'Tulisan pendek ini menanggapi apa yang dikerjakan oleh Jakarta dan Elit Politik Papua dan Papua Barat, dalam urusan Freeport dan Otonomi Khusus (otsus) di Gedung-Gedung bertingkat, tanpa melibatkan rakyat West Papua, juga mendengarkan aspirasi dan tuntutan politik—yang berhubungan langsung dengan hak-hak hidup rakyat West Papua dibawa kekuasaan Rezim Indonesia. Bukan lagi rahasia bahwa, setelah Freeport McMooran dan Indonesia berdebat; dan menyepakati status serta perpanjang kebeadaan Freeport, para elit Politik Papua juga akan/sedamg membicarakan status Otsus di perpanjang atau tidak. Kabarnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) sebagai pengundang mengajak wakil-wakil Rakyat West Papua itu akan berunding dan menyepakati status otsus selanjutnya setelah tiba masa akhir di tahun 2021. Pertanyaan mendasarnya, apakah perwakilan orang-orang papua yang diundang oleh Mendagri itu merepresentasi orang Papua? Lalu, berdasarkan Historis, apa aspirasi, kemauan politik rakyat Papua hari ini? evaluasinya, Freeport dan Otsus bermanfaat bagi kelangsungan hidup ssiapa?'
Realita sejarah menjelaskan keberadaan Freeport Indonesia, perusahan tambang raksasa milik Amerika Serikat, dan pemberian otonomi khusus oleh Pemerintahan Republik Indonesia (selanjutnya baca: Indonesia) untuk West Papua (selanjutnya baca: WP) tidak menjamin hak hidup manusia Papua. Mengapa? Realita keberadaan sosial rakyat WP diberhadapkan dengan situasi darurat Hak Asasi Manusia Papua. Sehingga tuntutan perjuangan pokok Rakyat WP dan jaminan kondisi objektif hari ini adalah bukan Otsus atau, Freeport, bukan juga pembangunan jalan dan aspal. Mengapa? Akar ersoalan WP adalah sejarah masa lalu. Sehingga, bagi rakyat WP, aneksasi WP kedalam Indonesia adalah problem serius yang harus di perhatikan secara ‘benar’.
Pelaksanaan Pendapatan Penentuan Suara Rakyat atau disebut Pepera (1969) dimenangkan oleh ABRI dengan segalah upaya untuk, pertama, meng-legalkan pendudukan Freeport (1967)—dua tahun sebelum pepera dilaksanakan—secara legal di WP; kedua, legitimasi ekspansi Indonesia di muka Hukum Internasional. Pelaksanaan Pepera, bagi Indonesia, proses yang sangat penting dalam skala akses kepentingan ekonomi-politik AS-Indonesia di WP. Sehingga, berbagai penelitian menyatakan pepera dilaksanakan dibawa tekanan militer, memperoleh suara manipulatif, dan mekanisme pelaksanaannya cacat secara hokum internasional.
Pendeknya, kemenangan Indonesia (ABRI) atas pelaksanaan dan hasil pemungutan suara pepera 1969 tentunya, pertama, bermanfaat untuk status Freeport yang illegal menjadi legal. Kedua, legalitas di muka Internasional ihwal pendudukan Indonesia di WP. Rakyat WP tak dapat berbuat apa-apa dibawa tekanan militer. Kemudian cara Indonesia ‘mengindonesiakan’ rakyat West Papua dengan cara militeristik; dan pendekatan sosial masyarakat adat (rakyat WP) dengan, tulis Andre Barahamin di Indoprogress (26/2 2017), Barbarisme .
Sejak saat itu stigma separatisme menjadi alat langgengi penjajahan West Papua. Dalam catatan The Diplomat, beberapa tahun setelah referendum, kurang lebih 30.000 rakyat West Papua yang dinilai memprotes integrasi Papua Barat ke NKRI dibunuh oleh militer Indonesia . Human Right Watch mencatat, hingga 2006 telah lebih dari 500.000 warga Papua yang direnggut nyawanya secara sistematis, dan ribuan lain mengalami diskriminasi rasial, penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, pemenjaraan, dan pemerkosaan .
Orientasi perlakuan ketidak-manusiawi oleh apparatus Negara (TNI/Polri) terhadap rakyat WP, tentu saja untuk menjaga stabilitas dan keutuhan kekuasan menindas berkedok ‘NKRI Harga mati’ di atas tanah Papua. Produk hokum Indonesia dan jajaran Pemerintahan di wilayah WP, serta TNI/Polri adalah cerminan wajah Indonesia di West Papua.
Sehingga segalah aspirasi dan perjuangan pembebasan dari penindasan dan perjuangan merebut nilai hidup sebagaimana manusia-makluk sosial di dunia, Indonesia terus melabeli separatisme. Separatisme menjadi dalih penggunaan kekuatan militer dengan sewenenag-wenangnya un tuk langgengi kekuasaannya agar Produk Program Jakarta serta akumulasi kapital AS dan kapitalis-birokrat—sementara rakyat WP memrotes aneksasi yang cacat hokum; penuh terror dan intimidasi, dan memperoleh suara manipulatif. Kapan rakyat WP memilih integrasi ke Indonesia secara sehat hokum dan secara bebas dan mengedepankan demokratisme serta dasar-dasar HAM? Jangankan nasionalisme anti kolonialisme Belanda, sejarah melawan konial saja tak pernah ada cerita Indonesia dan rakyat WP membangun kontak politik melawan Belanda.
***
Program Otonomi Khusus (otsus)—Selain Program UP4B—adalah program rakitan Jakarta: Bukan kehendak rakyat West Papua. Lahirnya Undang-Undang RI No. 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi orang West Papua ditengah rakyat West Papua sedang meminta hak Penentuan Nasibnya sendiri, atau Papua merdeka. Lahirnya kebijakan ini pun diikuti dengan penculikan dan pembunuhan pemimpin Gerakan Pembebasan Bangsa West Papua, Ketua Presidium Dewan Papua, Theys H. Heluay oleh Kopassus pada 2001. Kebijakan Otsus juga melegalkan posisi perpanjangan Kontrak Karya Freeport pada 1991, dan akses kepentingan Indonesia dan AS tetap jalan. Sehing Jakarta menganganalogikan imbalan kasih-sayang kepada Rakyat West Papua. Otsus menjadi dalih “baku tipu” antara elit lokal Papua dan Indonesia yang, tentunya, bermanfaat untuk capital Amerika di Wes Papua. Apa yang rakyat dapatkan?
Realitasnya, program Otsus pemberian Jakarta untuk Papua memang gagal dalam eksistensinya. Sebab otsus dirakit oleh Jakarta dan bermanfaat untuk kekuasaan AS dan Indonesia di Papua. Kini, kabarnya Otsus dan KK Freeport akan berkhir di tahun 2021. PP Nomor 1 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batu Bara menjadi perdebatan antara Indonesia dan Freeport McMooran, AS. Permintaan Disvestasi 51% saham dan status Freeport dari Kontrak Karya menjadi Isin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) menjadi tawaran Jakarta bagi Amerika. Kabarnya, Freeport telah menyepakati 51% tersebut tanpa menyebutkan berapa besaran nilainya oleh Jakarta kepada publik. Para pejabat Jakarta dan elit politik Papua sibuk bagi-membagi porsinya. Dengan bangganya, Gubernur Papua, Lukas Enembe menandatangai 10% untuk pemerintahan atasnama Kesejahteraan Rakyat dan memperbaiki kehidupan rakyat WP.
Kabarnya, mengikuti perpanjangan massa eksploitasi Gunung Nemangkawi—entah itu jatuh di tangan Indonesia, atau masih dikuasai AS, atau RI-AS saling membahu—Elit Politik Papua dari dua provinsi di Papua: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Majelis rakyat Papua (MRP), dan jajaran pemerintahan Papua; dan Mentri Dalam Negeri (mendagri) sebagai pengundang merencanakan pertemuan di kota Mendan dalam bulan kemaring, Juli. untuk mendiskusikan Otsus dilanjutkan atau tidak. Mereka yang lebih dari 100 orang itu mewakili Rakyat Papua, dan berhak penuh atas akan memutuskan status Otsus kedepan. Apakah itu tak jauh dari wajah Pepera 1969, yang nyatanya bermanfaat untuk kekuasaan Indonesia dan Amerika di West Papua? Aspirasi rakyat Papua hari ini, khususnya aplikasi otsus apakah ada wajahnya ditengah rakyat Papua? Kalau otsus itu adalah menyangkut hubungan Jakarta-AS dan orang Papua, kenapa tidak melibatkan orang West Papua untuk menentukan statusnya sesuai realita yang mereka hadapi?
Jakarta dan elit politik Papua, dalam hal ini, tidak melibatkan rakyat Papua dalam diskusi perpanjangan status keberadaan Freeport di bumi Nemangkawi, dan status Otsus. Rakyat menjadi objek yang terus ditipu, dibodohi, dan objek penindasan di West Papua. Tidak kah hal ini mengulangi pertamakali proses pendudukan Freeport (1967) dan Pepera 1969 yang diwakili oleh 1.025 orang itu?
Rezim berkuasa tak pernah akan bertanya, atau mendiskusikan apa kebutuhan pokok bangsa West Papua hari ini. Memang wajar. Tanpa mendengarkan apa aspirasi bangsa West Papua hari ini semaunya mereka berdebat memutuskan kebijakan serta kesepakatan-kesepakatannya tanpa melibatkan rakyat WP sebagai pemilik gunung Emas itu, juga sebagai golongan yang sedang menderita, mati akibat kekuasaan yang berorientasi modal dan egois itu.
Kesimpulannya, status perpanjangan Freeport McMoran sedang berdiskusi dan berunding antara Jakarta dan AS. Orang West Papua jadi penontong di atas derita yang tiada akhir. Kini berkabar antara elit politik Papua-Indonesia sedang akan memutuskan status Otsus di perpanjang atau tidak tanpa melibatkan rakyat West Papua. Lebih dari 100 orang itu akan memutuskan statusnya dari kota Medan, bukan dari Papua. Apa nasib rakyat West Papua kedepan dibawah tangan Rezim yang menindas ini?
Realita sosial dalam sejarah dibawa kekuasaan Indonesia, tidak ada namanya keadilan, kesejahteraan, kemajuan tenaga produktif manusia, dan kesetaraan. Separatis, bodok, terbelakang, konsumtif, dan label lainnya untuk WP hanya dalih pembenaran kekuasaan: Produk hukum dan regulasi atas kepentingannya. Sehingga Indonesia dengan semaunya menganggap persoalan Politik dan kemanusian West Papua adalah Persoalan demestik atau urusan rumah tangga RI.
***
Realita sosial dalama sejarah dibawa kekuasaan Indonesia, tidak ada namanya keadilan, kesejahteraan, kemajuan tenaga produktif manusia, dan kesetaraan. Separatisme, Bodok, terbelakang, konsumtif, dan label lainnya untuk West Papua hanya dalih pembenaran kekuasaan: Produk hukum dan regulasi atas kepentingannya.
Sebab sejarah perjuangan Rakyat West Papua mengungkapkan adanya realita sistim yang menindas, yakni Negara Republik Indonesia—setelah Kolonial Belanda. Kesejahteraan dan keadilan bagi Rakyat West Papua tak bisa dipastikan dari pembangunan jalan dan infrastruktur kota. Sebab regulasi semacam itu tentu akan memberikan manfaat bagi akses akumulasi modal kapitalis. Sejarah perjuangan rakyat West Papua juga merupakan reaksi terhadap kondisi objektif yang sangat krusial, bahkan menuju pada kesengsaraan dan kepunahan manusia west Papua. Perjuangan rakyat West Papua juga adalah upaya mencari/menciptakan kondisi objektif yang baru, yang bebas dari sistim yang menindas beserta ganasnya pengerukan Sumber Daya Alam Papua.
Maka sepanjang Indonesia masih berkuasa di West Papua, sepanjang Freeport masih mengisap bumi West Papua, realita kebeadaan sosial rakyat Papua hari ini adalah bayang-bayang kehidupan anak cucu bangsa West Papua yang tak punya “…rumah bagi rohnya dan jiwanya” (Orasi Politik Alm. Musa Mako Tabuni, 2012). Sehingga keinginan dan tuntutan pokok rakyat West Papua hari ini bebas dari sisitim yang menindas, menemukan/menciptakan kondisi objektf yang baru dengan mengatakan TIDAK! Kepada Rezim Indonesia, serta mengusir jepitan corong kekayam alam yang ada di kandungan alam West Papua.
***
Perjuangan rakyat West Papua bukan sekeder “baku tipu” dengan Jakarta, seperti melegitimasi ‘Papua Merdeka’ untuk kepentingan elit politik Papua dan Jakarta menganalogikan soluasinya dengan perspektif pembangunan infrastruktur dan penambahan militer. Kendati dana otsus dan data tambahan lainnya digiurkan ke West Papua, bukan itu kemauan Politik rakyat West Papua.
Ribuan rakyat mati dalam medan perjuangan, mati ditangan militer. Ribuan rakyat mau masuk penjarah diatas penuhnya tempat di penjara hanya untuk menuntuk hak hidup bangsa west Papua untuk menentukan nasibnya sendiri. Tentara pembebasan nasional yang berhadap-hadapan dengan moncong senjatah; Gerakan Rakyat yang dipelopori oleh Pumuda dan Mahasiswa Papua turun ke jalan dengan beralaskan aspal; Perjuangan galang dukungan yang digencarkan Pelopor Gerakan Pembebasan nasional West Papua diluar negeri. Tiada hentinya rezim menjajah West Papua, perjuangan Rakyat West Papua menuntut Hak Penentuan Nasib Sendiri—yang pun tak pernah mampu dihentikan oleh Rezim—bukan perpanjangan Otsus, atau kebijakan Jakarta untuk Papua yang lainnya. Hanya pembebasan nasional yang dampat menjamin penentuan hak hidup atas kehendak Bangsa West Papua.
Jakarta, 26 Juli 2018
Anggota Aliansi Mahasiswa Papua
1 Comments:
CommentsKeren.
ReplySaya juga menulis tentang papua pas hut RI ke 74 barusan. Seberapa Indonesia Kita?. Makasih 🙏🙏