Abepura, Jubi – Gerakan Mahasiswa Pemuda Rakyat Papua (GempaR) mengungkap ada empat kebijakan masa pemerintahan Joko Widodo berpotesi pelangaran Hak Asasi Manusia. Potensi pelanggaran HAM secara langsung maupun tidak langsung melalui regulasi yang tidak adil.
Gempar menyampaikan itu dalam aksi demo penolakan kedatangan Jokowi merayakan Natal Nasional di Jayapura pada 27 Desember nanti, di Gapura Universitas Cendrawasih Jayapura, di Waena, Kota jayapura, Papua, Kamis (18/12).
Empat kebijakan itu, menurut GempaR, adalah rencana pendirian Kodam baru di provinsi Papua Barat; pemekaran wilayah Daerah Otonomi Baru (DOB), program transmigrasi dan rencana pasar bebas tahun 2015.
Pendirian Kodam itu, menurut Samuel Womsiwor aktivis GempaR, akan menyebabkan jumlah anggota militer akan melebihi orang asli Papua. Orang Papua pastinya akan berada dibawa tekanan militer. Kebebasan rakyat akan direduksi lebih dari yang sedang berlansung.
Karena itu, GempaR menyatakan penolakan. “Tolak kodam baru, stop tipu kami rakyat,” tulis GempaR dalam panfletnya yang dipajang di pintu pagar utama kampus Uncen Jayapura, di Waena.
Womsiwor mengatakan pemakaran wilayah tentunya membuka ruang bagi orang luar Papua. Orang luar akan membanjiri wilayah-wilayah pemekaran. Potensi konflik antara orang asli dan pendatang akan subur. Konflik akibat persaingan merebut sumber-sumber ekonomi.
Kemudian, progrram transmigrasi akan menjadi sumber ketidakdilan pembangunan. Pemerintah akan terus memfokuskan pembangunan dan pusatkan pembangunan ke wilayah trans. “Sudah ada bukti di Keerom. Basis wilayah orang asli tidak tersentu pembangunan,” kata Pontius Omoldoman pekan lalu dalam jumpa persnya.
Sumber ketidakadilan lebih besar ada dalam rencana pasar bebas. Pemerintah akan membuka kesempatan bagian warga negara lain membuka usaha di Papua, namun orang Papua akan kehilangan pekerjaan. Orang Papua yang tidak memiiki ketrampilan, kemampuan individu akan tersingkir dari persaingan.
Ketidak mampuan orang Papua itu akan membawa orang Papua lari mencari pekerjaan yang tidak layak dan mengangu pihak lain. Gejala itu mulai muncul jauh sebelum kebijakan pemerintah berlaku dengan fenomena anak-anak muda meminta sumbangan sambil bersihkan jalan di kota Jayapura dan sekitarnya di akhir-akhir ini.
Menurut pengamat pembangunan, Berry Renwarin, pemerintah mesti melihat fenomena ini. Gejala anak muda minta sumbangan sambil bersihkan jalan ini, satu gejala kritik atas ketidakpedulian publik kota Jayapura dengan lingkungan, namun lebih dari itu satu gejala kegagalan.
“Gejalan ketidakseimbangan pembangunan antara kota dengan pembangunan kampung. Orang dari kampung datang ke kota tidak mampu bersaing, memilih kerja sedikit dapat uang,” kata staf pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jayapura, kandidat doktor sosiologi pmbangunan Universitas Kristen Satya Wacana malang ini, kepada Jubi, pekan lalu. (Mawel Benny)
sumber : Jubi