Bukan

OCTHO- Tentunya tidak ada manusia di dunia ini yang menginginkan datangnya sakit penyakit. Sebuah peristiwa dimana kita memandang hidup tak akan berarti lagi. Semua orang benci pada peristiwa ini. Termasuk saya sendiri.

Tapi fakta harus berkata lain. Ia menganjurkan saya untuk cinta pada penyakit, dan sayang pada obat-obatan untuk mengatasi sakit tersebut.

Saya masih ingat, tanggal 06 Juni 2010, pukul 12.00 Wib lembaran baru itu harus di buka. Dokter di RS Soetomo, Surabaya memvonis saya mengidap sebuah penyakit. Vonis ini seakan-akan mengatakan bahwa dunia ini tidak selamanya putih.

Tak perlu saya menuliskan apa penyakit tersebut. Cukup hanya “beberapa” saja yang tahu. Saya tak ingin memberatkan orang lain. Dan karena itu saya tak ingin mereka tahu, termasuk kau. Kalian tidak boleh berpikir tentang saya. Pikirkan hal yang bisa kaliaan pikirkan.

Menurut saya, ini sebuah pukulan berat yang harus di tanggung. Sempat bertanya pada dunia, “Kenapa sakit ini datang ketika saya jauh dari mereka semua.”

Sampai saat ini tak ada jawabannya. Kalaupun ada, penjelasaannya tak pernah saya pahami. Intinya, mengisyaraktkan bahwa kau harus menanggung sendiri hingga tuntas penyakit tersebut.

Siapa yang mau di salahkan dengan penyakit ini. TUHAN? Diri sendiri? Orang tua? Atau justru perjuangan pembebasaan. Tak mau menyalahkan siapapun. Saya juga tak mau salahkan takdir.

Kenyataan yang telah terjadi itu harus di hadapi. Menyesalkan yang telah terjadi memang pantas. Sangat pantas. Menyesali adalah bagiaan terkecil dari pertobataan manusia, termasuk saya sendiri.

Bagiaan dari sebuah penyesalaan juga telah saya jalani. Menangis, marah pada sakit penyakit, marah pada siapa saja yang membuat kecewa. Semua itu telah di lalui. Saya lalui semua itu dengan baik dan bahkan juga tidak baik.

Hari ini adalah hari Rabu tanggal 27 Oktober 2010. Saya juga bingung, kenapa di hari ini saya ingat untuk menuliskan hal ini.

Sudah hampir empat bulan juga saya bertahan untuk minum obat. Banyak suka dan duka yang di hadapi. Semua itu di jalani dengan penuh tawa dan canda. Semua itu membuat saya semakin dewasa. Saya dewasa dalam berpikir, bertindak serta menentukan pilihaan.

Saya akan tetap bertahan. Menghabiskan sisa hidup ini. Karena hidup ini hanya ada dua pilihaan, “pergi” cepat atau “pergi” lambat. Keduanya sama saja, tergantung kapan waktu kau yang tepat. Supaya kepergiaan kau berarti, buatlah hal-hal yang dapat bermanfaat bagi orang lain.

Sampai kapan? Sampai kau merasa bahwa kau telah menjadi orang yang berguna dan berarti bagi orang lain. Lakukanlah kerja-kerja itu. Menulis ketika ada yang harus di tuliskan, dan bukan untuk di kasihani. Sekali lagi bukan.

*Menuliskan ketika harus di tuliskan.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »