Tampilkan postingan dengan label Teroris. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Teroris. Tampilkan semua postingan

Konten Terorisme di Facebook Melonjak 73 %

Jakarta - Facebook di sepanjang kuartal pertama 2018 telah menindak 1,9 juta konten terkait terorisme Al-Qaeda dan ISIS. Jumlahnya meningkat 73% dari tahun sebelumnya yang mencapai 1,1 juta konten.

Temuan ini merupakan hasil dari meningkatnya kemampuan machine learning yang memudahkan Facebook untuk menemukan konten-konten berbau terorisme di jejaring sosialnya.

Facebook bahkan mampu menemukan 99,5% konten yang terkait dengan terorisme sebelum konten tersebut dilaporkan oleh pengguna, seperti dikutip detikINET dari The Verge, Kamis (17/5/2018).


Selain konten yang terkait terorisme, Facebook juga melaporkan temuan konten bermasalah lainnya, seperti konten kekerasan grafis, dimana Facebook menindak 3,4 juta konten yang banyak muncul bersamaan dengan semakin buruknya situasi di Suriah.

Laporan Facebook ini merupakan bagian dari Community Standards Enforcement Report yang mencatat upaya Faceboook untuk memoderasi konten antara Oktober 2017 hingga Maret 2018.

Facebook juga berencana untuk merilis laporan ini dua kali dalam setahun. Tujuan dari dirilisnya laporan ini sendiri agar pengguna bisa mengerti bagaimana upaya dan tantangan yang dihadapi Facebook dalam menangani konten-konten yang bermasalah.  (rou/rou)

Sumber: Detiknews

14 Negara Terbitkan Imbauan Perjalanan ke Indonesia

Ilustrasi. Wisatawan Mancanegara (wisman) berada di kawasan Pasar Seni Ubud, Gianyar, Bali. (Foto: Antara/Fikri Yusuf)

JAKARTA,  - Sebanyak 14 negara menerbitkan imbauan perjalanan (travel advice) bagi warga negaranya untuk bepergian ke Indonesia terkait teror bom di Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur.

Kepala Biro Komunikasi Publik Kementerian Pariwisata (Kemenpar) Guntur Sakti di Jakarta, Rabu (16/5), menghimpun informasi sebanyak 14 negara yang menerbitkan peringatan keamanan bagi warga negaranya untuk ke Indonesia.

"Sebanyak 14 negara telah mengeluarkan travel advice terkait aksi teror bom di Surabaya dan Sidoarjo per-16 Mei 2018 jam 14.55 WIB," katanya.

Negara-negara itu menggelar pernyataan travel advice melalui website resmi mereka yakni Inggris, Amerika Serikat, Australia dan Hongkong.

Selanjutnya, New Zealand, Singapura, Malaysia. Kemudian Polandia, Irlandia, dan Canada.

Empat negara yang lain yakni Prancis, Filipina, Swiss, dan Brasil.

"Kemenpar sangat menghargai dan memandang hal tersebut sebagai sebuah kewajiban negara untuk melindungi warganya yang berada di negara lain, bukan sebagai larangan berkunjung," kata Guntur.

Ia menyebut "travel advice" yang dikeluarkan oleh beberapa negara untuk warganya setelah peristiwa pemboman di beberapa titik di Indonesia itu sama sekali bukan berarti larangan berkunjung.

"Sebagai informasi pemerintah Indonesia juga pernah mengeluarkan `travel advice` untuk warga negara Indonesia di Perancis ketika terjadi serangan teror Charlie Hebdo pada 2015," katanya. (Antara)

Sumber: SATUHARAPAN.COM

Ideologi Kematian Keluarga Teroris

Aksi teroris yang dilakukan oleh satu keluarga bisa jadi baru pertama kali di dunia. (CNN Indonesia/Andry Novelino)

Jakarta - Metode kinship atau rekrutmen melalui jalur keluarga untuk aksi terorisme bukan barang baru. Bom Bali 2002 dilakukan oleh trio bersaudara: Ali Ghufron, Amrozi and Ali Imron.

Remaja terlibat dalam jaringan teror juga bukan yang pertama kalinya di Indonesia. Beberapa di antara mereka terlibat dalam jaringan ISIS dalam serangan bom Thamrin 2016 dan juga jaringan Bahrun Naim di Solo.

Upaya melibatkan perempuan untuk aksi teror pun pernah dicoba pula oleh jaringan ini dengan merekrut Dian Yulianti Novi, mantan pekerja migran yang dipersiapkan menjadi 'pengantin' di Istana Presiden tahun 2016.


Namun, tiga aksi terorisme dilakukan oleh tiga keluarga sekaligus melibatkan perempuan dan anak-anak dalam rentetan teror di Surabaya, ini adalah fenomena baru yang bisa jadi pertama kali di dunia.

Padahal, berdasarkan foto keluarga yang beredar di berbagai platform media sosial, mereka tampak sebagai keluaga 'normal' dan bahkan kelas menengah.

Sebagai bapak dari dua anak, saya tidak habis pikir: bagaimana mungkin orang tua tega mengorbankan anak-anak mereka sendiri untuk sebuah ideologi? Bagaimana menjelaskan proses radikalisasi mereka?

Untuk memahami peristiwa tragis di atas, barangkali kita bisa meminjam fenomena orang berpindah aliran dalam agama (dari NU menjadi Muhammadiyah), berganti agama (dari Kristen menjadi Muslim atau sebaliknya) atau bahkan meninggalkan agama sekali pun (menjadi atheis).

Artinya fenomena orang berubah keyakinan atau memilih sebuah ideologi tertentu itu merupakan hal lumrah terjadi dalam kehidupan sosial manusia. Mereka yang melakukannya biasanya melalui sebuah proses yang panjang dan berliku.

Aksi damai digelar untuk mengenang para korban dalam rentetan teror bom yang mengguncang Surabaya pada Minggu dan Senin kemarin. (CNN Indonesia/Andry Novelino)

Biasanya diawali dengan sebuah "pemantik" kejadian yang bersifat subjektif pada diri para pelaku. Dalam bahasa Islam, mereka ini sering disebut mendapatkan 'hidayah' (istilah bahasa Arab yang berarti petunjuk) atau dalam bahasa Inggris disebut 'epiphany' (kesadaran baru).

Dengan analogi tersebut, maka ketiga keluarga yang menjadi pelaku teror ini pada dasarnya pelan-pelan berpindah dari tradisi keberagamaan mainstream (umum) ke dalam tradisi keberagamaan subculture (khusus).

Mereka yang hidup dalam masyarakat subculture ini mempunyai dunia sendiri. Artinya, meskipun mereka ini secara fisik bersama masyarakat umum, namun imajinasi, cara pandang dan pilihan-pilihan hidup mereka sangatlah berbeda.

Dalam tingkat praktis, mereka mempunyai tata cara hidup yang hanya dipahami, diapresiasi dan dipraktekkan oleh mereka sendiri. Oleh karena itu, apa yang masyarakat umum anggap buruk, bisa jadi justru sebaliknya bagi mereka.

Lalu kenapa mereka bisa memilih hidup dalam subculture sementara mereka juga menikmati kehidupan kelas menengah di Surabaya? Apakah ini berarti bahwa marginalisasi itu tidak mesti dalam aspek ekonomi namun juga dalam hal sosial dan politik?

Jika penuturan sahabat SMA dari Dita (bapak dari pelaku bom gereja) yang viral di media sosial itu benar, maka Dita sudah lama merasa tidak 'sreg' hidup dengan tata nilai kemajemukan yang diusung oleh Pancasila.

Ia merasa termarginalkan secara sosial politik bukan secara ekonomi. Baginya, Indonesia ini adalah negara sekuler karena tidak berlandaskan pada syariat Islam dan oleh karena itu harus dilawan.

Nah, ketika mereka hidup dalam subculture seperti ini, ada sebuah sistem politik baru ditawarkan dengan label dagang 'khilafah Islamiyah' dideklarasikan di Suriah oleh Abu Bakar Al Baghdadi pada Juni 2014.

Orang-orang yang sudah muak dengan sistem Pancasila ini lantas tergerak untuk menjadi bagian dari sistem politik baru tersebut. Apalagi mereka mendapatkan angin segar dari suasana politik identitas yang meninggi akhir-akhir ini di Indonesia.

Pada saat yang sama, media sosial menghadirkan sebuah 'hyper reality' kepada mereka melalui video produksi dari ISIS sekelas Hollywood yang menjanjikan kehidupan yang lebih Islami dan terjamin pula secara ekonomi.

Sebanyak 28 orang tewas, termasuk pelaku, dalam tragedi teror di Surabaya, yang diawali bom di tiga gereja. (Reuters/Beawiharta)

Barangkali dalam proses menunggu kesempatan hijrah atau pindah ke Irak dan Suriah ini mereka menjadi bagian subculture Jamaah Anshorut Daulah (JAD)--istilah bahasa Arab yang berarti 'kelompok pembela negara (ISIS)'.

Meminjam istilah Ben Anderson, mereka ini adalah 'imagined community'-nya ISIS. Maksudnya, fisik mereka berada di Indonesia tapi berangan-angan menjadi bagian dari daulah (ISIS). 'Junud daulah' atau para tentara ISIS adalah julukan mereka.

Untuk menunjukkan ke-eksis-an mereka itulah aksi teror itu dilakukan. Mungkin kita bisa pahami jika kemudian yang siap mati itu para lelaki dari pendukung ISIS. Tapi mengapa mereka melakukan aksi ini beramai-ramai satu keluarga?

Kira-kira dialog seperti apakah yang terjadi antara suami kepada istri, bapak dan ibu kepada anak sebelum beraksi?

Apakah mereka mengatakan: "Kita akan bertemu di alam surgawi jika mereka mati dalam aksi bom bunuh diri kita?"

Lalu bagaimana istri dan anak-anak bisa menurut perintah sang bapak? Karena saya curiga peran bapak lebih dominan dalam tradisi subculture ini.

Untuk memahami fase kesiapaan untuk mati ini, kita bisa melihat bagaimana proses bunuh diri masal beberapa cult (sekte aliran sesat) yang melakukan bunuh diri massal seperti pada kasus sekte David Koresh di Texas, Amerika Serikat atau sekte Ordo Kuil Matahari (Solar Temple) di Swiss dan Kanada.

Meskipun mereka tidak melakukan tindak terorisme kepada orang lain yang tidak berdosa untuk mencapai tujuan politik, namun ada kemiripan dalam hal cara pandang. Mereka sama-sama meyakini bahwa kehidupan dunia ini sudah sangatlah rusak dan percaya bahwa ada sebuah kehidupan yang lebih setelah kematian mereka.

Cara pandang yang menekankan kehidupan akhirat secara berlebih dan menafikan pentingnya merayakan kehidupan dengan cinta dan kasih kepada sesama ini ternyata bisa membuka celah masuknya teologi kematian seperti yang diyakini oleh tiga keluarga pelaku teror di Surabaya itu.

Ironisnya, sebaran ideologi kematian ini dirayakan dan dielu-elukan secara masif dalam masyakarat subculture ini melalui jaringan media sosial mereka baik yang terbuka seperti Facebook, Twitter, Instagram atau yang tertutup seperti Telegram.

Jelas ini ancaman keamanan yang serius di Indonesia, apalagi negara kita akan menjadi tuan rumah ajang olah raga dunia, ASIAN GAMES.

Bisa jadi reputasi kita sebagai negara yang aman runtuh jika kita sebagai bangsa tidak menjadikan ideologi mengerikan ini sebagai musuh bersama.

Ironisnya masih ada ribuan orang yang yakin bahwa atror yang terjadi di Surabaya ini hanyalah "permainan keji para inteljen", "pengalihan isu", "ternak teroris" dan ungkapan negatif lainnya.

Oleh karena itu, menurut saya, langkah awal kita menyelesaikan masalah ini adalah mengakui dengan terbuka dan jujur bahwa ada sebagain dari saudara-saudara kita ini terpesona dan memilih hidup menjadi bagian subculture masyarakat yang memuja teologi kematian yang menggerikan ini. Wallahu a'lam. (stu)

Noor Huda Ismail
Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian dan kandidat PhD Politik dan Hubungan Internasional Monash University, Melbourne.
Sumber: https://www.cnnindonesia.com

Mako Polrestabes Surabaya Dibom Senin Pagi, Pelaku Ledakkan Diri Saat Dicegat Polisi

Bom meledak di Markas Polrestabes Surabaya, Jawa Timur, Senin (14/5/2018) pagi.
Surabaya - Serangan bom di Surabaya belum berakhir. Setelah tiga serangan bom bunuh diri pada Minggu (13/5/2018), ganti Mapolrestabes Surabaya di Jalan Sikatan Surabaya menjadi sasaran serangan bom Senin (14/5/2018) pukul 08.50 WIB.

Satu bom yang meledak di depan mako Polrestabes Surabaya, Senin (14/5/2018) pada pukul 08.50 WIB berasal dari sebuah mobil Avanza.

Kabid Humas Polda Jawa Timur, Kombes Frans Barung, kepada Kompas TV menyebut, terjadi ledakan di Mapolrestabes Surabaya, Senin (14/5/2018) pk. 08.50.

"(Pada) 8.50 WIB telah terjadi ledakan di Polrestabes Surabaya," kata Frans.

Informasi terbaru akan terus diupdate di tribun-medan.com.

Berdasarkan foto dan video yang beredar pada media sosial, tampak mobil teronggok melindas tubuh laki-laki.

Mobil pun mengimpit beberapa sepeda motor. Posisi mobil berwarna hitam, berada di pekarangan Markas Polrestabes Surabaya, setelah melewati portal masuk dan gapura Polrestabes Surabaya.


Rekaman CCTV menunjukkan fakta lain,  pelaku datang menumpang sepeda motor. Pagi itu, personel polisi sedang memeriksa mobil yang hendak masuk ke Mapolretabes.

 Saat itu, dua sepeda motor masing-masing berboncengan masuk dari sisi kiri. Sesaat, kurang lebih 7 detik,  telah dihentikan polisi lainnya, bom meledak dari pengendara motor.

Empat orang polisi tampak terjengkang.

Sumber: http://medan.tribunnews.com/2018/05/14/breaking-news-mako-polrestabes-surabaya-dibom.

Merkel: Hadapi Teroris dengan Kasih dan Persatuan


Kanselir Jerman, Angela Merkel. (Foto: dok./AFP)


BERLIN, -Kanselir Jerman, Angela Merkel, hari Sabtiu (31/12) dalam pesan menyambut tahun baru meminta warga Jerman memegang teguh nilai-nilai demokrasi dalam menghadapi teror oleh kelompok militan. Dia mendesak mereka untuk melawan "pembunuh yang penuh kebencian" dengan kasih sayang dan persatuan.

Jerman kurang dari dua pekan lalu menghadapi tragedi serangan teror oleh pencari suaka asal Tunisi yang menabrakkan truk ke pasar Natal di Berlin. Serangan itu membunuh 12 orang dan melukai puluhan lainnya. Dalam pidatonya Merkel mengakui hal itu "pahit dan memuakkan" bahwa serangan itu dan serangan pada bulan Juli dilakukan oleh pencari suaka.

Namun demikian, dia tetap bertahan dengan keputusannya pada bulan September 2015 untuk membuka tangan bagi puluhan ribu orang yang melarikan diri dari perang di negara-negara yang sebagian besar Arab dan Muslim.

"Ketika kita melihat gambar Aleppo di Suriah yang dibom, kita harus mengatakan sekali lagi betapa penting dan benar bagi kita untuk membantu mereka yang membutuhkan perlindungan kita, untuk menemukan jalan mereka di sini, dan untuk mengintegrasikan," katanya, dikutip AFP.

Merkel mengatakan, melalui nilai-nilai kemanusiaan dan keterbukaan, Jerman harus melihat ke bawah pada mereka yang mendukung kebencian.

"Kita melanjutkan hidup dan bekerja, kita memberitahu para teroris: Anda adalah pembunuh penuh kebencian, tetapi Anda tidak akan menentukan bagaimana kami hidup dan ingin hidup, kita merdeka, penuh kasih dan terbuka," katanya.

Merkel berada di bawah tekanan atas kebijakan liberalnya menerima pengungsi, di mana Jerman menampung sekitar satu juta orang dalam dua tahun terakhir, dan menghadapi masyarakat yang makin terpolarisasi.

Dua serangan teroris yang terjadi pada bulan Juli oleh pencari suaka, dan serangan 19 Desember telah membangkitkan keberanian kritikus populis sayap kanan.

Namun pemimpin Jerman itu berjanji bahwa pemerintah pada tahun 2017 "akan dengan cepat menempatkan dan menerapkan perubahan politik atau hukum" untuk menutup setiap celah keamanan, setelah serangan truk di Berlin dinilai sebagai kegagalan serius.

Dia memperingatkan juga untuk menempatkan kelompok orang tertentu di bawah pengawasan.
Merkel juga menyebut para kritikus populis yang dikatakan sebagai mendapat gambaran yang "terdistorsi" tentang demokrasi. Menurut dia, sistem itu "kuat, dan memungkinkan setiap orang untuk bertindak, dan berpartisipasi.’’

"Kritik yang damai dan menghormati individu, yang mencari solusi dengan kompromi, dan tidak mengecualikan seluruh kelompok," katanya. Dia mendesak politisi untuk tidak melupakan prinsip-prinsip yang memandu untuk pemilu tahun 2017.
Editor : Sabar Subekti
Sumber: SATUHARAPAN.COM

Tolak Pemberlakuan UU Teroris di Tanah Papua

 MANOKWARI : Rencana pemberlakuan Undang-Undang Terorisme terhadap kasus kekerasan bersenjata yang terjadi di tanah Papua oleh Mabes Polri ditentang keras kelompok Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB). Menurut Gubernur NRFPB wilayah Mnukwar Markus Yenu langkah yang diambil Mabes Polri tersebut tidak sesuai kondisi riil yang terjadi di tanah Papua.
Kami menolak UU teroris di Papua karena konflik Papua ini terjadi sejak integrasi Papua ke dalam NKRI, jadi kalau kami dicap sebagai separatis atau teroris itu keliru, tandas Yenu dalam keterangan pers kepada wartawan di Manokwari, kemarin.

NRFPB menilai UU terorisme sengaja diterapkan di tanah Papua dengan maksud agar simpati masyarakat terhadap gerakan perlawanan di Papua menurun. Tujuan akhirnya adalah agar perjuangan kemerdekaan Papua mati. Ini sengaja untuk menjatuhkan citra gerakan perlawanan masyarakat, sambung staf perdana menteri NRFPB Marthen Manggaprow.

NRFPB menilai pemberlakukan UU teroris di Papua adalah bagian dari membuka lahan baru bagi Detasemen Khusus (Densus) 88 anti teror. Target ke arah itu sudah dimulai dengan menciptakan teror lewat kejadian penembakan misterius yang terus terjadi sampai sekarang ini di wilayah Papua. Selama ini yang melakukan teror itu kan TNI/Polri, perjuangan Papua Merdeka itu perjuangan yang bermartabat, tandas Marthen lagi.

Terkait itu, Perdana Menteri NRFPB Edison Waromi yang saat ini masih berada dibalik jeruji besi dalam sikap politiknya menyerukan sejumlah hal penting yang perlu disikapi pemerintah pusat. Yakni, perjuangan kemerdekaan bangsa pribumi pemilik sah negeri Papua Barat bukan perjuangan teroris dan komunis atau sejenisnya. Pemerintah pusat diserukan segera menghentikan segala bentuk kekerasan khususnya di Wamena, Puncak Jaya, Yapen Waropen, Merauke dan wilayah lain di tanah air Papua Barat. Juga menghentikan pengejaran, penangkapan, pemenjaraan dan pembunuhan terhadap aktivis pro demokrasi dan HAM lainnya atau kepada aktivis KNPB.

Sebab, KNPB bukanlah organisasi teroris seperti yang disinyalir aparat keamanan Indonesia. Edison Waromi juga menyerukan agar Jakarta membuka akses bagi lembaga kemanusiaan internasional, wartawan internasional dan peneliti asing ke Papua Barat agar bisa mengetahui dan memantau situasi di seluruh tanah air Papua Barat sebagai perwujudan dari penghormatan atas nilai-nilai demokrasi dan HAM.

Pemerintah Indonesia juga diminta menghormati prinsip-prinsip­ universal HAM yang telah diratifikasi oleh PBB serta segera menarik seluruh anggota personil organik maupun non organik TNI/Polri keluar dari tanah air Papua Barat.

Perdana Menteri NRFPB yang sekarang berstatus Tahanan Politik ini juga menyerukan pembebasn Tapol/­Napol di seluruh tanah Papua Barat dan penjara-penjara lain di seluruh Indonesia dengan tanpa syarat. Pemerintah Indonesia juga perlu membuka diri untuk berunding dengan NRFPB yang dimediasi oleh pihak ketiga atau negara netral. (sr)
Sumber : RadarSorong