Aksi teroris yang dilakukan oleh satu keluarga bisa jadi baru pertama kali di dunia. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Jakarta - Metode kinship atau rekrutmen melalui jalur keluarga untuk aksi terorisme bukan barang baru. Bom Bali 2002 dilakukan oleh trio bersaudara: Ali Ghufron, Amrozi and Ali Imron.
Remaja terlibat dalam jaringan teror juga bukan yang pertama kalinya di Indonesia. Beberapa di antara mereka terlibat dalam jaringan ISIS dalam serangan bom Thamrin 2016 dan juga jaringan Bahrun Naim di Solo.
Upaya melibatkan perempuan untuk aksi teror pun pernah dicoba pula oleh jaringan ini dengan merekrut Dian Yulianti Novi, mantan pekerja migran yang dipersiapkan menjadi 'pengantin' di Istana Presiden tahun 2016.
Namun, tiga aksi terorisme dilakukan oleh tiga keluarga sekaligus melibatkan perempuan dan anak-anak dalam rentetan teror di Surabaya, ini adalah fenomena baru yang bisa jadi pertama kali di dunia.
Padahal, berdasarkan foto keluarga yang beredar di berbagai platform media sosial, mereka tampak sebagai keluaga 'normal' dan bahkan kelas menengah.
Sebagai bapak dari dua anak, saya tidak habis pikir: bagaimana mungkin orang tua tega mengorbankan anak-anak mereka sendiri untuk sebuah ideologi? Bagaimana menjelaskan proses radikalisasi mereka?
Untuk memahami peristiwa tragis di atas, barangkali kita bisa meminjam fenomena orang berpindah aliran dalam agama (dari NU menjadi Muhammadiyah), berganti agama (dari Kristen menjadi Muslim atau sebaliknya) atau bahkan meninggalkan agama sekali pun (menjadi atheis).
Artinya fenomena orang berubah keyakinan atau memilih sebuah ideologi tertentu itu merupakan hal lumrah terjadi dalam kehidupan sosial manusia. Mereka yang melakukannya biasanya melalui sebuah proses yang panjang dan berliku.
Aksi damai digelar untuk mengenang para korban dalam rentetan teror bom yang mengguncang Surabaya pada Minggu dan Senin kemarin. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Biasanya diawali dengan sebuah "pemantik" kejadian yang bersifat subjektif pada diri para pelaku. Dalam bahasa Islam, mereka ini sering disebut mendapatkan 'hidayah' (istilah bahasa Arab yang berarti petunjuk) atau dalam bahasa Inggris disebut 'epiphany' (kesadaran baru).
Dengan analogi tersebut, maka ketiga keluarga yang menjadi pelaku teror ini pada dasarnya pelan-pelan berpindah dari tradisi keberagamaan mainstream (umum) ke dalam tradisi keberagamaan subculture (khusus).
Mereka yang hidup dalam masyarakat subculture ini mempunyai dunia sendiri. Artinya, meskipun mereka ini secara fisik bersama masyarakat umum, namun imajinasi, cara pandang dan pilihan-pilihan hidup mereka sangatlah berbeda.
Dalam tingkat praktis, mereka mempunyai tata cara hidup yang hanya dipahami, diapresiasi dan dipraktekkan oleh mereka sendiri. Oleh karena itu, apa yang masyarakat umum anggap buruk, bisa jadi justru sebaliknya bagi mereka.
Lalu kenapa mereka bisa memilih hidup dalam subculture sementara mereka juga menikmati kehidupan kelas menengah di Surabaya? Apakah ini berarti bahwa marginalisasi itu tidak mesti dalam aspek ekonomi namun juga dalam hal sosial dan politik?
Jika penuturan sahabat SMA dari Dita (bapak dari pelaku bom gereja) yang viral di media sosial itu benar, maka Dita sudah lama merasa tidak 'sreg' hidup dengan tata nilai kemajemukan yang diusung oleh Pancasila.
Ia merasa termarginalkan secara sosial politik bukan secara ekonomi. Baginya, Indonesia ini adalah negara sekuler karena tidak berlandaskan pada syariat Islam dan oleh karena itu harus dilawan.
Nah, ketika mereka hidup dalam subculture seperti ini, ada sebuah sistem politik baru ditawarkan dengan label dagang 'khilafah Islamiyah' dideklarasikan di Suriah oleh Abu Bakar Al Baghdadi pada Juni 2014.
Orang-orang yang sudah muak dengan sistem Pancasila ini lantas tergerak untuk menjadi bagian dari sistem politik baru tersebut. Apalagi mereka mendapatkan angin segar dari suasana politik identitas yang meninggi akhir-akhir ini di Indonesia.
Pada saat yang sama, media sosial menghadirkan sebuah 'hyper reality' kepada mereka melalui video produksi dari ISIS sekelas Hollywood yang menjanjikan kehidupan yang lebih Islami dan terjamin pula secara ekonomi.
Sebanyak 28 orang tewas, termasuk pelaku, dalam tragedi teror di Surabaya, yang diawali bom di tiga gereja. (Reuters/Beawiharta) |
Barangkali dalam proses menunggu kesempatan hijrah atau pindah ke Irak dan Suriah ini mereka menjadi bagian subculture Jamaah Anshorut Daulah (JAD)--istilah bahasa Arab yang berarti 'kelompok pembela negara (ISIS)'.
Meminjam istilah Ben Anderson, mereka ini adalah 'imagined community'-nya ISIS. Maksudnya, fisik mereka berada di Indonesia tapi berangan-angan menjadi bagian dari daulah (ISIS). 'Junud daulah' atau para tentara ISIS adalah julukan mereka.
Untuk menunjukkan ke-eksis-an mereka itulah aksi teror itu dilakukan. Mungkin kita bisa pahami jika kemudian yang siap mati itu para lelaki dari pendukung ISIS. Tapi mengapa mereka melakukan aksi ini beramai-ramai satu keluarga?
Kira-kira dialog seperti apakah yang terjadi antara suami kepada istri, bapak dan ibu kepada anak sebelum beraksi?
Apakah mereka mengatakan: "Kita akan bertemu di alam surgawi jika mereka mati dalam aksi bom bunuh diri kita?"
Lalu bagaimana istri dan anak-anak bisa menurut perintah sang bapak? Karena saya curiga peran bapak lebih dominan dalam tradisi subculture ini.
Untuk memahami fase kesiapaan untuk mati ini, kita bisa melihat bagaimana proses bunuh diri masal beberapa cult (sekte aliran sesat) yang melakukan bunuh diri massal seperti pada kasus sekte David Koresh di Texas, Amerika Serikat atau sekte Ordo Kuil Matahari (Solar Temple) di Swiss dan Kanada.
Meskipun mereka tidak melakukan tindak terorisme kepada orang lain yang tidak berdosa untuk mencapai tujuan politik, namun ada kemiripan dalam hal cara pandang. Mereka sama-sama meyakini bahwa kehidupan dunia ini sudah sangatlah rusak dan percaya bahwa ada sebuah kehidupan yang lebih setelah kematian mereka.
Cara pandang yang menekankan kehidupan akhirat secara berlebih dan menafikan pentingnya merayakan kehidupan dengan cinta dan kasih kepada sesama ini ternyata bisa membuka celah masuknya teologi kematian seperti yang diyakini oleh tiga keluarga pelaku teror di Surabaya itu.
Ironisnya, sebaran ideologi kematian ini dirayakan dan dielu-elukan secara masif dalam masyakarat subculture ini melalui jaringan media sosial mereka baik yang terbuka seperti Facebook, Twitter, Instagram atau yang tertutup seperti Telegram.
Jelas ini ancaman keamanan yang serius di Indonesia, apalagi negara kita akan menjadi tuan rumah ajang olah raga dunia, ASIAN GAMES.
Bisa jadi reputasi kita sebagai negara yang aman runtuh jika kita sebagai bangsa tidak menjadikan ideologi mengerikan ini sebagai musuh bersama.
Ironisnya masih ada ribuan orang yang yakin bahwa atror yang terjadi di Surabaya ini hanyalah "permainan keji para inteljen", "pengalihan isu", "ternak teroris" dan ungkapan negatif lainnya.
Oleh karena itu, menurut saya, langkah awal kita menyelesaikan masalah ini adalah mengakui dengan terbuka dan jujur bahwa ada sebagain dari saudara-saudara kita ini terpesona dan memilih hidup menjadi bagian subculture masyarakat yang memuja teologi kematian yang menggerikan ini. Wallahu a'lam. (stu)
Noor Huda Ismail
Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian dan kandidat PhD Politik dan Hubungan Internasional Monash University, Melbourne.
Sumber: https://www.cnnindonesia.com