Menghapus Stigma "Orang Papua Tak Bisa Bersatu", Sebuah Kesaksian Dari Jantung Kemerdekaan

Menghapus Stigma "Orang Papua Tak Bisa Bersatu" 

Sebuah Kesaksian dari Jantung Gerakan Kemerdekaan Papua

Ada semacam stigma yang sudah lama disematkan kepada orang Papua: mereka dianggap tak bisa bersatu; selalu mudah dipecah dan terpecah.

Tokoh Papua, Octovianus Mote, berkata, dalam lebih setengah abad memperjuangkan aspirasi merdeka, orang Papua lebih banyak menghabiskan waktu bertarung sesama orang Papua.

Tetapi, stigma itu telah lenyap pada 6 Desember 2014. Pada saat itu, untuk pertama kalinya dalam sejarah, kelompok-kelompok utama yang memperjuangkan aspirasi kemerdekaan Papua duduk bersama dan sepakat untuk bersatu. Kesepakatan itu mereka deklarasikan di Port Vila, Vanuatu. 

Tiga kelompok utama pro-kemerdekaan Papua yang bersepakat itu adalah Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB), West Papua National Coalition and Liberation for West Papua (WPNCL), dan Parlemen Nasional West Papua (PNWP). Mereka sepakat membentuk United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) sebagai wadah yang mengikat mereka.

Saralana, sebuah rumah adat di tengah kota Vanuatu, dipilih menjadi tempat penandatanganan deklarasi. Dalam deklarasi, antara lain dikatakan, "Semua orang Papua (Barat) yang ada di luar maupun di dalam Papua (Barat) telah bersatu dalam badan ini (ULMWP) dan bahwa kami akan melanjutkan perjuangan kami akan kemerdekaan."

Markus Haluk (kedua dari kanan) bersama para pemimpin ULMWP dan Mama Yosepa Alomang (paling kanan)


Sebetulnya ada tujuan mendesak yang mendorong upaya penyatuan. Para pemimpin Papua ingin mendapatkan keanggotaan penuh di Melanesian Spearhead Group (MSG), suatu forum negara-negara rumpun Melanesia di Pasifik Selatan, yang beranggotakan Fiji, Vanuatu, Solomon Islands, FLNKS, dan Papua Nugini.

Dengan bergabung ke dalam MSG, terbuka peluang aspirasi merdeka Papua lebih didengar di forum internasional. Bahkan ada gagasan MSG akan menjadi mediator konflik Jakarta-Papua. Sebab Indonesia juga ada di MSG dengan status anggota asosiasi.

Langkah untuk bergabung dengan MSG dimulai pada bulan Januari 2013 ketika WPNCL mendaftarkan diri di sekretariat MSG. WPNCL diterima sebagai peninjau (observer) mewakili Papua. Ini dipandang sebagai salah satu tonggak penting, apalagi dukungan dari negara-negara anggota MSG bagi keanggotaan WPNCL dinilai sangat besar.

Berbagai lobi pun diupayakan, termasuk mengunjungi negara-negara anggota MSG. Pada pertemuan para pemimpin MSG di Noumea, Fiji, akhir tahun 2013, terungkap dukungan bagi Papua untuk memperoleh hak menentukan nasib sendiri.

Namun, pada pertemuan berikutnya di Papua Nugini setahun kemudian, para pemimpin MSG membuat keputusan yang berbeda. Permohonan keanggotaan oleh WPNCL tidak diproses setelah adanya konsultasi oleh misi MSG dengan pemerintah Indonesia.
Markus Haluk ketika berpidato dalam sebuah acara peresmian kantor ULMWP di Papua. Tampak Pastor John Jonga di sebelahnya. (Foto: dok pribadi

Berdasarkan laporan tim misi yang dipimpin Menlu Fiji, para pemimpin MSG mengatakan lebih mendukung upaya untuk mengundang seluruh pihak di Papua membentuk suatu organisasi payung yang inklusif dan bersatu sebelum aplikasi keanggotaannya diproses. Poin inilah yang mendorong para pemimpin pro-kemerdekaan Papua mengusahakan persatuan yang akhirnya terwujud lewat Deklarasi Saralana.
Sejak Deklarasi Saralana, nama ULMWP dengan cepat dikenal di dalam dan luar negeri. Aspirasi merdeka rakyat Papua yang mereka representasikan pun menggema lebih luas. Puncaknya adalah ketika tujuh negara rumpun Melanesia di Pasifik (Vanuatu, Solomon Islands, Marshall Islands, Tuvalu, Nauru dan Tonga) mengangkat isu pelanggaran HAM dan penentuan nasib sendiri Papua di Sidang Umum PBB pada tahun 2016.
Beberapa di antara negara itu juga menuntut pertanggungjawaban PBB untuk membuka kembali Perjanjian New York 1962 dan pelaksanaannya yang dipandang sebagai awal dari konflik Papua yang tidak berkesudahan. Isu Papua kian sering diangkat di berbagai forum dunia.
Kehadiran ULMWP telah membawa warna dan jalur baru dalam gerakan Papua Merdeka. Kendati sampai saat ini ULMWP belum berhasil memperoleh status sebagai anggota penuh MSG (sebuah milestone yang sudah lama dirindukan oleh ULMWP), para tokoh ULMWP terlihat tidak menganggapnya sebagai persoalan besar. Diterima di MSG, dalam pandangan mereka, hanya soal waktu.
Mereka meyakini MSG suatu saat akan menerima keanggotaan penuh mereka. Diyakini pula bahwa para pemimpin Melanesia lambat atau cepat tidak mungkin lagi menutup diri terhadap tuntutan arus bawah rakyat Melanesia (di Papua maupun di negara-negara Pasifik lainnya) yang semakin paham duduk perkara sejarah. Papua dari perspektif historis adalah 'anak hilang yang kembali ke rumah.' Melanesia adalah rumah mereka yang sesungguhnya.
Dibandingkan dengan gerakan pro-kemerdekaan Papua sebelumnya, dampak internasional ULMWP tampak bukan saja secara public relations mampu menarik perhatian dunia, tetapi secara substansi diplomasi juga tampak semakin tajam. Salah satu perubahan yang tampak ialah menata ulang ‘rute’ diplomasi. 
Jika pada tahun 1960-an lobi-lobi dilakukan dari Papua ke dunia Barat dan Afrika, kini difokuskan pada diplomasi meraih negara-negara Pasifik, untuk selanjutnya ke PBB.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam studi mereka tentang Papua, yang dipandang paling komprehensif tentang solusi konflik Papua, mengakui peningkatan signifikansi peran ULMWP. Dalam Updating Papua Road Map: Peace Process, Youth Politics, and Papuan Diaspora (2017), LIPI menempatkan ULMWP sebagai salah satu mitra dialog yang harus diajak bicara oleh Jakarta.
Kajian ini memandang berdirinya ULMWP merupakan keberhasilan orang-orang muda di kelompok-kelompok pro-penentuan nasib sendiri Papua menggalang komunikasi di antara elemen-elemen yang berbeda dan menghasilkan persatuan dari yang sebelumnya tercerai-berai. LIPI juga melihat kuatnya dukungan akar rumput serta gereja terhadap ULMWP.
Empat buku karya Markus Haluk yang mengisahkan perjalanan United Liberation Movement for West Papua (Foto: dok pribadi)

Laporan dari Dalam
Markus Haluk, seorang intelektual muda Katolik Papua, aktivis HAM dan anggota Tim Kerja Dalam Negeri ULMWP, menulis jatuh-bangun upaya kelompok-kelompok pro-kemerdekaan Papua menyatukan diri ke dalam ULMWP lewat empat buku karyanya, yang secara berturut-turut diterbitkan dalam tiga tahun terakhir. Keempat buku tersebut diposisikan sebagai seri pendidikan politik ULMWP bagi rakyat Melanesia di Papua.
Seri pertama, ULMWP Sebuah Profil, Persatuan dan Rekonsiliasi Bangsa Melanesia di Papua Barat, terbit tahun 2015. Seri kedua, Papua di Ambang Kepunahan, juga terbit pada tahun 2015. Seri ketiga, Gelombang Solidaritas Melanesia di Papua Barat, terbit tahun 2016 sedangkan seri keempat, Kebangkitan Solidaritas Papua di Dunia Internasional, terbit tahun 2017.
Semua buku ini diberi kata pengantar oleh Octovianus Mote dalam kapasitas sebagai Sekretaris Jenderal ULMWP (kini Wakil Ketua ULMWP) merupakan cermin legitimasi buku ini sebagai ‘versi resmi’ dari wajah ULMWP. Mote juga menyiratkan bahwa Komite Eksekutif ULMWP turut bertanggung jawab atas isi buku dan dengan tangan terbuka menerima saran konstruktif.
Pembaca akan dengan cepat dapat menemukan bahwa keempat buku ini adalah sebuah 'laporan dari dan oleh orang dalam.' Ia ditulis oleh seseorang yang bukan saja mengetahui seluk-beluk ULMWP dari A sampai Z, tetapi juga  ikut melahirkan dan membesarkannya, bahkan masih menghidupinya sampai sekarang.
Markus Haluk, yang beberapa bukunya tentang Papua sudah lebih dulu terbit, antara lain Menggugat Freeport: Suatu Jalan Penyelesaian Konflik (2014), Mati atau Hidup Hilangnya Harapan Hidup dan HAM di Papua (2013), dan Peradilan Makar di Papua (2010), tampak selalu berada tepat di jantung ULMWP pada saat-saat penting eksistensi organisasi itu.
Tidak dapat diragukan, buku ini merupakan sebuah laporan dari tangan pertama tentang berbagai hal penting yang dialami dan dikerjakan oleh ULMWP. Menulis rentetan tonggak-tonggak penting perjalanan sebuah gerakan, seperti di dalam buku-buku ini, dibutuhkan ketelatenan dan kejelian seorang pencatat yang mahir untuk memilah peristiwa-peristiwa substantif dari sekian banyak peristiwa.
Jelas, ini tidak mudah. Hanya mereka yang mengerti roh dan jiwa gerakannya yang dapat dengan tepat menyisir mana kejadian penting dan mana sebagai pelengkap. Dan tampaknya Markus Haluk melaksanakan tugas itu dengan baik.
Buku-buku ini membawa pembacanya mengerti bahkan terdorong mempelajari bagaimana gerak dan langkah perjuangan aspirasi kemedekaan Papua paling mutakhir. Pembaca disajikan bagaimana pergumulan dan pergolakan gagasan serta pribadi-pribadi tokoh ULMWP serta rakyat yang mendukungnya.
Pembaca diajak pula menempuh perjalanan ribuan mil ke negara-negara Melanesia, ke Solomon Islands, ke Vanuatu, dan ke Papua Nugini, di mana rakyat turun ke jalan menunjukkan simpati pada perjuangan rakyat Papua yang dipersatukan oleh solidaritas kebangsaan Melanesia.
Dari membaca buku ini, pembaca akan memahami bahwa aspirasi merdeka rakyat Melanesia di Papua bukan milik para pemimpin belaka. Ada aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat, rohaniawan, seniman, Gereja dan umatnya, berada di balik dukungan dan simpati. Itulah yang mendorong mereka turut terlibat aktif dalam berbagai aksi. Entah itu lewat aksi demonstrasi damai, melalui seminar dan diskusi, konser musik maupun dengan berdoa dan berpuasa.   
Banyak kisah yang sebelumnya ditempatkan sebagai 'urusan dapur' ULMWP ditemukan dalam buku ini. Berbagai kisah yang dahulu mungkin hanya merupakan ‘rahasia kecil’ sesama pemimpin Melanesia, kini dibuka sebagai pertanggungjawaban sekaligus pendidikan kepada rakyat Melanesia.
Sebagai contoh, dalam buku ini diceritakan dukungan Perdana Menteri Papua Nugini, Peter O’Neil untuk mewujudkan persatuan di kalangan kelompok pro-kemerdekaan Papua. Ini mungkin akan bertolak-belakang dengan pandangan umum yang menganggap O’Neil adalah ‘musuh’ para pemimpin pro-kemerdekaan Papua, mengingat sikap negaranya yang secara resmi kurang mendukung keanggotaan ULMWP di MSG.
Pada tahun 2015, O’Neil dengan tangan terbuka menyediakan pesawat jet kepresidenan PNG untuk ditumpangi para pemimpin ULMWP ke Vanuatu agar selekasnya dapat menyatukan diri. Bantuannya itu ia tawarkan di tengah kesulitan akomodasi dan transportasi yang dihadapi para pemimpin Papua yang sedang berkumpul di Port Moresby.
Sayangnya, uluran tangan itu urung terlaksana justru karena tidak dicapainya kesepakatan di antara para pemimpin ULMWP sendiri.
Sebuah kisah anekdotal yang menarik, yang menjadi pemicu bersatunya kelompok-kelompok pro-kemerdekaan Papua dalam ULMWP serta berubahnya strategi diplomasi menjadi fokus ke lobi negara-negara Melanesia di Pasifik, tampaknya dapat dijadikan sebagai inti dari spirit yang ingin disampaikan buku ini.
Dikisahkan, seorang aktivis pro-kemerdekaan Papua yang tidak disebutkan namanya, berkunjung ke Irlandia menemui aktivis Ireland Republican Army (IRA). Ia kemudian dipertemukan dengan seorang jenderal IRA. Lalu aktivis itu meminta nasihatnya.

Alangkah ia terkejut mendengar nasihat sang Jenderal. Tetapi, pada saat yang sama, ia merasakan menemukan sesuatu dari nasihat sang Jenderal itu.

“Anak muda coba lihat warna kulit kita. Inilah yang saya maksud, kulit saya berwarna putih, kulit Anda berwarna hitam. Peradaban dunia ini dibangun dengan prasangka rasialis yang kental dan itu membekas dalam semua memori politik dan tindakan para politisi dunia hari ini.

Anak muda, sebagai orang Irlandia, saya dan semua tokoh gerakan kemerdekaan Irlandia tidak pernah datang ke Afrika atau berniat mengunjungi negara-negara Melanesia untuk meminta dukungan mereka bagi kemerdekaan Irlandia. Sebagai oran Irlandia, saya datang ke Amerika untuk mencari dukungan politik di sana, karena ada banyak keturunan orang Irlandia yang bekerja sebagai anggota Senat, anggota DPR, menteri, tentara, politisi dan lain-lain. Merekalah yang menjadi modal saya untuk berdiplomasi dan mencari dukunhan politik bagi kemerdekaan Irlandaia.

Anak muda, saya tidak membicarakan prasangka rasialis ala Hitler tetapi ini kenyataan politik, saya tentu bersimpati dengan gerakan Papua Merdeka dan pendukungnya karena bangsa Irlandia juga sedang mengalami nasib yang sama. Tetapi inilah perilaku politik dunia ini, sebuah rahasia yang secara jujur saya ungkapkan kepada Anda. Oleh karena itu saya menyarankan Anda untuk tidak lagi datang ke sini tetapi pergilah ke negara-negara Melanesia, pergilah ke Afrika, merekalah negara yang secara politis pasti akan mendukung Papua merdeka tanpa syarat.

Ingat anak muda, jika sudah cukup membangun diplomasi di Melanesia dan Afrika barula Anda datang kembali ke Irlandia dan menceritakannya kepada saya hasil pekerjaan Anda, jika Anda melakukannya dengan baik, sudah jelas dukungan bagi Papua akan Anda raih.”

Inilah yang kemudian menginspirasi para pemimpin ULMWP melakukan lobi intensif ke negara-negara Melanesia di Pasifik, yang akhirnya mengangkat isu Papua di Sidang Umum PBB. Tujuh negara sudah pernah melakukannya.

Tetapi itu saja tidak cukup. Diperlukan banyak lagi, seperti yang dituliskan oleh Octovianus Mote dalam epilog salah satu buku ini. Tantangannya adalah, kata Mote, “memastikan dukungan dari paling tidak satu pertiga jumlah negara anggota PBB.”

Terlepas dari kontroversi isu penentuan nasib sendiri Papua, buku-buku ini sangat penting untuk dibaca oleh mereka yang memiliki minat memahami persoalan mutakhir Papua.

Penguasaan penulis atas konteks sejarah, budaya, dan spiritualitas Papua – dengan latar belakangnya sebagai aktivis HAM Papua dan kedekatannya dengan Gereja – sangat membantunya untuk menjelaskan peristiwa demi peristiwa sehingga mendapat bingkai yang tepat. Dengan demikian pembaca memahami perspektif yang ingin disodorkan.

Wim_Geissler

Sumber: https://www.qureta.com

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »