Heboh amat soal nasionalisme terhadap Freeport. Orang-orang Indonesia berdebat kiri kanan karena merasa miliknya dirampok, kekayaannya dihisap dengan semena-mena, dan selama ini dikadali Amerika.
Apa yang hilang dari kebanggaan nasionalistik yang terhina ini? Orang Papua. Ya, mereka selalu ditempatkan dibelakang panggung. Mereka tidak pernah punya hak bicara.
Bangsa ini memang terus dibungkam. Tahun 1963, ketika New York Agreement ditandatangani, adakah orang Papua diajak bicara? Tidak sama sekali. Yang berunding itu hanya Indonesia, Belanda, difasilitasi Amerika, disetujui PBB.
Tahun 1969 ketika terjadi 'The Act of Free Choice' adakah bangsa Papua benar-benar menentukan pilihannya secara demokratis?
Sama sekali tidak. Penguasa Orde Baru memilih 1,026 orang untuk 'bermufakat bulat' bergabung dengan Indonesia. Ya! "Mufakat bulat". Kalau kau besar di jaman Orde Baru, kau tahu apa artinya mufakat bulat itu.
Tidak semua dari 1,026 orang ini adalah orang Papua. Dan, mereka yang orang asli Papua sendiri bilang, tahun 1969 itu adalah "The Act of No Choice." Bagaimana kau bisa memilih dengan senjata dikepalamu?
Kau katakan itu 'pilihan bebas' (free choice)? Bahkan Soeharto sudah menjual pegunung Grasberg ke Freeport pada tahun 1967! sekali lagi, 1967! Tentu saja tidak ada pilihan kecuali bermufakat dibawah todongan senjata untuk ikut Indonesia.
Kini kau dengar selalu "NKRI harga mati." Iya. Bukan. Bukan kau yang mati. Orang Papua yang harus mati jikalau mereka mau menuntut kedaulatannya.
Kau mau dengar suara orang Papua tentang bagaimana kau berteriak bising soal Freeport? Bacalah ini:
"Sobat, ko pernah lihat orang rakus, lapar pu cara makan? Kalau di negeri tetangga itu itu namanya nasionalisme."
Satu lagi:
"Kalo kam jago, cabut freeport dengan gunungnya kasi pindah ke kam pu tempat tooo. De ada juga, trada guna, yang ada hanya guna-guna buat tiap minggu kacau."
Kekayaan yang harganya milyaran dollar itu tidak ada artinya kalau kemerdekaan kau rampas. Ambil saja untuk kau, bawa ke kampungmu, tidak ada guna buat kami, biarkan kami hidup tenang!
Sehingga seorang kawan saya yang waras melihat persoalan ini, menulis demikian:
"Mendukung tambang Freeport dikembalikan ke Indonesia, baru setengah argumen. Menjadi lengkap jika Papua seisinya dikembalikan kepada yang punya."
Tentu kau tak kan pernah akui siapa yang punya. Ya, seperti perompak berebut barang rajahan!
Kenyataan itu pahit! Tapi, keadilan itu lebih pahit lagi.
Jadi berhentilah merasa berhak!
Catatan :Made Supriatma
Sama sekali tidak. Penguasa Orde Baru memilih 1,026 orang untuk 'bermufakat bulat' bergabung dengan Indonesia. Ya! "Mufakat bulat". Kalau kau besar di jaman Orde Baru, kau tahu apa artinya mufakat bulat itu.
Tidak semua dari 1,026 orang ini adalah orang Papua. Dan, mereka yang orang asli Papua sendiri bilang, tahun 1969 itu adalah "The Act of No Choice." Bagaimana kau bisa memilih dengan senjata dikepalamu?
Kau katakan itu 'pilihan bebas' (free choice)? Bahkan Soeharto sudah menjual pegunung Grasberg ke Freeport pada tahun 1967! sekali lagi, 1967! Tentu saja tidak ada pilihan kecuali bermufakat dibawah todongan senjata untuk ikut Indonesia.
Kini kau dengar selalu "NKRI harga mati." Iya. Bukan. Bukan kau yang mati. Orang Papua yang harus mati jikalau mereka mau menuntut kedaulatannya.
Kau mau dengar suara orang Papua tentang bagaimana kau berteriak bising soal Freeport? Bacalah ini:
"Sobat, ko pernah lihat orang rakus, lapar pu cara makan? Kalau di negeri tetangga itu itu namanya nasionalisme."
Satu lagi:
"Kalo kam jago, cabut freeport dengan gunungnya kasi pindah ke kam pu tempat tooo. De ada juga, trada guna, yang ada hanya guna-guna buat tiap minggu kacau."
Kekayaan yang harganya milyaran dollar itu tidak ada artinya kalau kemerdekaan kau rampas. Ambil saja untuk kau, bawa ke kampungmu, tidak ada guna buat kami, biarkan kami hidup tenang!
Sehingga seorang kawan saya yang waras melihat persoalan ini, menulis demikian:
"Mendukung tambang Freeport dikembalikan ke Indonesia, baru setengah argumen. Menjadi lengkap jika Papua seisinya dikembalikan kepada yang punya."
Tentu kau tak kan pernah akui siapa yang punya. Ya, seperti perompak berebut barang rajahan!
Kenyataan itu pahit! Tapi, keadilan itu lebih pahit lagi.
Jadi berhentilah merasa berhak!
Catatan :Made Supriatma