Air Mata di Papua, Banjir di Jakarta (Opini)

Tanah Papua yang indah namun  penuh dengan berbagai persoalan telah hilang ribuan nyawa dari waktu ke waktu. Tangisan air mata yang tak mungkin dihapus begitu saja. Memori masa lalu dalam kebrutalan tindakan pihak asing dalam merebut wilayah masih jelas dan segar dalam ingatan.

Dalam mengambil apa yang bukan milik mereka; Namun atas nama negara mereka telah bertindak. Kaum pribumi yang dengan jiwa raga mempertahankan kedaulatan kemerdekaan wilayahnya kemudian dicap sebagai sepratis, bahkan ditembak mati.

Hutan-hutan rimba Papua menjadi tempat pelarian, bahkan banyak juga yang kemudian mengungsi dan hidup dinegara tetangga. Banyak generasi muda yang terlahir dan hidup tanpa ayah ataupun tanpa ibu, bahkan ada kemudian bertanya dimana ayahnya, keluarganya dan lain sebagainya, sesungguhnya mereka telah menjadi korban dari suatu rezim yang memaksakan wilayah yang telah dicaploknya.
Berbagai pelanggaran ini tidak membuat kami generasi ini membenci negara yang menjajah, tetapi kami bahkan terus mengingatkan kepada negara penjajah ini agar pencaplokan dan pendudukan atas wilayah kami segera dihentikan. Kebencian kami adalah ketika rakyat kami terus disiksa atas nama persatuan palsu, kami dipaksa menjadi indonesia sementara jelas dalam fakta sejarah kami telah bernegara sendiri.
Kami tahu kami tak membalas namun dalam  doa-doa, kami berharap bangsa indonesia yang besar ini dapat sadar dan memberikan kesempatan kepada bangsa dan negara papua untuk berdaulat, biarlah Tuhan yang menentukan.



Akhir tahun 2014 pada awal bulan desember kita semua dikejutkan dengan terjadinya penembakan, 5 orang siswa ditembak mati oleh aparat indonesia, puluhan lainnya luka luka.
Jika kita melihat kebelakannya ada lagi serangkaian peristiwa yang telah terjadi. Inikah wajah negara indonesia dalam membangun Papua? Mengapa kekerasan seperti dibiarkan ?
Dalam duka dari generasi ke generasi, kami terus mengeluh, kami mengeluh bukan pada bangsa indonesia tetapi pada sang pencipta yang serasa tidak adil memberikan kami tempat namun tempat kami dirampas oleh bangsa lain. Air mata duka yang kami rasakan tak akan terhapus selama bangsa asing itu masih ada.


Jakarta, ibukota negara indonesia dilanda banjir. 

Banjir merendam jalan di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Senin (9/2)/Antara
Dari beberapa catatan dimedia online memuat ada beberapa titik yang telah tergenang, bahkan di ring satu didekat istana presiden indonesiapun telah digenangi air.

Musim hujan, mungkin saja ini musimnya, sehingga turun dengan begitu deras tanpa berhenti.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah ibukota namun rasa-rasanya sangat sulit untuk menghalau air yang menjadi momok menakutkan bagi masyarakat ibukota.
Mari kita lihat dari fenomena alam dan hubungannya dengan kehidupan umat manusia. Jakarta adalah pusat negara indonesia dimana segala kebijakan mengenai daerah daerah disetujui.
Bahkan termasuk dengan kita yang di Papua. Dari layar tv, media cetak dan media online kita dapat melihat berbagai macam ketimpangan yang terjadi, ada KKN, ada kekerasan-kekerasan, ada perbandingan kehidupan dari suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Semua kemasan pemberitaan ini menunjukan bahwa bangsa ini sudah salah jalan.
Mempertontonkan ketertinggalannya pada bangsa lain. Mengapa dikatakan bodoh, indonesia adalah negara demokrasi, sudah sepantasnya menjalankan sistem demokrasi itu dengan baik. Bukan sebaliknya demokrasi hanya label namum pelaksanaan jauh dari demokrasi.  

Segala kebijakan yang diambil ini mempengaruhi kehidupan banyak orang.
Lihat saja, tuntutan rakyat Papua, agar diberikan referendum tidak direspon, rakyat papua menuntut dialog, tidak direspon bahkan rakyat Papua menggelar kongres dan mendeklarasikan pemulihan kemerdekaannya, masih tidak direspon malah dihancurkan semua itu dengan label separatis, makar dan lain sebagainya. Solusi diberikan otonomi khusus yang entah dimana kekhsususannya itu. 

Banjir di Jalan Budimulya Raya, Pademangan Barat, Jakarta Utara, Selasa (10/2/2015). Curah hujan tinggi serta drainase yang buruk membuat sejumlah tempat di Jakarta terendam banjir. KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO
Dampak dari semua itulah yang menurut saya telah menjadi suatu kenyataan ketika di timur khususnya di Papua terjadi kekerasan dari tahun ke tahun, membuat kesedihan berkepanjangan, air mata mewakili hati yang remuk, tak ada kata lagi yang keluar, kami tegar namun tetap mengenang dan menangisi kepergian rekan-rekan seperjuangan.
Sementara dijakarta, rakyat ibukota harus mengungsi karena rumah mereka terendam air, air mata di timur, namun dibarat air hujan. Alam membalas setiap kebijakan yang tak tepat.

(Hanya sebuah catatan untuk kita renungkan)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »