Untuk Segera Diterbitkan
Negara Indonesia bertanggung jawab atas penembakan warga sipil yang terjadi Baliem, Kabupaten Wamena, Provinsi Papua pada tanggal 4 Oktober 2010, pukul 08.00 Wit. Dan termasuk segala pelanggaran berat HAM yang sudah sering terjadi tanah Papua sejak Papua di integrasikan pada tanggal 1 Mei 1963.
Insiden penembakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian (KP3 Bandar Udara Wamena) merupakaan bukti nyata negara tidak bisa melindungi dan mengayomi masyarakat Papua. Bahkan kami bisa mengatakan, Negara tidak ingin hidup berdampingan secara damai dan aman dengan masyarakat Papua.
Insiden ini menewaskan satu orang warga sipil dan beberapa lagi mengalami luka-luka berat. Mereka adalah anggota PETAPA di Wamena. Ini merupakaan tindakan tidak terpuji, sekaligus merupakaan murni tindakan kejahataan manusia (pelanggaran berat HAM) yang di lakukan aparat Militer Indonesia.
Sebelum terjadi penembakan di Wamena, beberapa waktu lalu juga terjadi penembakan oleh anggota Brimob Detasemen C Manokwari di Provinsi Papua Barat terhadap warga sipil setempat. Peristiwa ini menyebabkan dua warga sipil tewas, dan satu mengalami luka-luka berat. Aparat Militer di tanah Papua memang sangat jahat dan kejam.
Insiden penembakan di Wamena bermula dari penyitaan topi PETAPA (penjaga tanah adat Papua), dan sejumlah uang Rp 40.000.000, yang berujung pada korban nyawa manusia yang tak berdosa. Berawal dari adu mulut antara masyarakat dan aparat kepolisiaan, dan pengejaran oleh polisi, dan akhirnya terjadi penembakan tersebut.
Hal ini di lakukan tanpa tembakan peringataan, maupun berusaha menggunakan cara-cara damai. Dalam peristiwa ini Ismail Lokobal (34) meninggal seketika, karena tiga peluru bersarang di dadanya. Kemudian Amos Wetipo (42) tertembak di kepala, Frans Lokobal (36) tertembak di bagiaan pinggang. Tragedi ini berlangsung pukul 08.00 Wit.
Seharusnya pemerintah Indonesia melalui aparat Militer melindungi, mengayomi, dan menjaga masyarakat di tanah Papua, bukan justru membunuh mereka dengan tindakan-tindakan yang tidak manusiawi. Jika Negara tidak punya niat baik untuk membangun dan menjaga masyarakat Papua, sudah tentu dampaknya akan berbahaya bagi keutuhaan Negara kesatuan republic Indonesia.
Kami minta, lembaga Hak Asasi Manusia (HAM) yang berdomisil di dunia Internasional seperti; Amensty International maupun Human Rights Watch (HRW) perlu melakukan investigasi menyeluruh terkait pelanggaran berat HAM yang di lakukan oleh Negara terhadap masyarakat adat di tanah Papua. Negara Indonesia harus membuka diri dari intervensi lembaga-lembaga hak asasi manusia internasional.
Kita mengiginkan Papua menjadi tanah damai, tetapi jika Negara melalui aparat kepolisian melakukan tindakan terpuji yang dapat menimbulkan konflik, kami kira percuma kita degungkan jargon Papua tanah damai. Kedamaiaan hanya akan terwujud, jika Negara sadar dan mengakui masyarakat adat di tanah Papua punya hak untuk hidup dan berkembang.
Jakarta, 7 Oktober 2010
Kordinator Umum
Vincentsius Lokobal