekali tidak diperhitungkan dalam hal ini. Semua demi kepentingan ekonomi negara-negara dan bangsa-bangsa asing.
PEPERA 1969 sesungguhnya dilaksanakan berdasarkan resolusi 1541 (XV) Majelis Umum PBB tahun 1960. Dalam peraturan PBB tentang dekolonisasi menyatakan bahwa pilihan apakah yang dilakukan ketika satu wilayah memurtuskan masa depan konstituionalnya. Di dalam resolusi itu tercatat Deklarasi Kemerdekaan Negara dan Bangsa Kolonial mengatakan bahwa semua orang memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Dengan demikian, menurut resolusi 1541 (XV) Majelis Umum PBB 1960, ada tiga cara :
a)      Melalui asosiasi bebas dengan Pemerintah yang berkuasa atau dengan salah satu negara merdeka yang lain sebagai hasil dari pilihan bebas dan sukarela oleh masyarakat wilayah tersebut dinyatakan melalui proses informasi dan demokratis.
b)      Melalui mengintegrasikan dengan pemberian kekuatan atau dengan salah satu negara merdeka atas dasar kesetaraan penuh antara non-pemerintahan sendiri dan independen dari negara.
c)      Bila cara a dan b tidak dapat dilaksanakan karena satu dan lain hal dalam arti salah satu Negara merdeka tidak mampu bertanggung jawab atau gagal dalam membangun masyarakat di wilayah tersebut maka wilayah tersebut otomatis dinyatakan MERDEKA SENDIRI tanpa alasan apapun.
Dapatlah dipastikan bahwa masalah Papua harus diselesaikan berdasarkan resolusi 1541 (XV) Majelis Umum PBB tahun 1960. Apabila kita kaitkan antara poin a, b, dimana orang Papua telah berada dibawah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun orang Papua terus berusaha untuk mengungkap kebenaran dan keadilan yang sesungguhnya. Orang Papua menuntut adanya keterlibatan pihak ketiga yang netral dalam mengungkap masalah mendasar bagi orang Papua.
Sekarang orang Papua tidak lagi berbicara tentang masalah Dekolonisasi, sebab Pemerintah Belanda sudah serahkan Bangsa Papua kepada Indonesia dengan tujuan Pemerintah Indonesia membangun orang Papua termasuk mempersiapkan masa depan politik yaitu secara bebas memberikan kesempatan kepada orang Papua untuk memilih dengan bebas apakah memilih berada dibawah Indonesia atau dengan salah satu negara merdeka yang lain atau memilih untuk merdeka sendiri. Namun kenyataanya lain pemerintah Indonesia MEMALSUKAN hak Orang Papua lewat PEPERA 1969 yang mana melanggar hak Orang Papua dan Hukum Internasional. Dengan kata lain Indonesia MENGINTEGRASIKAN Papua Barat kedalam Indonesia dengan pemalsuan, paksaan dan kekerasan hal itu berjalan terus menerus sampai dengan hari ini.
Pemerintah Indonesia telah mengetahui tentang peraturan Dekolonisasi (poin a,b,c) diatas dan kesalahannya terhadap orang Papua dari permulaan yaitu membunuh Orang Papua dalam berbagai aspek sampai hari ini, tidak membangun Orang Papua dengan baik. Maka pemerintah Indonesia menawarkan OTSUS sebagai solusi "terbaik" untuk menjawab semua persoalan di Papua, namun OTSUS tidak menjawab masalah mendasar orang Papua, gagal total. Pemerintah Indonesia masih terus lagi menawarkan UP4B namun juga akan gagal karena ditolak oleh Rakyat Papua. Semua program di atas (OTSUS maupun UP4B) adalah aktivitas propaganda politik Indonesia dalam menindas hak orang Papua.
Berdasarkan kondisi riil Papua saat ini, maka secara jelas melalui berbagai media dan forum telah menyatakan menolak dengan keras bentuk tawaran apapun yang disampaikan oleh Pemerintah Indonesia. Sebab semuanya itu adalah propaganda politik semata-mata dan tidak menguntungkan masa depan Rakyat Bangsa Papua, tidak akan pernah mengakui hak hidup orang Papua di atas tanah Papua. Apakah realitas kepalsuan ini akan terus bertahan sepanjang bangsa ini? Sekarang rakyat Papua berada pada “poin c” dari isi Deklarasi dekolonisasi.
Pepera 1969 Adalah Sejarah Palsu Dan Cacat Hukum
Dalam Socratez Sofyan Yoman (2011) menyediakan data secara akurat terkait ketidakjujuran dan manipulasi hasil Pepera 1969. Pemerintah dan aparat keamanan Indonesia selalu membanggakan diri dengan klaim bahwa Papua adalah bagian Indonesia yang sudah final melalui PEPERA 1969 dan Papua merupakan bekas jajahan Belanda sehingga otomatis masuk dalam Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Namun pertanyaannya ialah : (1) Mengapa penduduk asli Papua tidak pernah mengakui dan menerima PEPERA 1969 tapi sebaliknya secara konsisten melakukan perlawanan terhadap sejarah diintegrasikannya Papua Barat ke dalam wilayah Indonesia? (2) Apakah rakyat dan bangsa Papua Barat yang beretnis Melanesia ini keliru dalam memahami sejarah diintegrasikan Papua ke dalam wilayah Indonesia? (3) Kalau status Papua sudah final dalam Indonesia, mengapa harus ada UU No. 21 Tahun 2001 sebagai solusi politik yang final? (4) Mengapa Indonesia masih juga mau memberikan UP4B dalam menyambung kegagalan UU No.21 tahun 2001 yang telah terbukti gagal total?
Keempat pertanyaan ini mengandung alasan yang kuat karena menuntut rasa keadilan dan pengakuan hak bangsa Papua. Karena dalam proses dimasukkannya Papua ke dalam wilayah Indonesia, militer Indonesia memainkan peran sangat besar dalam proses pelaksanaan dan sesudah PEPERA 1969. Terlihat dalam dokumen militer: “Surat Telegram Resmi Kol. Inf. Soepomo, Komando Daerah Militer XVII Tjenderawasih Nomor: TR-20/PS/PSAD/196, tertanggal 20-2-1967, berdasarkan Radio Gram MEN/PANGAD No. TR-228/1967 TBT tertanggal 7-2-1967, perihal: menghadapi referendum di IRBA tahun 1969: “Mempergiatkan segala aktivitas di masing-masing bidang dengan mempergunakan semua kekuatan material dan personil yang organik maupun yang B/P-kan baik dari Angkatan darat maupun dari lain angkatan. Berpegang teguh pada pedoman. Referendum di IRBA tahun 1969 harus dimenangkan, harus dimenangkan. Bahan-bahan strategis vital yang ada harus diamankan. Memperkecil kekalahan pasukan kita dengan mengurangi pos-pos yang statis. Surat ini sebagai perintah OPS untuk dilaksanakan. Masing-masing koordinasi sebaik-baiknya. Pangdam 17/PANG OPSADAR”. “Pada 14 Juli 1969, PEPERA dimulai dengan 175 anggota dewan musyawarah untuk Merauke. Dalam kesempatan itu kelompok besar tentara Indonesia hadir…” (Sumber: Laporan resmi PBB: Annex 1, paragraph 189-200).
Adapun Surat Rahasia dari Komando Militer Wilayah XVII Tjenderawasih, Kolonel Infantri Soemarto-NRP.16716, kepada Kamando Militer Resort-172 Merauke tanggal 8 Mei 1969, Nomor: R-24/1969, Status Surat Rahasia, Perihal: Pengamanan PEPERA di Merauke. Intin isi surat rahasia adalah sebagai berikut: “Kami harus yakin untuk kemenangan mutlak referendum ini, melaksanakan dengan dua metode biasa dan tidak biasa. Oleh karena itu, saya percaya sebagai ketua Dewan Musyawarah Daerah dan MUSPIDA akan menyatukan pemahaman dengan tujuan kita untuk menggabungkan Papua dengan Republik Indonesia” (Sumber: Dutch National Newspaper: NRC Handelsbald, March 4, 2000).
Tidak saja masyarakat asli Papua yang melakukan perlawanan aneksasi Papua dan dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia. Tetapi, perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengawasi PEPERA 1969 di Papua Barat, Dr. Fernando Ortiz Sanz juga menyatakan dalam melaporkannya bahwa “Saya dengan menyesal harus menyatakan pengamatan-pengamatan saya tentang pelaksanaan Pasal XXII (22) Perjanjian New York, yang berhubungan dengan hak-hak termasuk hak-hak kebebasan berbicara, kebebasan bergerak, kebebasan berkumpul, penduduk asli. Dalam melakukan usaha-usaha yang tetap, syarat-syarat yang penting ini tidak sepenuhnya dilaksanakan dan pelaksanaan administrasi dalam setiap kesempatan diadakan pengawasan politik yang ketat terhadap penduduk pribumi.
Ortiz menyatakan pula, “penjelasan orang-orang Indonesia atas pemberontakan Rakyat Papua sangat tidak dipercayai. Sesuai dengan penjelasan resmi, alasan pokok pemberontakan Rakyat Papua yang dilaporkan administrasi lokal sangat memalukan. Karena, tanpa ragu-ragu penduduk Irian barat dengan pasti memegang teguh berkeinginan merdeka” (Sumber: Laporan Resmi Hasil PEPERA 1969 Dalam Sidang Umum PBB, Paragraf 164, 260). Dr. Fernando Ortiz Sanz dalam laporan resminya dalam Sidang Umum PBB tahun 1969 menyatakan: “ Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka” (Sumber: UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph, 243, p.47).
Berhubungan dengan kepalsuan sejarah pelaksanaan PEPERA 1969 dibawah tekanan militer Indonesia, anggota resmi PBB juga melakukan protes keras dalam Sidang Umum PBB pada tahun 1969 oleh anggota resmi PBB. Mereka (anggota PBB) mempersoalkan pelaksanaan PEPERA yang penuh dengan kebohongan dan kejahatan kemanusiaan yang melanggar hukum internasional. Karena, hasil PEPERA 1969 itu dianggap melanggar hukum internasional, maka dalam Sidang Umum PBB hanya mencatat “take note”. Istilah “take note” itu tidak sama dengan disahkan. Hanya dicatat karena masih ada masalah yang serius dalam pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat. Hasil PEPERA 1969 tidak disahkan tapi hanya dicatat karena perlawanan sengit dari beberapa Negara anggota PBB yang dimotori oleh pemerintah Ghana. Itu menjadi terbukti dalam arsip resmi di kantor PBB, New York, Amerika Serikat, terbukti: “ …156 dari 179 pernyataan yang masih tersimpan, sesuai dengan semua yang diterima sampai tanggal 30 April 1969, dari pernyataan-pernyataan ini, 95 pernyataan anti Indonesia, 59 pernyataan pro Indonesia, dan 2 pernyataan adalah netral” (Sumber resmi: Dok PBB di New York: Six lists of summaries of political communications from unidentified Papuans to Ortiz Sanz, August 1968 to April 1969: UN Series 100, Box 1, File 5).
Duta Besar pemerintah Ghana, Mr. Akwei, memprotes dalam Sidang Umum PBB dengan mengutip laporan Dr. Fernando Ortiz Sanz tentang sikap Menteri Dalam Negeri Indonesia yang tidak terpuji yang ditunjukkan kepada peserta PEPERA di Papua Barat. “yang dilaporkan oleh perwakilan Sekretaris Umum bahwa bukti-bukti peristiwa keputusan pelaksanaan pemilihan bebas adalah fenomena asing dimana Menteri Dalam Negeri naik di mimbar dan benar-benar kampanye. Dia, Menteri Dalam Negeri Indonesia meminta anggota-anggota dewan musyawarah untuk menentukan masa depan mereka dengan mengajak bahwa mereka satu ideologi Pancasila, satu bendera, satu pemerintah, satu Negara dari sabang sampai Merauke…”.
Sedangkan Duta Besar pemerintah Gabon, Mr. Davin, mengkritik sebagai berikut: “setelah kami mempelajari laporan ini, utusan pemerintah Gabon menemukan kebingungan yang luar biasa, itu sangat sulit bagi kami menyatakan pendapat tentang metode dan prosedur yang dipakai untuk musyawarah rakyat Irian Barat. Kami dibingungkan luar biasa dengan keberatan-keberatan yang dirumuskan oleh Mr. Ortiz Sanz dalam kata-kata terakhir pada penutupan laporannya. Berkenaan dengan metode-metode dan prosedur-prosedur ini, jika utusan saya berpikir perlunya untuk menyampaikan pertanyaan mendasar, itu dengan pasti menarik perhatian peserta sidang untuk memastikan aspek-aspek yang ada, untuk menyatakan setidak-tidaknya luar biasa. Kami harus menanyakan kekejutan kami dan permintaan penjelasan tentang sejumlah bukti-bukti yang disampaikan dalam laporan perwakilan Sekreratis Jenderal. Contoh, kami dapat bertanya:
a.       Mengapa sangat banyak jumlah mayoritas wakil-wakil diangkat oleh pemerintah dan tidak dipilih oleh rakyat?
b.      Mengapa pengamat PBB dapat hadir dalam pemilihan hanya 20 persen wakil, beberapa dari mereka hanya sebentar saja?
c.       Mengapa pertemuan konsultasi dikepalai oleh Gubernur; dengan kata lain, oleh perwakilan pemerintah?
d.      Mengapa hanya organisasi pemerintah dan bukan gerakan oposisi dapat hadir sebagai calon?
e.       Mengapa prinsip “one man, one vote” yang direkomendasikan oleh perwakilan Sekretaris Jenderal tidak dilaksanakan?
f.       Mengapa tidak ada perwakilan rahasia, tetapi musyawarah terbuka yang dihadiri pemerintah dan militer?
g.      Mengapa para menteri dengan sengaja hadir dan mempengaruhi wakil-wakil di depan umum dengan menyampaikan mereka bahwa “hanya hak menjawab atas pertanyaan untuk mengumumkan bahwa mereka berkeinginan tinggal dengan Indonesia?
h.      Mengapa hak-hak pengakuan dalam Pasal XXII (22) Perjanjian New York, yang berhubungan dengan kebebasan menyatakan pendapat; berserikat dan berkumpul tidak dinikmati oleh seluruh penduduk asli Papua?
Beberapa pertanyaan di atas adalah protes dan kritik keras kelompok Negara-Negara Afrika karena sejak tahun 1961 telah bersimpati terhadap persoalan-persoalan Papua” (Doroglever, hal. 784). Berkaitan rekayasa pelaksaan PEPERA 1969 ini, para sejarawan juga menemukan bukti-bukti kepalsuan. J.P. Drooglever menemukan dalam penelitiannya : “Laporan akhir Sekjen PBB seluruhnya didasarkan pada laporan Ortiz Sanz tentang peranannya dalam pelaksanaan Kegiatan Pemilihan Bebas. Laporan ini hanya berisi kritik yang lemah terhadap oposisi dari pihak Indonesia. Atas dasar ini, U. Thant tidak bisa berbuat lain kecuali menyimpulkan bahwa suatu Kegiatan Pemilihan Bebas telah dilaksanakan. Ia (U.Thant) tidak bisa menggunakan kata depan yang tegas (the), karena nilai-nilai proses itu jauh di bawah standar yang diatur dalam Persetujuan New York. Walaupun dapat ditafsirkan sebagai suatu penilaian yang mencibir, tetapi pihak-pihak yang justru mengabaikan pengkalimatan yang tidak jelas dalam persetujuan New York itu” (hal.784). (Sumber: Tindakan Pilihan Bebas, Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri”. Lebih lanjut Drooglever mengatakan, “menurut pendapat para pengamat Barat dan orang-orang Papua yang bersuara mengenai hal ini, tindakan Pilihan Bebas berakhir dengan kepalsuan, sementara sekelompok pemilih yang berada di bawah tekanan luar biasa tampaknya memilih secara mutlak untuk mendukung Indonesia” (hal. 783). Ini bertentangan dengan “…karakter nasional yang sama sekali berbeda dan hampir tidak ada paham nasionalisme Indonesia di kalangan orang-orang Papua” (2010: hal.775).
Dr. Hans Meijer, Sejarawan Belanda dalam penelitiannya yang berhubungan dengan hasil PEPERA 1969 di Papua Barat menyatakan bahwa “PEPERA 1969 di Papua Barat benar-benar tidak demokratis. Sebagian besar hal menarik adalah tentang dokumen-dokumen yang benar-benar tertulis dalam arsip. Sebab Menteri Luar Negeri, Lunz, dia menyatakan secara jelas dalam arsip surat bahwa dia percaya PEPERA 1969 dilaksanakan dengan cara tidak jujur sebab jikalau jujur orang-orang Papua bersuara melawan Indonesia…., sungguh-sungguh itu tidak demokratis dan itu lelucon. Lunz juga pernah mengadakan pertemuan sangat rahasia dengan Menteri Luar Negeri Indonesia (Adam Malik) bahwa Belanda meninggalkan Papua ketika PEPERA dilaksanakan. Bahwa Belanda telah mengetahui bahwa PEPERA 1969 benar-benar tidak demokratis, walaupun demikian Belanda tidak berbuat apa-apa tentang itu.
Mr. Saltimar adalah Duta Besar Belanda di Jakarta, pada waktu pelaksanaan PEPERA, dia menulis surat kepada Mr. Schiff sebagai Sekretaris Umum Luar Negeri bahwa tentu saja dia melihat banyak hal yang salah tetapi itu bukan tanggungjawab untuk melaporkan tentang itu dalam dokumen-dokumen resmi. PEPERA 1969 adalah suatu penghinaan dan itu sesungguhnya tidak jujur dan itu perlu ditinjau kembali. “ (Documents show Dutch support for West Papua take-over, ABC Radio National Asia/Pasific Program.first broadcasting, 17 April 2001).
Akademisi Inggris, Dr. John Saltford yang melalukan penyelidikikan hasil pelaksanaan PEPERA 1969 menyatakan: “tidak ada kebebasan dan kesempatan dalam perundingan-perundingan atau proses pengambilan keputusan orang-orang Papua Barat dilibatkan. Jadi, PBB, Belanda dan Indonesia gagal dan sengaja sejak dalam penandatanganan tidak pernah melibatkan orang-orang Papua untuk menentukan nasib sendiri secara jujur” (John Salford: United Nations Involment With the Act of Free Self-Determination in West Papua (Indonesia West New Guinea) 1968 to 1969). Saltford menyatakan, “bahwa Dr. Fernando Ortiz Sanz sendiri menyampaikan laporan bahwa banyak pernyataan yang dia terima dalam akhir minggu tahun 1969 adalah melawan Indonesia. Dengan demikian, alasan yang dapat diterima dalam kesimpulan bahwa jumlah sedikitnya 60% pernyataan ditujukan kepada PBB adalah melawan Indonesia dan setuju referendum secara jujur dan terbuka. Karena itu, Ortiz Sanz sendiri memilih untuk berhati-hati dalam Sidang Umum PBB atau dia telah disampaikan untuk melakukan pembohongan itu oleh U.Thant”.
Pemerintah Amerika Serikat juga mengakui orang-orang asli Papua berkeinginan kuat untuk merdeka. “Pada bulan Juni 1969, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia mengakui kepada anggota Tim PBB, Ortiz Sanz, secara tertutup (rahasia): “bahwa 95% orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua” (Sumber: Summarey of Jack W. Lydman’s report, July 18, 1969, in NAA, Extracts given to author by Anthony Bamain).
Pengakuan itu tidak saja datang dari pemerintah Amerika Serikat tetapi juga datang dari pemerintah Indonesia Sudjarwo, mengakui: “ banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia” (Sumber Resmi: UNGA Official Records MM ex 1, paragraph 126).
Akibat dari rekayasa dan kepalsuan pelaksanaan PEPERA 1969 ini, belakangan ini datang berbagai tekanan dan gelombang protes untuk tinjau kembali status politik Papua.
Tekanan-tekanan itu dari dari anggota Kongres Amerika, Parlemen Inggris, Uni Eropa, Irlandia dan berbagai Negara.
Pada 31 Januari 1996, Parlemen Irlandia mengeluarkan resolusi tentang West Papua. Bunyi resolusi sebagai berikut. “Ketidakjujuran pelaksanaan PEPERA 1969 sebagai pernyataan yang tidak murni dalam penentuan nasib sendiri orang-orang West Papua. Maka Parlemen Irlandia menyerukan kepada Pemerintah Irlandia meminta kepada PBB untuk menyelidiki pelaksanaan PEPERA yang menindas dan mengkhianati hak-hak asasi manusia dan mempertanyakan pengabsahan PEPERA 1969”.
Melihat akar permasalahan sejarah diintegrasikannya Papua ke delam wilayah Indonesia yang penuh rekayasa, kepalsuan dan cacat hukum seperti ini diperlukan penyelesaian yang berprospek damai, bermartabat dan manusiawi harus ditemukan antara penduduk asli Papua dengan pemerintah Indonesia yang dimediasi oleh pihak ketiga yang netral.

Pada 19 Juli 2002, 34 Anggota Parlemen Uni Eropa menyerukan kepada Komisi dan Parlemen Uni Eropa untuk mendesak Sekjen PBB, Kofi Annan, dengan pernyataan sebagai berikkut: “PEPERA 1969 lebih daripada lelucon. Jumlah 1.025 orang Papua, semuanya dipilih oleh penguasa Indonesia yang diijinkan untuk menyuarakan dengan menyatakan tidak ada pengawasan PBB, masa depan orang-orang Papua Barat 800.000 penduduk asli, mereka serentak bersuara tinggal dengan Indonesia. Menyerukan kepada Dewan dan Komisi Uni Eropa untuk mendesak Sekjen PBB yang berhubungan dengan PEPERA 1969 dan mempertimbangkan kembali penentuan nasib sendiri di Papua Barat untuk menciptakan stabilitas wilayah Asia Timur Selatan” (baca: Laporan Komisi Uni Eropa, the EC Conflict Prevention Assessment Mission: Indonesia, March, 2002, on unrest in West Papua).
Pada 17 Februari 2005, Eni F.H. Faleomavaega menyurat kepada Pemerintah Amerika, “Pada tahun 1969, Indonesia menyusun suatu pemilihan yang banyak berkaitan operasi yang brutal. Yang diketahui sebagai suatu “Act of– No Choice” atau hukum yang tidak ada pemilihan, 1.025 pemimpin Papua Barat dibawah pengawasan militer yang kuat diseleksi untuk memilih atas nama 809.327 orang Papua barat untuk status politik wilayah itu. Perwakilan PBB dikirim untuk mengawasi dan melaporkan hasil proses pemilihan dan laporannya yang berbeda yang penghancuran serius Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa”.
Pada 14 Februari 2008, Eni F.H. Faleomavaega dan Donald Payne, Anggota Kongres Amerika melayangkan surat kepada Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Ban Ki-Moon, (Referendum-PEPERA 1969) bagi orang asli Papua itu dengan jelas menunjukkan bahwa tidak pernah dilaksanakan. Dalam fakta, 37 (tiga puluh tujuh) Anggota Kongres Amerika telah menulis surat, pada tahun 2006, kepada Tuan Annan meminta bahwa PBB tinjau kembali untuk melaksanakan peneperimaan “PEPERA 1969” itu.
Pada 1 Desember 2008, di gedung Parlemen Inggris, London, Hon. Andrew Smith, MP, dan The Rt. Revd. Lord Harries of Pentregarth dan 50 anggota Parlemen dari berbagai Negara menyatakan: “kami yang bertanda tangan di bawah ini dengan jujur dan benar mengakui penduduk asli Papua Barat untuk menentukan nasib sendiri (Self-Determination), karena masa depan mereka dihancurkan melalui PEPERA 1969 “Act of Free Choice 1969”. Kami menyerukan kepada pemerintah-pemerintah melalui PBB mengatur untuk pelaksanaan penentuan nasib sendiri dengan bebas dan jujur. Penduduk asli Papua Barat dapat memutuskan secara demokratis masa depan mereka sendiri sesuai dengan standar-standar hak asasi Internasional, prinsip-prinsip hukum Internasional, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa”.
Pembangunan Papua Barat Selama 42 Tahun Setelah Pepera
Rakyat Papua Barat menyadari sungguh bahwa mereka tidak pernah diakui sebagai warga negara Indonesia selama 42 tahun berjalan. Terbukti sejak tahun 1969 sampai dengan sekarang semua kebijakan selalu di-backup oleh militer, sehingga terjadi marjinalisasi dan diskriminasi dalam berbagai aspek pembangunan di seluruh tanah Papua.
Banyak peristiwa disana, seperti pemberlakuan DOM yang dilancarkan sejak:
·         Operasi Naga yang kemudian diganti menjadi Operasi Djayawijaya dipimpin oleh Kapten Infantri Benny Moerdani pada tahun 1963 mulai dengan,
·         Operasi Sadar pada tahun 1965 di bawah pimpinan Pangdam Tjenderawasih R. Kartidjo,
·         Operasi Baratha Yudha 1966-1967 dipimpin oleh Brigjen R.Bintoro,
·         Operasi Wibawa tahun 1969 dipimpin oleh Pangdam Sarwo Edi,
·         Operasi Pamungkas tahun 1971 di Biak dipimpin oleh Dandim Biak Mayor R.A Hendrik dan Mayor Puspito serta di Manokwari dipimpin oleh Mayor Ahmad dan dilanjutkan oleh Letkol S.Mardjan,
·         Operasi Koteka pada april-juni tahun 1977 adalah operasi TNI yang terburuk dan memakan korban terbanyak dipimpin oleh Pangdam Tjenderawasih Brigjen Imam Munandar,
·         Operasi Senyum pada tahun 1977-1978 oleh Jenderal M. Yusuf,
·         Operasi Gagak I pada tahun 1985-1986 dipimpin oleh Pangdam Mayjen H.Simanjuntak,
·         Operasi Gagak II pada tahun 1986-1987 oleh Pangdam Mayjen Setiana,
·         Operasi Kasuari 01 pada tahun 1987-1988 dipimpin oleh Pangdam Trikora Mayjen Wismoyo Arismunandar,
·         Operasi Kasuari 02 pada tahun 1988-1989 oleh Pangdam Trikora Mayjen Wismoyo Arismunandar,
·         Operasi Rajawali 01 pada tahun 1989-1990 oleh Pangdam Trikora Mayjen Abinowo serta,
·         Operasi Rajawali 02 pada tahun 1990-1991 oleh Pangdam Mayjen Abinowo.
Bahwa sekalipun DOM telah dicabut pada akhir dekade 90-an namun sampai saat ini perampasan hak ulayat, penahanan tanpa mengikuti proses dan prosedur hukum yang semestinya, penculikan dan pembunuhan baik secara terang-terangan maupun secara tersembunyi masih terus terjadi di Papua,pelanggaran HAM telah terjadi dalam setiap aspek kehidupan Orang Asli Papua.
Selain itu terjadi pula Dominasi Penguasaan Sistem Birokrasi di kantor-kanor pemerintahan dan partai politik dan sebagainya. Kondisi ini membuat rakyat Papua trauma mendalam dan semakin tidak percaya bangsa ini terhadap pemerintah Indonesia. Apalagi pada saat ini, di era modern dan demokrasi masih terus melancarkan serangan-serangan terhadap berbagai aktivis HAM, pergerakan Pemuda, Tokoh Agama, Tokoh Adat dan sebagainya yang mau menyuarakan rasa ketidakjujuran dan ketidakadilan yang mereka (bangsa Papua) alami.
Pada bidang pemerintahan secara teknis masih dikuasai oleh orang non Papua, yang adalah perpanjangan tangan pemerintah pusat dan militer Indonesia. Alasan mendasar bagi pemerintah pusat dan sederajatnya yang kami jumpai adalah Orang Asli Papua tidak mampu secara akademik sehingga tidak dapat mengendalikan pekerjaan-pekerjaan di pemerintahan dan sejuta alasan serta kekwatiran-kekwatiran lainnya.
Pertanyaan muncul, apakah semua yang terjadi selama 42 tahun di Papua Barat itu turun dari langit? Apakah realitas keberadaan rakyat Papua memang demikian adanya sejak dahulu kala dan tidak bisa mengikuti perubahan jaman modern ini? Bukankah ini akibat dari kebijakan pemerintah Indonesia sendiri? Kalau begitu, siapa yang harus mengakui dan bertanggung jawab atas realitas pembangunan di seluruh tanah Papua? Siapa yang harus bertanggung jawab atas pelanggaran HAM Papua selama 42 tahun?
Jawaban beberapa pertanyaan tersebut, kembalikan kepada pelurusan dan pengakuan sejarah yang kelam itu. Prinsip dasar dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan perdamaian di Papua tidak akan pernah ada sejauh masalah mendasarnya tidak diselesaikan secara bermartabat dan berkeadilan. Jadi, sebelum membicarakan kesejahteraan dan kedamaian manusia masyarakat Papua, harus terlebih dahulu “menyembuhkan luka batin rakyat Papua yang telah membusuk dan mendalam” selama 42 tahun itu.
Rakyat Papua, rakyat Indonesia dan masyarakat dunia sudah tahu atas semua kebijakan dan perilaku pemerintah Indonesia dalam pembangunan Papua Barat. Konsep otonomi khusus sudah sangat jelas berpihak kepada rakyat Papua tetapi masih dikendalikan seluruhnya oleh pemerintah Pusat. Akibatnya masyarakat Papua sangat tidak percaya lagi kepada pemerintah pusat dan menyatakan Otonomi Khusus gagal total dalam membangun manusia masyarkat Papua, akhirnya dikembalikan melalui MRP tahun 2005. Setelah adanya penolakan terhadap implementasi Otsus, maka sekarang dimunculkan lagi dengan UP4B yang jelas-jelas menunjukkan ketakutan luar biasa atas kegagalan membangun Papua. Ketakutan ini muncul karena sudah ada intervensi, mendapat desakan-desakan dunia Internasional sebagai donatur dana Otonomi Khusus Papua yang telah digagalkan itu.
Undang-Undang No 21 Tahun 2001 adalah solusi politik atau bargaining politik antara bangsa Papua dan bangsa Indonesia, untuk melindungi rakyat Papua, pemberdayaan orang asli Papua, keberpihakan kepada orang asli Papua. Tetapi, dalam realitasnya, Otonomi Khusus memang benar-benar gagal. Otonomi Khusus benar-benar menjadi mesin pembunuh masa depan rakyat dan bangsa Papua. Otonomi Khusus benar-benar menjadi alat ampuh proses pemusnahan etnis Papua yang lebih aman, cepat, sistematis dan tidak menimbulkan kecurigaan-kecurigaan dari masyarakat Internasional yang peduli tentang kemanusiaan. Otonomi Khusus adalah lembaga yang memperpanjang penderitaan, tetesan dan cucuran air mata penduduk asli Papua. Otonomi Khusus adalah solusi dan keputusan politik tentang status politik Papua ke dalam Indonesia yang telah gagal. Otonomi Khusus adalah mesin penghancur yang benar-benar meminggirkan, memarjinalkan penduduk asli Papua dari segala aspek. Otonomi Khusus adalah PEPERA 1969 jilid kedua yang telah gagal dan telah menjadi persoalan baru (Socratez, 2011).
Bagaimana pun juga, rakyat Papua dan dunia Internasional sudah mengetahui atas semua yang telah menjadi kebijakan dan implementasi sejumlah program pemerintah Indonesia di Papua Barat. Saya percaya masalah Papua akan terselesaikan secara bermartabat sebagai suatu bangsa, mesti harus tinjau ulang PEPERA 1969 dengan mengacu pada reslousi 1541 (XV) Majelis Umum PBB tahun 1960. Karena semua kebijakan atas pembangunan Papua menuju kesejahteraan dan mewujudkan perdamaian sudah gagal total. Yang hanya bisa menciptakan marginalisasi dan diskriminasi, pelanggaran HAM yang semakin meningkat, dan pengeksploitasian SDA secara besara-besaran dan sebagainya.
Aspek mendasar yang menjadi cerminan kegagalan atas semua kebijakan pemerintah dengan jaminan PEPERA 1969 adalah pendidikan Papua selam 42 tahun tidak pernah dibangun sesuai kondisi dan situasi Papua, yang kemudian orang Papua selalu dicap, dianggap masih bodoh, rendah bahkan sedang tersingkirkan dari keberadaannya. Padahal pendidikan sebagai tolok ukur untuk menjawab kesejahteraan dan keadilan atau perekonomian, kesehatan, pembangunan infrastruktur, kebudayaan dan sebagainya. Kebutuhan mendasar ini saja tidak dibangun, apalagi yang lain?
Kesimpulan
Rakyat Papua Barat mengharapkan pengembalian hak dan harga dirinya melalui cara yang bermartabat. Mereka adalah manusia bermartabat sama seperti bangsa lain di dunia. Mereka akan mau mengakui martabat suku bangsa lain apabila luka batin yang mendalam itu tersembuhkan. “Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini, bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri” (Wasior, Manokwari, 25 Oktober 1925, Pdt. I.S. Kijne).
Saya percaya masalah Papua akan terselesaikan secara bermartabat sebagai suatu bangsa, mesti harus tinjau ulang PEPERA 1969 dengan mengacu pada resolusi 1541 (XV) Majelis Umum PBB tahun 1960. Karena semua kebijakan atas pembangunan Papua menuju kesejahteraan dan mewujudkan perdamaian sudah gagal total. Yang hanya bisa menciptakan marjinalisasi dan diskriminasi, pelanggaran HAM yang semakin meningkat, dan pengeksploitasian SDA secara besara-besaran untuk kepentingan ekonomi negara tanpa peduli pada hak ulayat kaum pribumi Papua.
Masalah Papua bukan masalah makan dan minum akan tetapi tentang HARGA DIRI, JATI DIRI MANUSIA PAPUA. SEMOGA!!

________________________________________________________________________
Makalah disampaikan pada SEMINAR NASIONAL “MENUJU KESEJAHTERAAN & KEADILAN PAPUA SETELAH 43 TAHUN PEPERA 1969” yang dilaksanakan kerjasama Fakultas Hukum UGM, Metro TV, Majalah Gatra, Lingkar Pelangi Nusantara (LPN) dan Lembaga Intelektual Tanah Papua (LITP) di Kampus UGM Yogyakarta Tanggal 09 Juli 2012.

Daftar Refrensi

Droglever. P.J. 2005. Tindakan Pilihan Bebas. Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri: Kanisius Yogyakarta.
Giayi. Benny. 2011. Hidup dan Karya Jhon Rumbiak. Gereja, LSM dan Perjuangan HAM Dalam Tahun 1980an di Tanah Papua. Deiyai West Papua.
Soekadijo.RG & Aditjondro. 2001. Belanda Di Irian Jaya : Garba Budaya Jakarta.
Sofyan Socrates. 2011. West Papua Persoalan Internasional. Cendrawasih Press : West Papua

_____________. 2011. Gereja & Politik Di Papua Barat. Cendrawasih Press : West Papua

Mr. M. Bame. 2010. Sekilas Sejarah Revolusi,Tantangan,Terobosan Dan Dukungan. Artikel Internasional

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »