Piter Frans Rumasek Lakukan Tindakan Diskriminasi Rasis Terhadap Anindya Shabrina Merupakan Fakta Siar Kebencian Berbasis Sara Di Surabaya

PITER FRANS RUMASEK 
LAKUKAN TINDAKAN DISKRIMINASI RASIS TERHADAP ANINDYA SHABRINA MERUPAKAN FAKTA SIAR KEBENCIAN BERBASIS SARA DI SURABAYA

Dalam berita jatim.antaranews.com yang judul IKBS: Tidak Ada Bentrokan Mahasiswa Papua di Surabaya yang diterbitkan pada Kamis, 12 Juli 2018, disebutkan sebagai berikut :

Menurut Piter “kegiatan yang berlangsung pada 6 Juli lalu merupakan kegiatan yustisi atau pendataan penduduk non permanen yang sudah sesuai dengan Permendagri 14/2015. "Jadi tidak ada pelanggaran HAM ataupun yang lain pada kejadian ini".
Kalaupun ada teriakan yang menyerukan adanya perbuatan rasis dari pihak keamanan, lanjut dia, setelah pihaknya mengklarifikasi itu bukanlah dari mahasiswa Papua.
"Itu suadari Anindya Shabrina yang bukan merupakan mahasiswa Papua".
Untuk itu, lanjut dia, pihaknya menegaskan akan mengambil langkah hukum untuk menyelesaikan masalah itu. "Kamis pagi tadi kami sudah memasukkan laporan ke pihak kepolisian".
Selain itu, ia juga akan segera mengagendakan untuk bertemu dengan LBH Surabaya dan Kontras untuk mengurai masalah itu dan menjelaskan bahwa apa yang sesungguhnya terjadi itu tidak seperti kabar di media sosial.
Berdasarkan muatan pemberitaan diatas, dapat disimpulkan ada 3 (tiga) hal pokok yaitu : “kegiatan yustisi sesuai Permendagri Nomor 14 Tahun 2015 tentang pedomana pendataan penduduk non permanen, membenarkan fakta tindakan rasisme namun Anindya Shabrani yang bukan orang papua sehingga akan mengambil langkah hukum dan agenda untuk bertemu dengan LBH Surabaya dan Kontras”. Untuk lebih jelasnya maka akan dijelaskan secara rinci pada bagian selanjutnya :

1. KEGIATAN YUSTISI SESUAI PERMENDAGRI NOMOR 14 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMANA PENDATAAN PENDUDUK NON PERMANEN

Berkaitan dengan kegiatan yustisi sesuai Permendagri Nomor 14 Tahun 2015 tentang pedomana pendataan penduduk non permanen secara langsung menunjukan ketidakpahaman saudara Piter Frans Rumasek dalam memahami Permendagri tersebut sebab dalam berita yang sama “Kapolsek Tambaksari Kompol Prayitno sebelumnya mengatakan Operasi Yustisi yang sedianya dilakukan tadi malam digelar menindaklanjuti laporan dari warga sekitar yang merasa curiga dengan aktivitas para mahasiswa di dalam rumah tersebut”.

Ketidakpahaman saudara Piter Frans Rumasek dalam memahami Permendagri Nomor 14 Tahun 2015 tentang pedomana pendataan penduduk non permanen didasari pada mekanisme pelaksanaan pendataan sebagaimana pada Pasal 10, Permendagri Nomor 14 Tahun 2015 tentang pedomana pendataan penduduk non permanen, sebagai berikut :

Pasal 10
(1) Bupati/Walikota melalui Camat menyampaikan surat pemberitahuan tentang pendataan penduduk nonpermanen kepada kepala desa/lurah.
(2) Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilampiri formulir pendataan penduduk nonpermanen dan formulir data anggota yang dibawa dan cara pengisiannya.
(3) Kepala Desa/Lurah menyampaikan pemberitahuan tentang pendataan penduduk nonpermanen sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) kepada penduduk dan mitra melalui pengurus RT/RW diwilayahnya.
(4) Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil melakukan koordinasi persiapan pendataan dengan Kepala Desa/Lurah dan Camat.
(5) Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil melakukan pendataan.

Berdasarkan isi pasal 10 diatas, secara jelas menunjukan bahwa tidak ada keterangan “Laporan Dari Warga Sekitar” sebagai dasar dipraktekannya Permendagri Nomor 14 Tahun 2015 tentang tentang pedomana pendataan penduduk non permanen. Atas dasar itulah, membuktikan bahwa saudara saudara Piter Frans Rumasek selaku petinggi satuan polisi pamong praja surabaya tidak memahami permendagri tersebut dan juga secara langsung melaluinya membuktikan bahwa OPERASI YUSTISI YANG DIMAKSUD OLEH KOMPOL PRAYITNO SELAKU KAPOLSEK TAMBAKSARI MERUPAKAN TINDAKAN ILEGAL sebab tidak ada keterangan perihal keterangan “Laporan Dari Warga Sekitar” pada pasal 10, Permendagri Nomor 14 Tahun 2015 tentang pedomana pendataan penduduk non permanen diatas.

2. MEMBENARKAN FAKTA TINDAKAN RASISME, NAMUN ANINDYA SHABRANI YANG BUKAN ORANG PAPUA

Berkaitan dengan membenarkan fakta “tindakan rasisme namun Anindya Shabrani yang bukan orang papua sehingga akan mengambil langkah hukum”. Melalui keterangan saudara Piter Frans Rumasek tersebut menunjukan adanya 2 (dua) fakta hukum yang berbeda, dinataranya :

Pertama, saudara Piter Frans Rumasek membenarkan fakta tindakan rasisme sebagaimana diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnik yang menimpa mahasiswa papua di surabaya pada tanggal 6 Juli 2018 di Asrama Mahasiswa Papua.

Kedua, fakta “Anindya Shabrani yang bukan orang papua” merupakan fakta hukum baru yang menunjukan secara langsung saudara Piter Frans Rumasek melakukan tindakan diskriminasi sebagaimana diatur pada pasal 4 huruf a dan b, UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnik terhadap Anindya Shabrani. Dengan mengacu pada pernyataan saudara Piter Frans Rumasek yang dimuat dalam media online secara langsung menunjukan fakta hukum siar kebencian bernuansa SARA sebagaimana diatur pada Pasal 28 ayat (2), UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE junto Pasal 45A, UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.

Dalam media diatas saudara Piter Frans Rumasek menegaskan bahwa “Saya sendiri 20 tahun tinggal dan bekerja di Surabaya, selama ini saya merasa nyaman. Kami tidak ingin isu-isu tidak benar yang meresahkan ini justru memperkeruh suasana". Rupanya saudara Piter Frans Rumasek selaku anggota Sat Pol PP di Surabaya mengunakan kenyataan hidupnya selama 20 tahun yang nyaman-nyaman saja di surabaya sebagai dasar melakukan TINDAKAN DISKRIMINASI DAN TINDAKAN SIAR KEBENCIAN BERMUATAN SARA TERHADAP ANINDYA SHABRANI.

3. AGENDA UNTUK BERTEMU DENGAN LBH SURABAYA DAN KONTRAS

Berkaitan dengan agenda untuk bertemu dengan LBH Surabaya dan Kontras untuk mengurai masalah itu dan menjelaskan bahwa apa yang sesungguhnya terjadi itu tidak seperti kabar di media sosial. Rupanya, saudara Piter Frans Rumasek keliru sebab berdasarkan Siaran Pers Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya – Jawa Timur No :132/SK/LBH/VII/2018, disebutkan :
“pada hari Jumat, 06 Juli 2018, sekitar jam 20.30 WIB, Camat Tambaksari bersama ratusan anggota Kepolisian, TNI dan Satpol PP kota Surabaya mendatangi Asrama Mahasiwa Papua dengan dalih melaksanakan operasi Yustisi. Namun ketika perwakilan Mahasiswa Papua dan dua orang mahasiswa peserta diskusi serta salah satu Pengacara Publik LBH Surabaya menanyakan Surat Perintah/Surat Tugas, Camat Tambaksari tidak bias menunjukkan surat tersebut. Dua orang peserta diskusi, Isabella dan Anindya berusaha untuk berdialog dengan damai dengan pihak camat namun di tengah dialog tersebut, salah seorang polisi meneriaki Anindya dengan kata-kata kasar kemudian situasi mulai memanas. Isabella dan pengacara publik LBH Surabaya diseret oleh aparat kepolisian, sedangkan Anindya juga dilecehkan oleh oknum aparat kepolisian, dadanya dipegang dan kemudian diseret beramai-ramai.
Dari kronologis singkat diatas menunjukan bahwa PENGACARA PUBLIK LBH SURABAYA DAN KONTRAS ADALAH SAKSI MATA :

1. Tindakan Aparat Kemanan Menyeret Isabela dan Pengacara Publik LBH Surabaya merupakan tindak pidana pengeroyokan sebagaimana diatur pada pasal 170 ayat (1) KUHP. “Barang siapa yang di muka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan”.

2. Tindak aparat memegang dada dan kemudian menyeret merupakan tindak pidana seksual sebagaimana diatur pada pasal 289 KUHP, “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul, dihukum karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan dengan pidana selama-selamanya Sembilan tahun”.

Akhirnya disampaikan kepada saudara Piter Frans Rumasek yang adalah petinggi Satuan Polisi Pamong Praja di Surabaya untuk menghentikan semua tindakan pemanfaatan nama PAPUA untuk membungkam tindakan pembungkaman kebebasan berkumpul dan berdiskusi, tindakan diskriminasi rasis dan Tindakan Kekerasan Seksual pada tanggal 6 Juli 2018 di Asrama Mahasiswa Papua Surabaya. Untuk diketahui bahwa semua penguna media sosial telah mengetahui secara pasti tindakan pembungkaman kebebasan berkumpul dan berdiskusi, tindakan diskriminasi rasis dan Tindakan Kekerasan Seksual pada tanggal 6 Juli 2018 di Asrama Mahasiswa Papua Surabaya sehingga disampaikan kepada Saudara Piter Frans Rumasek bahwa tindakan memanfaatkan nama papua untuk membungkan pelanggaran Hukum dan HAM yang dilakukan oleh TNI, Polri dan Sat Pol PP di Surabaya merupakan tindakan merendahkan harkat dan martabat yang dilakukan oleh kakak kandung (orang papua) terhadap adik kandungnya (orang papua) di tanah rantauan.

Jika pada perkembangannya Saudara Piter Frans Rumasek masih terus memanfaatkan nama Papua untuk mewujudkan tujuannya pembungkaman fakta pelanggaran Hukum dan HAM dengan cara melaporkan ANINDYA SHABRANI maka disampaikan kepada Mahasiswa Papua penghuni Asrama Mahasiswa Papua Surabaya untuk bersama-sama dengan LBH Surabaya untuk mendampingi ANINDYA SHABRANI melaporkan :

1. Tindakan Diskriminasi Ras sebagaimana diatur pasal 4 huruf a dan b, UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnik junto siar kebencian bernuansa SARA sebagaimana diatur pada Pasal 28 ayat (2), UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Eelektronik junto Pasal 45A, UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang tentang Informasi Transaksi Eelektronik yang dilakukan Saudara Piter Frans Rumasek terhadap ANINDYA SHABRANI di Polda Jawa Timur;

2. Tindak Pidana Seksual sebagaimana diatur pada pasal 289 KUHP yang dilakukan anggota TNI, Polri dan Pol PP di Surabaya terhadap ANINDYA SHABRANI di Polda Jawa Timur.

Pernyataan

"Itu suadari Anindya Shabrina yang bukan merupakan mahasiswa Papua"

yang dilontarkan saudara Piter Frans Rumasek (Petinggi Satuan Polisi Pamong Praja Surabaya) dalam media on line jatim.antaranews.com yang judul IKBS: Tidak Ada Bentrokan Mahasiswa Papua di Surabaya yang diterbitkan pada Kamis, 12 Juli 2018.

Merupakan fakta Tindakan Diskriminasi Ras sebagaimana diatur pasal 4 huruf a dan b, UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnik junto siar kebencian bernuansa SARA sebagaimana diatur pada Pasal 28 ayat (2), UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Eelektronik junto Pasal 45A, UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang tentang Informasi Transaksi Eelektronik

Sumber: https://www.facebook.com/wissel.vannunubado/posts/2109768095759781

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »