Setelah 52 tahun menjadi bagian dari Indonesia, masyarakat Papua  belum mencapai peningkatan taraf hidup yang berarti. Kemiskinan,  buruknya pendidikan dan kesehatan, serta pelanggaran hak asasi manusia  (HAM) bertubi-tubi, menjadi wajah Papua saat ini.
Kemunculan  Joko Widodo (Jokowi) menjadi presiden ketujuh RI, dengan gayanya yang  simpatik, diharapkan membawa perubahan, mampu membangun rasa saling  percaya warga Papua dengan pemerintah pusat di Jakarta. Rasa percaya ini  yang sudah semakin hilang dari orang asli Papua terhadap Jakarta.
Rohaniwan  Papua, Benny Giay, dalam perbincangan dengan SH mengatakan, rasa tidak  percaya itu terbangun lantaran kekecewaan yang terus-menerus dari orang  asli Papua. Bertahun-tahun orang di Papua diberikan janji dan janji,  namun tidak ada yang terwujud.
Otonomi khusus yang  terbit di era Presiden Megawati Soakarnoputri, misalnya, dibayangkan  sebagai solusi, ternyata gagal. Berbagai lembaga dibentuk di era  Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seperti UP4B, tapi gagal juga.  Anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) Wolas Krenak mengatakan, setiap ada  program baru yang datang dari Jakarta ditanggapi curiga dengan ungkapan  bernada gurau oleh warga Papua. “Ko bawa datang apa lagi? He ko stop  tipu-tipu sudah!” 
Hanya Soekarno
Sebaliknya,  stigma dan stereotip sebagai separatis terus dilekatkan kepada orang  Papua. Dengan mudahnya orang Papua yang vokal menuntut haknya, orang  Papua yang berkumpul membicarakan nasibnya, dicap sebagai separatis.  Atas nama separatis, ratusan pemuda berakhir hidup di ujung peluru.  Stigma ini membuat aparat keamanan kerap memberi jawaban terhadap protes  orang Papua dengan senjata.
“Bahkan, kalau anggota  MRP bicara, bisa dibilang separatis,” kata Wakil Ketua MRP Ani Sabami.  Politikus senior Partai Golkar asal Papua, Simon Patrice Morin  mengatakan, pada masa awal bergabung dengan Indonesia tahun 1963, Papua  sangat diperhatikan oleh Presiden Soekarno.
Presiden pertama  Indonesia itu memberi apa pun yang dibutuhkan Papua. Ia sadar bahwa  Papua butuh penyesuaian agar sama kemajuannya dengan daerah lain.  Ratusan pemuda asli Papua disekolahkan di pusat-pusat pendidikan di  Pulau Jawa. Bung Karno juga membangun mes atau asrama khusus agar orang  Papua yang datang ke Jawa, tidak kesulitan mencari tempat tinggal. Ada  kebijakan karantina politik untuk membatasi pendatang masuk ke Papua.  Bahkan, dibuat mata uang khusus rupiah Papua. “Itu masa-masa bulan madu  Papua dengan NKRI,” tuturnya.
Namun, keadaaan mulai  berubah saat pemerintahan Presiden Soeharto. Dimulai pada masa menjelang  penentuan pendapat rakyat (Pepera) 1969. Selanjutnya, Soeharto merasa  perlu melakukan pendekatan keamanan dalam upaya memenangkan Papua.  Masyarakat Papua sempat berpikir pendekatan keamanan selesai setelah  pepera, nyatanya tidak sama sekali. Malah makin menjadi-jadi.
Demi  membangun ekonomi, arus modal masuk, pendekatan keamanan dilakukan agar  tetap stabil. Namun Soeharto, kata Morin, tidak mempersiapkan cara  bagaimana orang Papua harus menghadapi perubahan. Bukan itu saja, arus  pendatang masuk dengan program transmigrasi. “Sejarah berulang. Dulu  Jawa menolak Belanda karena pembangunan yang justru menjadikan orang  Jawa terasing di negerinya. Sekarang, Papua juga merasa pembangunan ini  tidak tepat,” ujar Morin.
Terobosan Kosong
Setelah  Soeharto jatuh, Presiden BJ Habibie membuat terobosan. Wakil Ketua  Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia Karel Phil Erari mengatakan pada  1999, BJ Habibie mengundang 100 tokoh Papua berdialog di Istana Merdeka,  Jakarta. “Itu pertemuan bersejarah, untuk pertama kalinya orang Papua  datang ke Istana Negara, minta Papua merdeka,” katanya.
Berikutnya,  pada masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk pertama kalinya  nama Papua boleh digunakan secara resmi. Gus Dur mengundang sejumlah  tokoh Papua termasuk dirinya, Michael Manufandu, Simon Patrice Morin,  dan Lukas Degey. “Gus Dur bilang ‘Kalian boleh minta apa pun kecuali  melepaskan diri,” kenangnya.
Kemudian muncullah UU  21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua oleh Presiden Megawati  Soekarnoputri. Megawati juga memekarkan Papua, muncul Provinsi Papua  Barat. Ada dana khusus untuk Papua, yang seolah-olah menjadi “maskawin”  agar Papua tidak lepas dari NKRI. Setelah hampir satu dekade, rakyat  Papua menilai otsus dari Megawati itu juga gagal total.
Dalam  pertemuan dengan Presiden SBY di Cikeas, Bogor, empat tokoh Papua  didampingi PGI mengkritik pemerintah pusat. Benny Giay menyatakan kepada  SBY bahwa Indonesia sendiri yang telah melahirkan benih separatis di  Papua. Aktivis dan rohaniwan Socrates Yoman menyatakan, 120 persen  rakyat Papua ingin merdeka. Tokoh perempuan Papua, Yemima Krey, dalam  pertemuan itu mengatakan kegagalan pemerintah sudah sempurna.
SBY  mengklaim melakukan pendekatan kesejahteraan kepada masyarakat Papua,  bukan pendekatan keamanan. Sayang, semua hanya omong kosong. Fakta di  lapangan menunjukkan pembunuhan, penembakan, dan kekerasan lainnya terus  terjadi. Kualitas pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur justru makin  memburuk. Triliunan rupiah dana otsus hanya sebutannya saja bagi orang  Papua, tetapi faktanya dana itu habis digunakan oleh pemerintah di  Jakarta.
Apa Jualan Jokowi?
Jokowi  pada pemilu lalu mampu meraih hati orang Papua. Ia menang telak di  Tanah Papua sehingga harapan ada perubahan diharapkan akan ada. Apalagi  sudah menyampaikan minimal tiga kali dalam satu tahun mengunjungi Papua.  Menurut Phil Erari, tugas pertama Jokowi adalah membangun kembali trust  (kepercayaan) orang Papua terhadap Indonesia.
Karena  itu, Jokowi segera menginisiasi pembicaraan dengan wakil-wakil komponen  rakyat Papua dengan agenda membangun kepercayaan dengan pendekatan  kebudayaan. Ada kebijakan strategis yang bisa dilakukan Jokowi.  Misalnya, mendorong kebiajakan afirmatif melalui Perda Khusus (Perdasus)  untuk membatasi laju migrasi penduduk yang deras dari luar Papua. Hal  ini dalam rangka keseimbangan demografi.
Selain itu,  melakukan reformasi militer dan kepolisian dalam rangka penghentian  kekerasan militer. “Wajah Indonesia ada di dalam wajah para tentara  harus berubah,” ia menegaskan. Dengan demikian, stigma separatisme  dihapus. Jokowi juga harus bisa menunjukkan keseriusan dengan membangun  Istana Presiden di Papua dengan lokasi di Danau Sentani yang bercorak  Melanesia.
Akhirnya, masyarakat Papua masih  menginginkan adanya bendera Papua sebagai simbol budaya. Karena itu,  Jokowi juga harus laksanakan amanat Gus Dur dulu, mengeluarkan perpres  soal bendera Papua sebagai lambang budaya. Monggo, Mas Joko! 
Sumber : Sinar Harapan
 
 
