Kantor Majelis Rakyat Papua. @Doc Google |
PADA tanggal 12 April 2011, pukul 10.30 WIT, bertempat di Aula Sasana Krida, Kantor Gubernur Papua, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi telah melantik 73 anggota Majelis Rakyat Papua (MRP), baik yang berasal dari Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat.
Pelantikan di hari itu berjalan dengan lancar. Tampak hadir Gubernur Provinsi Papua Barnabas Suebu, Gubernur Provinsi Papua Barat Abraham Octovianus Ataruri, serta beberapa Bupati asal Papua maupun Papua Barat.
Hanya dua orang anggota terpilih yang tak dilantik –Agus Alue Alue dari unsur Agama, dan Hana Hikoyabi dari unsur Perempuan. Agus Alua yang pada periode 2005-2010 menjabat ketua MRP tak dilantik karena tiga hari sebelum upacara pelantikan, ia lebih dulu meninggal dunia, tapi sebelumnya juga sudah ada kabar dari Jakarta bahwa ia tidak akan dilantik karena dinilai bermasalah.
Lain halnya dengan Hana Hikoyabi, yang pada periode sebelumnya telah menjabat sebagai Wakil Ketua II MRP. Ia tidak dilantik karena Mendagri dalam surat tertulis menyatakan bahwa Hana Hikoyabi tidak setia terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, ia juga dicurigai melakukan tindakan makar yang mengancam keutuhaan Negara Indonesia.(Media Indonesia, 9 Mei 2011)
Berikutnya, dua minggu setelah pelantikan seluruh anggota MRP, rapat pleno pemilihan struktur pimpinan MRP digelar. Dari setiap unsur, baik Adat, Agama dan Perempuan mengajukan dua nama calon untuk dipilih menjadi Ketua, Wakil Ketua I dan Wakil Ketua II. Enam orang dari Provinsi Papua Barat, dan enam orang dari Provinsi Papua.
Dari 12 calon nama tersebut, melalui voting, Dorkas Dwaramuri dari unsur Perempuan, yang juga dari wilayah pemilihan Papua Barat terpilih menjadi Ketua dengan mengantongi 48 suara, disusul Pdt. Herman Saud dari unsur Agama menjadi Wakil Ketua I dengan mengantongi 29 suara, dan disusul Timotius Murib dari unsur Adat menjadi Wakil Ketua II dengan mengantongi 28 suara.
Setelah semua proses dalam pembentukan MRP –pemilihan anggota, struktur pimpinan, juga pembentukan kelompok kerja (Pokja)– telah dilakukan, maka lembaga MRP siap bekerja sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 54 tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua (MRP).
Beberapa Anggota MRP asal Papua Barat “Ngambek”
Tapi yang membuat kaget seluruh masyarakat Papua, satu bulan setelah pelantikan unsur pimpinan, dan dua bulan setelah pelantikan seluruh anggota MRP, beberapa anggota asal Provinsi Papua Barat, yang juga telah ikut dilantik memilih membentuk sendiri Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat, yang berkedudukan di Ibukota Provinsi Papua Barat, Manokwari.
Dari 33 anggota MRP asal Papua Barat itu, hanya enam anggota yang memilih tetap bertahan di Papua, dan tetap berada di bawah payung MRP, salah satunya Ketua MRP terpilih Dorkas Dwaramuri.
Dari pertemuaan ke pertemuan terus dilakukan di Manokwari, Papua Barat. Juga menggelar pertemuaan baik secara tertutup, maupun terbuka dengan Gubernur Abraham O Ataruri. Akhirnya terpilih Vitalis Yumte dari unsur Agama menjadi Ketua Definitf dengan 22 suara, Anike T.H Sabami dari unsur Perempuan sebagai Wakil Ketua I dengan jumlah 21 suara, dan Zainal Abidin Bay dari unsur Adat menjadi Wakil Ketua II dengan jumlah 20 suara.
Pada tanggal 15 Juni 2011, pukul 10.00 WIT, bertempat di Ruang Rapat Kantor Gubernur Papua Barat, acara pelantikan dilangsungkan. Mereka dilantik untuk yang kedua kalinya oleh Gubernur Provinsi Papua Barat, Abraham O Ataruri mewakili Mendagri Gamawan Fauzi.
Saat dilangsungkan acara pelantikan tersebut, hanya 17 anggota MRP terpilih asal Papua Barat yang hadir dari jumlah keseluruhaan 33 orang anggota, artinya 16 orang anggota MRP terpilih tak hadir dalam acara pelantikan tersebut.
Ketidakhadiran mereka dengan alasan bahwa pada keputusan rapat pleno MRP pada tanggal 27 Mei lalu di Jayapura, Papua, telah ditetapkan dan disepakai oleh 73 anggota MRP asal Papua juga Papua Barat, bahwa hanya ada satu MRP, satu tata tertib, tiga ketua terpilih dan dua sekertariat masing-masing di Papua dan Papua Barat.
Ketua MRP terpilih, Dorkas Dwaramuri yang juga berasal dari Papua Barat mengatakan bahwa Pelantikan MRP Papua Barat oleh Gubernur Papua Barat, Abraham O Ataruri dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Pasalnya, pelantikan itu hanya didasarkan pada surat keputusan Menteri yang kedudukannya jauh lebih rendah dari sebuah Undang-Undang.
“Adanya perpecahan MRP menjadi dua, bukan kemauan baik semua anggota, tetapi hanya ambisi pribadi dari ketiga anggota yang kini menjadi pimpinan MRP Papua Barat. Mereka harus ingat, MRP bukan perorangan, tetapi MRP ada karena kepentingan seluruh rakyat Papua,” katanya kepada wartawan beberapa saat lalu di Jayapura.
Komentar terkait penolakan pembentukan MRP Papua Barat juga datang dari tokoh masyarakat adat di tanah Papua, kali ini melalui Sekertaris Umum Dewan Adat Papua (DAP) Wilayah III Manokwari, Zeth Rumbobiar.
Ia menyatakan MRP merupakan lembaga representatif kultural orang asli Papua, karena itu orang asli Papua yang berhak menentukan, juga meminta pembentukan MRP di Papua Barat. Jika orang asli Papua tak menghendaki, tentu tak bisa kita paksakan. Ia menilai jika tetap dipaksakan, maka tentu dapat menimbulkan konflik internal antara orang Papua sendiri, karena telah jelas-jelas bertentangan dengan amanat UU Otsus.
“Jangan ada kepentingan lain di MRP, selain kepentingan rakyat adat Papua. Jadi, sebelum membentuk MRP Papua Barat, sebaiknya tanyakan apakah rakyat setuju atau tidak," kata Zeth seperti di kutip Koran Kompas di Jakarta.
MRP Dipolitisir Bram-Katjong Untuk Pilkada
Cikal bakal pembentukan MRP Papua Barat bermula ketika tiga orang anggota MRP terpilih asal Papua Barat –Vitalis Yumte. Anike T.H Sabami dan Zainal Abidin Bay– menghadap Gubernur Provinsi Papua Barat, Abraham O Ataruri di Manokwari pada awal Juni lalu.
Dalam pertemuan itu berlangsung pembicaraan mengenai rencana pembentukan MRP Papua Barat yang akan berkedudukan di Manokwari. Padalah, mereka telah bersepakat di Jayapura untuk hanya memiliki satu anggota MRP, tapi dua sekertariat. Berikutnya, beberapa anggota MRP asal Papua Barat yang masih di Jayapura juga menyusul ke Manokwari dan bergabung dengan tiga anggota yang telah lebih dulu datang.
Saat yang bersamaan ketika MRP Papua dibentuk di Papua, tahap pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Papua Barat sedang berlangsung. Salah satu ketentuan utama yang ada dalam amanat UU Otsus, juga merupakan tugas utama MRP menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 54 tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua (MRP) dalam pasal ke-36 adalah memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap pasangan bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang diusulkan oleh DPRP, diimana mereka adalah harus orang asli Papua.
Jimmy D Ijie, anggota DPR Papua Barat mengatakan, keputusan membentuk MRP Papua Barat tidak tepat. Dia melihat adanya kesan anggota MRP dari wilayah Papua Barat tidak independen, dan mendapat intervensi pihak legislatif. Campur tangan itu terkait dengan upaya memuluskan jalan salah satu kandidat, terkait persyaratan pasangan calon.
Salah satu kandidat yang dimaksud oleh Jimmy D Ijie adalah pasangan Abraham O Ataruri-Rahimin Katjong. Sesuai ketentuan UU Otsus, juga PP No. 54/2004 calon wakil gubernur, Katjong tidak berhak menyalonkan diri karena beliau bukan orang asli Papua seperti ketentuan dalam UU Otsus.
Artinya, jika MRP Papua yang memberikan pertimbangan dan persetujuan pada keempat bakal calon dalam Pilkada Papua Barat, tentu Bram -Katjong tak akan lolos verifikasi, juga bisa terancam tak bias diikutkan dalam pemilihan Kepala Daerah di Provinsi Papua Barat.
Caranya agar Bram-Katjong bisa ikut dalam Pilkada Papua Barat, juga lolos dalam tahapan pertimbangan dan persetujuan MRP, maka Abraham Ataruri dengan segala “kekuasaan” mendesak anggota MRP asal Papua Barat, dan memerintahkan membentuk MRP baru di Papua Barat, yang tujuannya agar dapat meloloskan dia dalam bursa pemilihan kepala daerah nanti.
Usaha pasangan Bram-Katjong terbukti berhasil. Pada tanggal 17 Juni 2011, pukul 10.00 WIT, dua hari setelah acara pelantikan, pimpinan MRP Papua Barat akhirnya merestui empat pasang bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang diusulkan KPUD Papua Barat untuk maju dan mengikuti pemilihan kepala daerah 20 Juli 2011 mendatang, termasuk Bram-Katjong yang dinilai bermasalah oleh masyarakat Papua.
Keluarnya rekomendasi MRP tersebut tergolong sangat singkat, yakni hanya sehari setelah KPUD menyerahkan nama-nama bakal calon yang maju pada pemilu kada tersebut. Padahal, berdasarkan tata tertib yang dibuat MRP sendiri, proses penentuan keaslian orang Papua bagi calon kepala daerah dilakukan selama seminggu.
Beberapa kesalahan yang dilakukan oleh MRP Papua Barat semakin memperlihatkan bahwa pembentukan MRP di Papua Barat adalah untuk kepentingan Bram-Katjong dalam Pilkada Papua Barat. Padahal kita tahu, bahwa MRP dibentuka untuk memperjuangkan kepentingan orang asli Papua, bukan segelintir orang.
MRP Papua Barat Ilegal
Banyak pihak menyatakan pembentukan MRP Papua Barat adalah illegal. Ia tak punya dasar hukum yang jelas, karena dalam Undang-Undang Otsus, pada pasal ke 19 menjelaskan bahwa Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat hanya memiliki satu MRP, dan berkedudukan di Ibukota Provinsi Papua.
Gubernur Provinsi Papua, Dr. Barnabas Suebu, SH mengatakan jika sampai Mendagri kemudian melantik MRP Papua Barat, maka itu bukan menyangkut masalah Menteri Dalam Negeri, tetapi ini menyangkut masalah keutuhan bangsa dan negara Indonesia.
Kalau MRP mau jadi dua, 73 anggota MRP yang dilantik harus kembali menanyakan kepada konstituennya, apakah itu yang rakyat Papua kehendaki? Karena mereka adalah wakil yang mewakili kepentingan seluruh rakyat Papua.
“Ini kembali kepada rasa tanggung jawab dari semua anggota MRP terhadap masa depan dan kelanjutan hidup, keutuhan dari penduduk asli Papua, dari keturunan kepada keturunan berikutnya,"tegas Suebu seperti dikutip Koran Cenderwasih Pos di Jayapura.
MRP Papua Barat juga dinyatakan illegal karena dilihat dari banyak aspek, terutama tuntutan orang asli Papua yang ada di Provinsi Papua Barat. Apakah mereke menghendaki dibentuknya MRP baru, jika tidak, tentu pemerintah pusat, juga pemerintah Provinsi tak bisa memaksakan kehendaknya.
Ferdinanda Ibo Yatipai, selaku Ketua Solidaritas Perempuan Papua dan juga mantan anggota DPD RI, mengatakan, rakyat memberi mosi tidak percaya kepada 33 anggota MRP yang dipilih dari wilayah Papua Barat. Upaya anggota MRP membentuk MRP Papua Barat adalah tindakan yang tidak tepat dan tidak jelas tujuannya, sebab dasar pembentukan MRP adalah kesatuan kultur, sehingga tak bisa dibagi-bagi atas dasar wilayah.
Dia mengingatkan, MRP seharusnya memberi perlindungan dan keberpihakan kepada orang asli Papua. Dan seharusnya mereka membentuk sekretariat di tiap daerah, bukan malah membentuk MRP baru. Jika sampai terbentuk, itu berarti MRP illegal.
Kepentingan segelintir kelompok –Mendagri, Gubernur Provinsi Papua Barat, ketiga Pimpinan terpilih –telah mengorbankan seluruh rakyat Papua. Mulai dari kerja-kerja MRP terpilih yang tidak berjalan optimal, hingga menghabiskan waktu untuk berdebat apakah MRP Papua Barat illegal atau tidak. Ini merupakan trik yang dipakai pemerintah pusat untuk buat situasi di tanah Papua tak kondusif.
Politik devide et impera di Papua
Melalui pembentukan MRP Papua Barat, beberapa elit birokrasi bersama pemerintah pusat sedang melakukan poltik devide et impera –politik mengaduh domba orang asli Papua– di Papua maupun Papua Barat. Tujuaannya, agar pemerintah pusat dengan mudah dapat menguasai tanah Papua, juga melihat konflik terus tumbuh.
Poltik devide et impera merupakan sebuah cara yang dipakai oleh kolonial Hindia Belanda saat hampir tiga setengah abad lamanya menjajah masyarakat Indonesia. Cara ini dipakai agar tak ada persatuan antara masyarakat lokal Indonesia, juga pejabat Indonesia pada masa itu. Belanda takut, jika ada persatuaan dari masyarakat bersama para pejabat Indonesia, tentu mereka akan bangkit dan melakukan perlawanan.
Cara yang dipakai Hindia Belanda untuk masyarakat Indonesia pada zaman tersebut, itu pula yang sedang dipakai pemerintah pusat di tanah Papua. Mereka berkompromi dengan beberapa pejabat lokal di tanah Papua yang punya jabatan, kedudukan bahkan uang, dan mereka bersama-sama melakukan penjajahan, juga membuat struktur, tatanan sosial, dan kehidupan orang asli Papua berantakan.
Jika kita mengamati, dengan pembentukan MRP Papua Barat ini, pemerintah pusat justru menciptakan konflik internal antar orang Papua sendiri. Dampaknya tentu berbahaya bagi kehidupan orang asli Papua. Dan kadang pemerintah pusat datang layaknya “malaikat” yang akan menyelesaikan segala masalah di Papua, padahal mereka adalah aktor di balik masalah tersebut.
Jika orang Papua telah menganggap pembentukan, juga kehadiran MRP Papua Barat adalah ilegal, maka pemerintah pusat harus segera membubarkan lembaga ini. MRP merupakan lembaga kultral orang asli Papua yang di dalamnya terdapat perwakilan Adat, Perempuan juga Agama, bukan lembaga politik, apalagi digunakan untuk menjawab kepentingan Bram-Katjong.
Lembaga ini dibentuk untuk menegakan harkat, martabat, juga identitas kepapuaan di tanah air Papua, bukan lembaga “murahan” yang dengan mudah diipakai siapa saja untuk membuat kehancuran hidup masyarakat asli Papua.
Bubarkan MRP Papua Barat
Sesuai tuntutan orang asli Papua, maka embirio MRP Papua Barat yang telah dibentuk oleh Mendagri, Gubernur Provinsi Papua, dan ketiga pimpinan terpilih harus segera dibubarkan. Jika tidak, maka dampaknya akan berbahaya bagi keberlangsungan hidup orang asli Papua, bahkan keutuhan Negara Indonesia sendiri seperti yang disampaikan Gubernur Papua.
Ketua DPR Provinsi Papua Drs John Ibo MM beberapa waktu lalu menyatakan bahwa DPRP merencanakan akan membahasnya dengan MRP yang sah guna membubarkan MRP Papua Barat. Selanjutnya, DPR segera melakukan paripurna-paripurna istimewa guna memutuskan pembubaran DPRP.
Dia juga mengatakan, pihaknya akan meminta agenda-agenda sidang DPRP sementara ditunda guna membahas tentang pertimbangan membubarkan MRP, serta segera membuka sidang Non APBD untuk memberikan kesempatan kepada Fraksi- Fraksi DPRP guna memberikan pertimbangan pembubaran MRP.
Pemerintah pusat, juga Mendagri yang membuat keputusan secara sepihak perlu ketahui, bahwa dari segi filosofi orang asli Papua, di mana sudah jelas tertuang dalam Undang-Undang Otsus No. 21 tahun 2001, bahwa MRP dibentuk sebagai lembaga kultur masyarakat asli Papua dalam hal ini pembetukan MRP bukan berdasarkan wilayah administrasi, namun lebih sebagai lembaga adat yang satu di Tanah Papua yang dulu disebut Irian Jaya.
Artinya, walau pemerintah pusat dengan semaunya membagi banyak Provinsi di tanah Papua, tapi perlu diketahui, bahwa MRP adalah tetap satu. Ia bertujuan mengakomodir semua kepentingan, tuntutan, juga harapan seantoro masyarakat asli Papua, yang berasal dari Rumpun Melanesia.
Akhir tulisan ini mengutip satu pepatah lama, “lebih baik mencegah, dari pada mengobati”. Artinya, semua belum terlambat. Masyarakat Papua tetap menanti tindakan tegas dari Pemerintah Pusat, minimal membuarkan MRP Papua Barat sesuai tuntutan seluruh masyarakat Papua saat ini. (OKTOVIANUS POGAU)