Kedatangan Raja Saudi ke Indonesia cukup menarik perhatian. Kemewahannya sudah sangat terlihat dengan serangkaian persiapan. Kedatangan Raja Saudi ke Indonesia mengharuskan mereka membawa 459 ton kargo. Beberapa bandara di Indonesia dibuat sibuk dengan kedatangan sang Raja. 63 ton di Halim Perdanakusuma, 396 ton di Ngurah Rai. Berisi makanan dan minuman untuk sang Raja. Ditambah peralatan kerja, mesin x-ray, mobil mercy S60d dan yang terpenting dua eskalator tangga pesawat.
Di mata awam saya, jujur agak kaget ketika mereka sampai harus membawa eskalator sendiri agar sang Raja dan rombongan bisa turun dari pesawat tanpa menuruni tangga. Luar biasa mewahnya sebuah kunjungan Raja. Kalau dibandingkan dengan Presiden Jokowi yang masih pegang payung sendiri sambil menuruni tangga, tentu sangat jauh berbeda. Bahkan dengan Trump yang merupakan pimpinan negara adidaya, masih kalah jauh dibandingkan Raja Saudi.
Mohon maaf kalau kesimpulan saya yang ini salah, tapi sepertinya kita dibuat silau dengan pesona Saudi Arabia. Media-media kita berhasil membuat saya dan mungkin banyak teman-teman pembaca Seword berdecak kagum dengan mewahnya rombongan sang Raja, terutama eskalatornya itu.
Mereka ke Indonesia akan membawa 1.500 rombongan, termasuk di dalamnya sepuluh menteri dan 25 pangeran. Ratusan mobil mewah sudah disiapkan, hotel kelas VIP sampai paket liburan di Bali suddah siap menyambut rombongan raja. Luar biasa.
Teori meningkatkan posisi tawar
Sebelum melanjutkan bahasan tentang sang Raja, saya ingin cerita sedikit tentang teori meningkatkan posisi tawar atau tebar pesona.
Saya ini termasuk orang yang paling susah diminta berpakain rapi dan representatif. Sudah terbiasa tampil acak-acakan yang penting nyaman bagi saya sendiri. Sampai pernah diomeli oleh seorang teman, disuruh beli jam tangan, kemeja formal dan seterusnya. Ini gara-gara saya cerita sedang bertemu klien menggunakan baju flanel yang seharusnya untuk kostum santai.
Tapi karena saya meyakini bahwa penampilan hanyalah kostum yang tidak ada hubungannya dengan pesona percaya diri dan kecerdasan seseorang, maka saya abaikan saja.
Belakangan saya baru percaya, segala hal yang kita bawa dan kenakan, sangat berpengaruh pada citra lawan bicara. Beberapa hari yang lalu saya sempat naik uber dari hotel Ritz menuju Halim. Tidak seperti biasanya, saya membawa dua bungkus Jco ukuran besar dan makanan-makanan yang cukup banyak.
Sang supir pun langsung penasaran mau terbang ke mana? Ada urusan apa di Ritz? dan seterusnya. Saya hanya spontan saja menjawab bahwa saya sampai ke Jakarta kemarin, baru saja bertemu teman dan saat itu mau ke Surabaya untuk melanjutkan pulang ke kampung halaman.
Sontak sang supir terpesona. Kemudian semakin penasaran saya ini kerjaannya apa? Bolak balik terbang, (dianggap) nginap di Ritz, dan bawa makanan mahal yang cukup banyak. Haha saya hanya jawab dengan tertawa.
Berhubung saat itu adalah hari Pilkada, si supir ini beranggapan saya orang penting, tokoh politisi atau apa, yang datang ke Jakarta hanya untuk memantau jalannya pemilihan. Padahal semua itu salah dan tidak ada hubungannya sama sekali.
Selain itu, saya di Ritz hanya beberapa jam untuk kopdar dengan beberapa penulis Seword. Yang bayar bukan saya. Tiket PP juga bukan saya yang beli. Makanan yang ada di tangan dan mungkin seharga 500 ribuan itupun bukan saya yang beli, tapi diberi. Tapi orang yang melihat saya tidak peduli dengan semua itu, yang kemudian dia berimajinasi saya ini bla bla bla. Padahal ya bukan siapa-siapa.
Kemewahan yang melekat pada saya saat itu dan kemewahan yang sedang dibawa Raja Saudi ke Indonesia tentu tidak bisa disejajarkan. Jauh, seperti sumur dan surga. Tapi ada pelajaran penting yang perlu diingat dari cerita ini, bahwa apa yang dikenakan dan dibawa belum tentu merepresentasikan pribadi dan kehidupan seseorang.
Saya pikir ini bukanlah sebuah kebetulan. Ketika media-media kita sibuk memberitakan kemewahan Raja Saudi, di sisi lain media internasional sedang gencar memberitakan ilusi Saudi tentang saham Aramco.
Kunjungan rombongan Arab Saudi ke Asia –Indonesia, Malaysia, China- memiliki misi penting: menjual saham Aramco. Rencananya Aramco akan melepas 5% sahamnya dengan target pengumpulan dana sekitar 100 miliar dollar, dengan estimasi nilai Aramco mencapai 2 triliun dollar. Nyaris seharga saham Apple, Google, Microsoft dan Facebook digabung jadi satu.
Sementara Wood Mackenzie Ltd menyebut valuasi nilai saham Aramco hanya 400 miliar dollar. Sehingga klaim estimasi harga Aramco mencapai 2 triliun ini hanya sebuah ilusi. Mirip seperti beli rumah di Jakarta dengan DP 0%. Mimpi! Atau contoh yang lebih greget, membantah chat sex Rizieq tapi membenarkan suara rekaman Firza. Hil yang mustahal.
Atau kalau mau contoh yang sedikit lebih waras, ini seperti Menteri Jonan dalam melihat Freeport. “Saya kira gajah, ternyata sapi.” Maksudnya, kita melihat Freeport seolah-olah besar sekali, padahal ternyata tak sebesar itu. Inilah yang terjadi pada Arab Saudi dengan analisa pasar saham.
Indonesia harus hati-hati
Dalam Islam kita dilarang berpikiran negatif, tapi membolehkan berhati-hati.
Isu yang berkembang di media luar dengan media di Indonesia agak sedikit berbeda. Kita mendadak berpikir, dengan mewahnya fasilitas rombongan raja, maka pasti mereka memiliki uang yang melimpah. Mungkin saja tujuannya adalah berinvestasi, menanam modal dan menggelontorkan triliunan rupiah untuk pembangunan di Indonesia.
Padahal berita yang berkembang di media luar, Arab Saudi sedang “menjajakan” Aramco dan melihat potensi bisnis lain mengingat mereka sudah tidak bisa lagi bergantung pada sumber minyak. Sekilas ini seperti cerita saya yang ke Jakarta beberapa waktu lalu. Terlihat mewah dan kebanyakan uang, padahal ya begitulah.
Sekali lagi, opini publik yang terbentuk di media, seolah-olah rombongan Raja ini mau membawa ratusan triliun rupiah untuk diinvestasikan di Indonesia. Ya yang ini memang hoax. Tapi beberapa media mainstream juga mencatat bahwa Presiden berharap total investasinya mencapai 95 triliun rupiah.
Kita tidak tahu realisasinya nanti akan seperti apa. Sebagai rakyat Indonesia tentu akan senang-senang saja kalau Saudi mau menggelontorkan dananya untuk negara kita. Tapi sekaligus hati-hati, sebab di luar sana beritanya justru Saudi sedang “menjajakan” Aramco.
Tapi tetap ada potensi berita yang berkembang di tanah air adalah benar, mengingat Saudi ingin melirik usaha lain karena sudah tidak bisa bergantung pada minyak. Namun semoga kita tidak terlalu silau dengan kemewahannya. Jangan sampai kaum bumi datar tertawa-tawa karena nilai investasinya hanya seujung kuku APBN kita, atau malah meminta Indonesia berinvestasi di Saudi.
Atau pemerintah juga tak perlu terlalu silau dengan kemewahan rombongan Raja Saudi. Jangan sampai karena terlihat kaya raya, kemudian jadi longgar dalam menyikapi secara kritis terkait tawaran-tawaran yang diajukan nanti. Dalam bahasa yang lebih membumi, kalau mau “ngutang” sebaiknya ditolak saja.
Begitulah kura-kura
Sumber: https://seword.com/luar-negeri/kemewahan-raja-saudi-ilusi-dan-krisis/