Demo Referendum Rakyat PB @Google |
PADA Sabtu 20 Agustus, Komite Nasional Papua Barat (KNPB) telah resmi mengumumkan hasil Konfrensi Tingkat Tingggi (KTT) International Lawyers for West Papua (ILWP) yang telah berlangsung di Universitas Oxford, Inggris, pada 02 Agustus lalu. Dalam seminar internasional itu, sekitar 250 undangan hadir dan ikut berikan dukungan. Mereka antara lain; pengacara-pengacara internasional, anggota International Parliamentarian for West Papua (IPWP), aktivis hak asasi manusia, wartawan, warga Papua Barat (baca: Papua dan Papua Barat) diluar negeri, dan (menurut keterangan Benny Wenda) Walikota Oxford ikut hadir dan membuka acara tersebut (Bintang Papua, 22 Agustus 2011).
Sebelumnya, menjelang akan diumumkannya hasil KTT ILWP, Pangdam XVII/Cenderawasih, Mayjend Erfi Triassunu dalam koran bintang Papua 20 Agustus menyatakan (1) hasil KTT ILWP di Oxford, Inggris tidak jelas, (2) hasil KTT ILWP yang tak kunjung diumumkan membuat tensi konflik di Papua Barat semakin meningkat (3) mengajak masyarakat Papua Barat untuk tidak terpengaruh pada hasil KTT tersebut. Saya kira komentar yang cukup menarik untuk dikritisi (baca: dibantah). Pertanyaannya, hasil apa yang menurut Pangdam tidak jelas? Apa hubungan KNPB dengan konflik di Papua Barat? Atau apakah Pangdam punya bukti keterlibatan KNPB dalam berbagai konflik di Papua Barat? Atau TNI punya kepentingan lain dibalik konflik-konflik di Papua Barat? Saya curiga konflik-konflik tersebut dipelihara, dan justru didalangi oleh militer.
Tulisan ini saya buat untuk menjawab komentar Pangdam yang penuh propoganda. Saya bisa katakan komentar tersebut menyesatkan, dan juga membuat rakyat Papua Barat semakin bingung. Selain itu, tulisan ini bermaksud menjelaskan hasil KTT secara rinci kepada rakyat Papua Barat, bahwa perjuangan kita masih belum selesai, dan kita harus terus berjuang sampai cita-cita luhur kita tercapai.
Sebelum detik-detik akan dibacakan hasil KTT ILWP, Pemimpin Kemerdekaan Bangsa Papua Barat di Inggris, Benny Wenda telah menjelaskan via phone kepada rakyat Papua Barat yang memadati lapangan Taman Makam pemimpin besar bangsa Papua Barat, Theys Hiyo Elluay, bahwa hasil KTT ILWP akan diumukan resmi melalui sebuah panggung politik, dan dihadiri rakyat Papua Barat. Artinya, setelah KTT ILWP, belum pernah ada yang mengumumkan hasil tersebut, termasuk kepada wartawan sekalipun. Saya mengajak kita untuk mengamati secara cermat Hasil KTTP ILWP tersebut, dan saya akan berusaha menjelaskan setiap bagian secara rinci.
Point pertama; kami telah mendengar sekarang atas situasi yang paling buruk dan serius di Papua Barat. Sejak 19 Desember 1961 –18 hari setelah deklarasi kemerdekaan Papua Barat dengan lagu hai tanahku Papua, burung mambruk sebagai lambang Negara, bintang kejora sebagai bendera Negara, Sorong sampai Samarai sebagai wilayah Negara Papua Barat, dan juga dibentuk pemerintahan oleh 70 orang terdidik Papua Barat yang disebut Komite Nasional Papua (KNP)–Indonesia telah masuk secara ilegal dengan tujuaan menggagalkan berdirinya Negara Papua Barat dan membunuh semua warga sipil di Papua Barat yang dianggap pro terhadap kemerdekaan, juga terhadap Belanda (Don Flassy, 2003).
Sudah banyak kejahatan kemanusiaan yang dilakukan militer Indonesia terhadap warga sipil sejak mereka menginjakan kaki di Bumi Cendrawasih. Wajah Indonesia dimata rakyat adalah pembunuh nyawa jutaan warga sipil tak berdosa. Kalau mau dihitung, sampai saat ini sudah hampir puluhan kali operasi militer diberlangsungkan –termasuk semenjak setelah reformasi, dan bahkan era Otonomi Khusus sekalipun– dengan sasaran warga sipil yang “dicurigai” sebagai anggota atau simpatisan Organisasi Papua Mereka (OPM) (Imparsial, 2011). Lembaga hak asasi manusia tingkat internasional seperti Amnesty International, Human Rights Watch (HRW) dan Tapol sering melansir kejahatan-kejahatan tersebut, dan meminta pertanggung jawaban pemerintah Indonesia.
Ada yang menyebut jumlah korban berkisar 1 juta, ada lagi yang menyebutkan 2 juta, bahkan ada juga yang menyatakan hanya berkisar 100.000 orang saja (Yakobus Dumupa, 2008). Terlepas dari berapa jumlahnya, tapi yang perlu kita tahu adalah militer Indonesia telah, dan memang pernah bahkan sedang melakukan kejahatan kemanusiaan di Papua Barat. Situasi memprihatinkan diatas, juga kejahatan kemanusia seperti inilah yang telah didengar oleh dunia internasional, terutama pasca konfrensi di Oxford, Inggris lalu. Artinya, masyarakat Internasional tentu akan memberikan dukungan setelah mendengar penderitaan dan situasi paling buruk yang terjadi di Papua Barat sejak Indonesia masuk secara ilegal. Indonesia tidak bisa menutupi kebobrokan mereka di mata masyarakat Internasional, terutama terkait kejahatan kemanusiaan.
Point Kedua; akar masalah Papua Barat terletak pada hak penentuan nasib sendiri (PEPERA 1969). Setelah Indonesia masuk secara illegal, dan membunuh jutaan warga sipil yang dianggap pro kemerdekaan, juga berhasil “mengusir” Belanda, Amerika Serikat melalui duta besar mereka di PBB, Elswort Bunker mengajukan satu proposal penyelesaian masalah Papua Barat (Jhon Saltford, 2006). Ini yang diterjemahkan dalam sebuah perjanjian yang disebut dengan “New York Agreement 1962”. Di dalamnya disepakati bahwa seluruh rakyat Papua Barat akan menentukan nasib mereka sendiri, apakah ingin ikut dengan Indonesia, atau merdeka sebagai sebuah bangsa.
Lagi-lagi Indonesia melalui kekuatan aparat militer melakukan pengkondisian wilayah Papua Barat, juga melakukan teror, intimidasi, dan bahkan membunuh siapapun warga Papua Barat yang inginkan kemerdekaan. Ada beberapa point yang dilanggar Indonesia, dan inipula yang menjadi akar konflik di Papua Barat. Pertama, aturan one man, one vote tidak dilaksanakan. Indonesia dengan segala “kelicikan” hanya memilih 1025 orang dari 800.000 jumlah penduduk Papua Barat, juga non-Papua untuk ikut dalam PEPERA (P.J Drooglever, 2005). Dan mereka dikarantina selama dua bulan. Mereka diancam dibunuh, termasuk keluarga mereka jika tak memilih ikut dengan Indonesia. Kedua; pada saat Indonesia mempersiapkan PEPERA, diplomat asing, wartawan, bahkan utusan khusus PBB dilarang masuk, dan bahkan kunjungan mereka dipersulit. Indonesia tentu tidak mau kedok mereka diketahui masyarakat Internasional. Ketiga; dalam PEPERA tersebut Indonesia telah melakukan pelanggaran HAM berat. Hasilnya memang Indonesia menang telak. Fokus persoalan ini juga yang menjadi sorotan saat konfrensi di Inggris. Dan saat ini masyarakat internasional telah tahu bahwa PEPERA adalah rekayasa, juga manipulasi pemerintah Indonesia untuk merebut tanah Papua Barat secara paksa.
Point Ketiga; oleh karena itu kami kembali mendeklarasikan pengacara internasional Papua Barat secara khusus bahwa orang Papua Barat memiliki hak mendasar untuk menentukan nasib sendiri dibawah hukum internasional dan bahwa hak ini masih ada dan belum dilakukan. Pengacara-pengacara internasional untuk Papua Barat yang tergabung dalam ILWP diketuai Melinda Janki, dengan salah satu anggota Jennifer Robinson –pengacara utama Julian Assanges, pendiri situs Wikileaks– adalah untuk menggugat Negara Indonesia secara hukum terkait masalah PEPERA 1969 yang memang penuh rekayasa dan manipulasi.
Konfrensi yang berlangsung pada 02 Agustus lalu juga telah memperlihatkan semangat, juga tekad mereka dalam membantu penyelesaian masalah Papua Barat secara hukum ditingkat mahkamah internasional. ILWP tidak akan menggugat Indonesia di PBB, tetapi Negara Vanuatu yang akan menjadi semacam kendaraan untuk ILWP bernaung, dan menggugat pemerintah Indonesia. Dalam aturan, memang sebuah lembaga atau organisasi tak bisa menggugat Negara. Komentar beberapa pengamat hukum internasional di Indonesia yang menyatakan ILWP atau OPM tak bisa gugat Indonesia di mahkamah internasional memang benar, tetapi sekali lagi saya ingin jelaskan, Negara Vanuatu yang akan mengajukan gugatan terhadap Indonesia ke Mahkamah Internasional.
Yang menjadi cita-cita dan tujuan utama perjuangan rakyat Papua Barat adalah menyatakan kepada dunia internasional, termasuk Indonesia bahwa rakyat Papua Barat memunyai hak untuk menentukan nasib sendiri seperti yang tertera dalam Pasal 1 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, juga Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang berbunyi “Semua bangsa mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut mereka dapat secara bebas menentukan status politik mereka dan secara bebas mengejar kemajuan ekonomi, social, dan budaya mereka”. Indonesia adalah salah satu anggota PBB, dan harus mematuhi ketetapan yang dibuat oleh PBB. Dalam konfrensi di Oxford, Inggris, hak rakyat Papua Barat untuk menentukan nasib sendiri tentu menjadi bahan pembicaraan yang cukup serius.
Point keempat; kami menyerukan kepada semua Negara untuk bertindak pada tingkatan yang lebih tinggi dan mendesak kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan menuntut agar orang-orang Papua Barat diberikan kesempatan yang benar untuk menentukan nasib sendiri. Setelah konfrensi di Oxford, Inggris, pada 02 Agustus lalu, tentu perhatian dunia internasional terhadap Papua Barat akan berbeda. Papua Barat akan dianggap sebagai wilayah koloni (jajahan) Negara Indonesia yang tentu harus diberikan dukungan agar dapat melepaskan diri. Jika Indonesia beranggapan Papua Barat bukan daerah koloni, kenapa sampai saat ini tidak ada kemajuan yang signifikan di tanah Papua Barat? Kenapa hak-hak hidup orang asli Papua tidak diperhatikan secara sungguh-sungguh? Kenapa masih banyak operasi militer yang dilakukan untuk membunuh setiap warga sipil di Papua Barat. Saya kira pertanyaan-pertanyaan yang tak mungkin bisa dijawab pemerintah Indonesia.
Melihat keempat point KTT ILWP diatas, tentu telah sedikit memberikan harapan kepada rakyat Papua Barat, bahwa perjuangan kita selama ini tidak sia-sia. Bukan berarti, setelah KTT ILWP, masalah Papua Barat akan terselesaikan dengan secepatnya. Rakyat Papua Barat bersama media nasional saat ini (baca: KNPB) perlu bekerja lebih keras, juga meyakinkan dunia internasional tentang penderitaan rakyat Papua Barat. Dan terus menyatakan kepada pemerintah Indonesia, bahwa Papua Barat bukan bagian dari NKRI. Dengan catatan singkat ini saya berharap Pangdam XVII/Cenderawasih bisa mendapatkan gambaran pasti, bahwa hasil KTT ILWP telah memberikan hasil yang pasti bagi kemajuan perjuangan rakyat Papua Barat.
Pemerintah Indonesia harus mengakui, bahwa sudah tidak mampu, tidak bisa, dan bahkan telah gagal total membangun Papua Barat. Kenapa harus gagal, karena pemerintah Indonesia membangun Papua Barat lebih menggunakan pendekatan keamanan (baca: moncong senjata) dari pada membangun SDM. Mengutip pernyataan Ali Murtopo, orang kepercayaan Suharto saat Papua Barat akan dipaksa berintegrasi “Jika orang Papua Barat mau merdeka, pergi saja ke bulan dan buat Negara disana. Atau mengemis ke Amerika Serikat agar orang Papua Barat dipindahkan ke pulau Hawai. Kami (Indonesia) hanya butuh tanah dan sumber daya alam kalian. Kami sama sekali tidak butuh manusianya” (Socrates Sofyan Yoman, 2007). Pernyataan Ali Murtopo ini memperlihatkan betapa kejam dan jahatanya pemerintah Indonesia terhadap warga Papua Barat, pemilik negeri cendrawasih yang telah dikaruniakan Tuhan. Untuk rakyat Papua Barat, kita harus tetap dan terus berjuang. Kita harus mengakhiri!!!
Tulisan ini telah dimuat di Koran Harian Bintang Papua, 26 Agustus 2011