Beberapa hari lalu sejumlah tokoh nasional berkumpul di Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Mereka membahas upaya mencegah kebangkrutan nasional.
Merosotnya kedaulatan negara, jaminan keamanan, kesejahteraan rakyat, serta maraknya korupsi adalah gejala yang dikhawatirkan akan menggiring bangsa ini ke arah kebangkutan. Demikian antara lain kesimpulan dalam silaturahim itu seperti diberitakan Kompas (17/6).
Boleh jadi hal itu politis karena sejumlah tokoh politik ikut hadir di dalamnya. Namun, menguatnya gejala tersebut sangat nyata sebab didukung oleh fakta lapangan yang sulit dibantah.
Mengapa negara ini sampai terancam bangkrut, gagal dalam mencapai tujuan nasionalnya, malah potensial untuk tergiring ke dalam jurang disintegrasi? Dari mana ancaman tersebut berasal dan bagaimana pula hal itu bisa terjadi? Beberapa pertanyaan diagnosis itu perlu dirunut untuk mencari solusi terbaik mencegah kebangkrutan.
Untuk menjawabnya saya mencoba menggunakan formulasi para Bapak Bangsa dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dan mempersepsikan ancaman.
Formulasi tujuan nasional dalam alinea kedua Pembukaan UUD 1945 adalah Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Para pendiri negara pasti menyadari dengan mendalam bahwa negeri ini luar biasa kayanya, kita dianugerahi Tuhan Yang Mahakuasa kekayaan sumber daya alam dan keanekaan hayati yang amat melimpah. Dengan potensi itulah diyakini bangsa ini dapat mencapai tujuan nasionalnya.
Tampaknya mereka juga amat menyadari bahwa betapa kaum kolonial telah mengeruk kekayaan alam kita selama 350 tahun masa penjajahan. Oleh karena itu, pada masa kemerdekaan ini semua kekayaan alam milik bangsa dan negara harus dilindungi, dipelihara, dan dikelola dengan baik agar dapat memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat sampai pada anak keturunan kita di kemudian hari. Saya kira perspektif itulah yang membentuk suasana batin para Bapak Bangsa yang tergabung dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) hingga terbentuk konstitusi bagi Indonesia merdeka.
Pesan kuat anti penjajahan dapat ditelusuri dalam alinea kesatu Pembukaan UUD 1945. Alinea ini juga sekaligus menggambarkan persepsi mereka tentang ancaman bagi bangsa Indonesia dalam mencapai tujuan nasionalnya, yaitu ancaman yang berasal dari ketamakan kolonialis-kapitalis. Oleh karena itu, penjajahan yang tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan harus dihapus.
Bermetamorfosis
Sesungguhnya syahwat kolonialisme kaum penjajah tidak akan pernah padam. Secara konsisten mereka tetap akan berusaha menguasai kekayaan sumber daya alam kita. Namun, mereka menyadari bahwa model penjajahan dengan kekuatan militer ala kolonialisme-imperialisme sudah usang, tidak efektif, dan secara politik-diplomatik terlalu berisiko.
Kini wajah penjajahan bermetamorfosis menjadi lebih canggih. Dengan cara halus melalui kekuatan finansial yang dioperasikan oleh perusahaan multinasional, mereka melakukan penjajahan ekonomi melalui penguasaan sumber daya alam kita.
Lewat cara ini asing telah menguasai permodalan: 70 persen tambang migas; 75 persen tambang batu bara, bauksit, nikel, dan timah; 100 persen tambang tembaga dan emas; serta 50 persen perkebunan sawit (Siswono Yudo Husodo, Kompas, 16/6). Artikel itu juga memaparkan agresivitas dan mengguritanya pelaku usaha asing sehingga menguasai bisnis pangan dari hulu sampai hilir.
Pada sisi lain, dengan teknologi informasi mereka berusaha mengubah dan menguasai persepsi anak-anak bangsa, terutama kaum elitenya, agar dapat menerima cara pandang mereka. Tanpa disadari, perubahan cara pandang serta sikap pragmatisme yang merasuki beberapa elite politik serta aktivis kita pada awal reformasi telah membiaskan jalannya reformasi. Terjadilah perubahan UUD serta berbagai regulasi yang menyesuaikan diri dengan kehendak dan kepentingan kaum kapitalis-kolonialis, termasuk UU Penanaman Modal Asing.
Model penjajahan baru atau neokolonialisme, istilah Bung Karno, itulah sebenarnya yang menjadi ancaman kontemporer bagi bangsa Indonesia sehingga kita terancam kebangkrutan. Model penjajahan dengan menggunakan perang ekonomi, perang informasi, dan perang persepsi—yang termasuk dalam perang generasi keempat—kini sedang terjadi. Kini hutan kita sudah musnah, beberapa jenis mineral juga di ambang kepunahan, tetapi tanpa kontribusi yang berarti terhadap upaya pencapaian tujuan nasional.
Benar bahwa modal asing sangat dibutuhkan dalam penyelenggaraan negara, khususnya dalam pengelolaan sumber daya alam yang kita miliki. Namun, legalisasi pemberian keleluasaan yang amat luas dalam jangka waktu yang amat panjang kepada asing untuk mengeksploitasi kekayaan alam kita bukan hanya suatu kekeliruan, lebih dari itu merupakan pengkhianatan besar terhadap bangsa-negara dan anak cucu kita.
Cara mengatasi
Neokolonialisme bukan satu-satunya ancaman terhadap kebangkrutan negara. Maraknya korupsi, mewabahnya sikap pragmatisme, dan feodalisme juga merupakan ancaman nyata yang sedang menghantui bangsa kita. Di samping itu, kebebasan yang nyaris tanpa batas akibat terlalu lebarnya keran demokrasi dibuka dan instan telah memberi akses yang lebar pula terhadap fundamentalisme, radikalisme, bahkan terorisme sehingga memperluas spektrum ancaman. Berbagai ancaman aktual itu telah menggusur Pancasila dengan semua nilai-nilai yang dikandungnya, seperti kebersamaan, kekeluargaan, gotong royong, musyawarah-mufakat, toleransi, dan sebagainya.
Dengan demikian, cara mengatasinya pun sungguh sangat berat. Tiada jalan lain kecuali dengan membenahi kembali sistem kenegaraan dan pemerintahan yang konsisten mengacu kepada Pancasila serta jiwa dan semangat Pembukaan UUD 1945. Dalam konteks ini, sangat benar kesimpulan lainnya dari pertemuan tokoh nasional di atas bahwa kini dibutuhkan pemimpin negara yang berkarakter, berani, tidak peragu, visioner, berkompetensi, dan mampu menjadi teladan.
KIKI SYAHNAKRI Ketua Dewan Pengkajian Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat
Sumber : KOMPAS