Tim Pencari Fakta versus KPP HAM untuk Kasus Paniai?

Aksi Demo Solidaritas Korban Penembakan di Paniai di Halaman Kantor DPR Papua, Selasa (9/12) - Jubi/Arjuna Oleh : Dr. Budi Hernawan
Sebagai reaksi atas insiden penembakan di Paniai tgl. 8 Desember 2014, berbagai kelompok Papua menyuarakan berbagai tanggapan. Sejumlah pihak menyerukan pembentukan satu tim penyelidik dengan macam-macam nama tetapi pada intinya dapat dirangkum menjadi Tim Pencari Fakta (TPF) untuk menyelidiki kasus Paniai. DPR Papua telah mengirim tim ke lapangan yang berisi gabungan anggota DPRP dan warga masyarakat. PGI telah menemui Mensesneg dan Seskab untuk mendesak Presiden Joko Widodo untuk membentuk TPF.
Sebaliknya dalam konferensi persnya, Koalisi LSM HAM Papua, Dewan Adat Daerah Paniyai dan Sinode Kingmi Papua bersuara lebih spesifik. Mereka mendesak agar Komnas HAM membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM (KPP HAM). Hal serupa diserukan oleh Komunitas Papua dan kalangan pro-demokrasi di tingkat nasional. Komnas HAM sendiri telah menurunkan dua tim yang mengungkapkan unsur-unsur kunci seperti keterlibatan TNI dan adanya dugaan pelanggaran HAM dalam peristiwa tersebut namun belum juga memunculkan rekomendasi dari hasil pemantauan lapangannya.
Selain isu tim investigasi, Forum Oikumenis Gereja-Gereja di Papua mengangkat sejumlah isu yang lainnya. Forum ini menyatakan menolak rencana kedatangan Presiden Joko Widodo untuk merayakan Natal di Jayapura dan rencana pembangunan istana negara di Papua.
Dalam tulisan ini saya membatasi diri pada diskusi mengenai pilihan tim penyelidik, yakni TPF atau KPP HAM yang diringkaskan dalam Tabel 1 di bawah ini. Dalam tabel tersebut ditampilkan pengalaman KPP HAM Abepura 2001, Komisi Penyelidik Nasional 2002 dan Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998.
Tabel 1.
PERBANDINGAN TIM PENYELIDIK

Unsur
KPP HAM Abepura
Komisi Penyelidik Nasional tentang Kasus Theys
Tim Gabungan Pencari Fakta Mei 1998
1.Kekuatan HukumPasal 89 ayat 3 UU 39/1999 dan pasal 18 ayat 2 UU 26/2000Keppres 10/2002Keputusan Bersama Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Negara Peranan Wanita, dan Jaksa Agung tgl, 23 Juli 1998.
2.Pihak yang membentukKomnas HAMPresidenMenteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Negara Peranan Wanita, dan Jaksa Agung
3.Kewenangan
  1. Semua kewenangan yang diatur dalam ketentuan perundangan di atas;
  2. Penyelidikan pro justitia: interogasi saksi-saksi baik dari kalangan sipil maupun aparat Negara;
  3. Sub-poena: meminta segala dokumen yang relevan dan memiliki daya paksa pemanggilan saksi;
  4. Pembuktian unsur-unsur pelanggaran Berat HAM sebagai fokus kerja tim
  5. melakukan penyelidikan;
  6. memberikan laporan akhir kepada Pemerintah;
 
  1. Pengumpulan dan pengolahan data dari berbagai sumber.
  2. Melakukan verifikasi atas data dari berbagai sumber tersebut.
  3. Mengadakan wawancara dengan sejumlah pejabat dan mantan pejabat, baik sipil maupun ABRI.
  4. Mengadakan pertemuan konsultatif dengan lembaga profesi dan saksi ahli.
  5. Melakukan kunjungan lapangan ke daerah-daerah.
  6. Menyusun ulang gambaran alur peristiwa serta melakukan analisis.
  7. Menyimpulkan temuan-temuan dan mengungkapkan duduk perkara sebenarnya.
  8. Menyusun rekomeodasi kebijakan dan kelembagaan
4.Susunan Anggota6 orang: anggota Komnas dan Unsur Masyarakat diketuai oleh Dr. Albert Hasibuan11 orang diketuai oleh Koesparmono Irsan18 orang diketuai oleh Marjuki Darusman
5.Hasil laporanPenetapan calon tersangka untuk penyimpulan akhir oleh Sidang Paripurna Komnas HAMMenyerahkan laporan ke PresidenMenyerahkan laporan ke Presiden
6.Mekanisme peradilanPengadilan Hak Asasi ManusiaPengadilan MiliterTidak ada proses peradilan
7.Masa kerja3 bulan3 bulan3 bulan
8.PembiayaanAnggaran Sekretariat NegaraAnggaran Sekretariat NegaraAnggaran Sekretariat Negara
9.Catatan
  • KPP HAM Abepura berhasil mengidentifikasi 25 calon tersangka dan kemudian Jakgung memangkas hingga 2 terdakwa
  • KPP HAM Wasior dan Wamena: berkas masih mengendap di Kejakgung hingga hari ini
  • Kesimpulan akhir MASIH ditentukan oleh Pleno Komnas HAM
  • Hanya menyelidiki pembunuhan Theys dan tidak menyelidiki unsur penyiksaan dan penghilangannya;
  • tidak menyelidiki penghilangan Aristoteles Masoka (sopir Theys)
  • Bersifat fungsioal dan masing-masing bagian, termasuk setiap anggota, tidak berkedudukan subordinat terhadap bagian atau anggota lainnya.
  • Tidak ada tindak lanjut rekomendasi TGPF
Sumber: diolah dari berbagai sumber

Konsekuensi jalur TPF
Kiranya sah-sah saja setiap pihak menyatakan tuntutannya. Namun hendaknya kita tidak lupa mengenai muara dari proses penyelidikan itu. Dengan kata lain kita harus waspada satu langkah ke depan setelah proses itu selesai. Jika kita memilih jalur TPF dengan segala macam variasi nama, maka kita harus siap menerima konsekuensi bahwa kita akan berhadapan dengan mekanisme Peradilan Umum atau Peradilan Militer. Mengapa demikian? TPF bukanlah mekanisme hukum melainkan mekanisme politik karena dibentuk oleh lembaga politik entah presiden, entah DPRP, entah menteri. Karenanya lembaga ini tidak memiliki kewenangan dan kekuasaan di bidang yudikatif yang dapat melakukan pemberkasan dan pelimpahan perkara Paniai ke tahap penuntutan. Yang bisa mereka buat hanyalah merekomendasikan hasil temuannya ke lembaga peradilan tersebut.
Marilah kita kaji lebih mendalam isi sebuah TPF dan konsekuensi putusan yang dapat dihasilkannya:
  1. TPF tidak memiliki kewenangan untuk melimpahkan berkas ke mekanisme hukum manapun karena TPF bukan sebuah proses hukum melainkan proses politik.
  2. Tidak ada kewajiban bagi lembaga politik yang membentuk TPF (seperti Presiden atau Menteri) untuk mengumumkan hasilnya. Bahkan dalam kasus TPF Munir, kewajiban Keppres No. 111/2014 butir kesembilan untuk mengumumkan kasus tersebut kepada publik tidak diindahkan oleh Presiden SBY yang menandatangani Keppres tersebut.
  3. Jika rekomendasi adanya proses peradilan dilaksanakan oleh lembaga yang menunjuk TPF,  peluangnya hanya dua: peradilan militer jika ada tersangka yang merupakan anggota TNI seperti pada Kasus Bpk. Theys Eluay atau peradilan umum jika yang menjadi tersangka adalah anggota kepolisian atau warga sipil seperti dalam Kasus Bpk. Munir.
  4. Jika peradilan umum digelar, maka unsur pelanggaran HAM juga rantai komando tidak akan diperkarakan karena itu berada di luar kewenangan dan kemampuan KUHP dan KUHAP.

Konsekuensi jalur KPP HAM
Pilihan lain adalah jalur pengadilan HAM. Jalur ini adalah muara dari proses yang diteriakkan oleh kalangan yang lebih menuntut pembentukan Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM yang hanya bisa dibentuk oleh Komnas HAM melalui mekanisme Sidang Paripurnanya. Jika kita menghendaki pengungkapan pelanggaran HAM, maka desakan tidak perlu diarahkan kepada DPRP, Presiden atau Mensesneg, melainkan kepada Komnas HAM. Justru Komnas HAMlah yang perlu diyakinkan bahwa langkah untuk membentuk KPP HAM memang sejalan dengan keinginan masyarakat dan memenuhi rasa keadilan masyarakat. Pernyataan awal adanya dugaan pelanggaran HAM perlu segera disambut oleh masyarakat. Tanpa dukungan luas ini, Komnas HAM akan ragu bertindak karena dia akan menabrak tembok impunitas sendirian dan berisiko tinggi bagi kinerja Komnas HAM.
Komnas HAM telah mendokumentasikan sebagian kecil sejarah kekerasan negara di Papua dan menyimpulkan bahwa kekerasan tersebut merupakan ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’. Istilah ini merupakan istilah internasional yang tertera dalam Statuta Roma 1998 yang menjadi landasan keberadaan dan operasional Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag, Belanda, yang langsung berada di bawah wewenang Dewan Keamanan PBB. Kategori ini merupakan salah satu kejahatan paling serius selain kejahatan perang, genosida, dan kejahatan agresi yang semuanya diadopsi oleh UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Disandingkan dengan UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, dua undang-undang ini merupakan alat paling ampuh untuk menembus tembok batu impunitas yang telah dibangun secara cermat oleh berbagai rejim politik Indonesia sejak Indonesia merdeka. Kekuatan UU ini terletak dari kemampuan mengidentifikasi dan membongkar ‘rantai komando’ atau ‘sistem pertanggungjawaban’ baik individu maupun lembaga yang luput dari jerat hukum Peradilan Pidana Umum semata-mata. Dengan jerat ini, seseorang atau suatu lembaga dapat dinyatakan bersalah dan dihukum karena meski dia berada dalam posisi pengambil keputusan yang sebenarnya mampu mencegah sebuah tindak kejahatan yang dilakukan oleh anak buahnya, dia abai atau membiarkan kejahatan itu berlangsung (crimes by omission). Sebaliknya, jerat yang sama juga akan menangkap seseorang atau lembaga yang secara sengaja memerintahkan anggotanya untuk melakukan tindak kejahatan (crimes by commission). Kedua kejahatan ini tidak dikenal dalam sistem KUHP kita sehingga yang hanya mengenal kategori pelaku sebagai aktor yang secara langsung melakukan atau turut merencanakan tindak kejahatan. Kedudukan aktor apalagi lembaganya dalam satu piramida kekuasaan tidak dapat disentuh oleh KUHP.
Dalam konteks pelanggaran HAM di Papua dimana mayoritas pelaku adalah anggota lembaga pertahanan dan keamanan negara (TNI) atau kepolisian negara (Polri), Komnas HAM telah menarik kesimpulan bahwa aparat keamanan negara bertanggung jawab atas peristiwa kekerasan di Abepura 7 Desember 2000, Wasior 2001 dan Wamena 1 April 2003. Kasus besar lainnya seperti Operasi Pembebasan Sandera di Mapnduma tahun 1996, Biak Berdarah tahun 1998 atau Pembubaran Konggres Papua III tahun 2011 tidak pernah diusut sebagai Kejahatan terhadap Kemanusiaan.
Senyatanya hingga hari ini, barulah satu kali dibentuk Pengadilan HAM permanen untuk Papua dalam hal Kasus Abepura 7 Desember 2000. 7 berkas kasus lainnya masih mengendap di Kejakgung hingga detik ini dan ini merupakan PR besar Kabinet Jokowi, yakni Kasus Trisakti-Semanggi I & II, Kasus Mei 1998, Kasus Penghilangan Paksa, Kasus Wasior-Wamena, Kasus Talangsari, Kasus 65, Kasus Penembakan Misterius (Petrus). Dari 7 kasus itu 1 berkas berasal dari Papua: Wasior 2001 dan Wamena 2003.
Jika kita teliti lebih jauh, KPP HAM memiliki unsur-unsur berikut ini:
  1. Memiliki kewenangan untuk mengadakan penyelidikan pro justitia dan memiliki kewenangan sub poenauntuk memeriksa semua pihak yang diduga memiliki kaitan dengan peristiwa yang diselidiki. Dua kewenangan itu hanya dimiliki oleh institusi Polri, Kejaksaan, dan KPK ketika melakukan penyelidikan atas perkara hukum yang ditangani. Kewenangan sedemikian tidak dimiliki oleh suatu Tim Pencari Fakta bentukan Presiden karena lembaga eksektutif tidak berhak dan tidak boleh masuk ke wilayah yudikatif.
  2. KPP HAM memiliki mandat untuk membuktikan unsur-unsur pelanggaran HAM berat seperti penyerangan terhadap pihak sipil secara sistematik atau meluas beserta rantai komando yang melaksanakan tindak penyerangan tersebut dan mengidentifikasi aktor individual dan kelembagaan;
  3. Jika ada bukti-bukti pelanggaran HAM berat, maka berkas dilimpahkan ke Kejaksaan Agung untuk dilakukan penyidikan yang akan diteruskan ke Pengadilan HAM permanen seperti pernah dibuat untuk Kasus Abepura 7 Desember 2000. Jika tidak ada bukti kuat, maka berkas diteruskan ke Pengadilan Umum.
  4. Keterbatasan KPP HAM terletak pada pembentukan dan penyimpulan akhir temuan lapangan. Keduanya ditentukan sepenuhnya oleh Sidang Paripurna Komnas HAM. Karena itu nasib KPP HAM amat bergantung dari niat baik komisioner Komnas dalam dua titik kritis pengambilan keputusan.
  5. Selain itu KPP HAM amat ditentukan oleh kinerja tim apakah dia memiliki kemampuan penyelidikan yang canggih dan ulet untuk mengumpulkan bukti, memeriksa saksi, membuat BAP, memeriksa dokumen dan pada akhirnya menulis laporan akhir. Ini juga menjadi titik rawan yang perlu diantisipasi oleh mereka yang mendorong KPP HAM.
Vox populi, vox dei alias suara rakyat, suara Tuhan. Namun baiklah sebelum rakyat memilih, mereka memiliki informasi yang cukup untuk menentukan pilihan sehingga nantinya mereka tidak terlalu kecewa dengan pilihan itu (*).
======================
Dr. Budi Hernawan adalah mantan Anggota KPP HAM Abepura dan Peneliti Senior di Abdurrahman Wahid Centre for Inter-faith and Peace, Universitas Indonesia.

Sumber : Tabloidjubi

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »