Saksi Sekaligus Korban Pelecehan Saat Pembubaran Diskusi, Tapi Malah disangka Hoax

Sebelumnya saya ucapkan terimakasih sebesar-besarnya terhadap pesan-pesan solidaritas oleh warga Surabaya, maupun warga dari kota-kota lain yang jumlahnya tidak terhingga. Mulai dari pengecaman pembubaran diskusi, ucapan belasungkawa hingga menawarkan bantuan apa yang bisa diberikan. Sejauh ini cukup dengan menyebarkan rilis resmi dari YLBHI sudah sangat membantu sekali.

Banyaknya pesan yang saya terima dari warga Surabaya membuat saya salut sekaligus mematahkan persepsi saya yang sempat pesimis terhadap bangunan narasi pendatang versus penduduk asli yang mulai dimunculkan ke permukaan. Terus terang saya khawatir jika warga Surabaya menerima mentah-mentah isu murahan yang sengaja dibuat untuk menimbulkan konflik horizontal.

Saya berkata demikian bukan tanpa alasan, karena pada pembubaran diskusi di Asrama Papua Surabaya pada tanggal 1 Juli 2018 juga disertai oleh keterlibatan ormas. Saya sendiri sebagai perempuan yang sejak kecil dibesarkan di kota ini merasa asing dan tidak pernah mendengar nama ormas tersebut. Beberapa jam sebelum diskusi dilaksanakan, ormas itu mengirim surat melalui ojek online yang isinya adalah ketidaksetujuan terhadap diskusi yang akan dilaksanakan kawan-kawan. Surat itu juga mengatasnamakan pemuda Surabaya. Sampai detik ini kami tidak tahu batang hidung orang-orang yang bertanda tangan dalam surat itu.

Masih menyoal narasi pendatang versus penduduk asli, sebelumnya saya sempat memposting screenshot kolom komentar AMP yang isinya membuat perut saya mual. Banyak komentar rasis yang ditulis oleh warga Malang. Mulai dari sebutan monyet, negro, NIGGER, hingga mengatakan bahwa masyarakat Papua cuma menumpang di Jawa dan menyuruh mereka untuk 'kembali ke hutan'. Bukankah pernyataan-pernyataan demikian semakin menguatkan bahwa Papua bukan bagian dari Indonesia? Bahwa masyarakat Papua hanyalah 'numpang', padahal begitu banyak penduduk dari Jawa yang juga bekerja di Papua dan diperlakukan baik di sana. Jadi apakah kita hanya ingin mengeruk sumber daya alam mereka kemudian memperlakukan masyarakatnya seperti binatang? Apa bedanya kita dengan bangsa kolonial yang dulu menjajah Indonesia?

Semalam saya menyaksikan sendiri, bagaimana narasi us vs them ini digunakan untuk mengintimidasi mahasiswa Papua. Mereka diteriaki sebagai pendatang oleh aparat yang memblokade pintu masuk asrama. Tidak cukup sampai di sana, aparat juga menuduh motor milik teman saya sebagai motor curian. Luar biasa kan stigma yang mereka bangun?

Dalam kasus pembubaran diskusi di Malang, kawan-kawan mahasiswa Papua juga dituduh sebagai pembawa onar, pemabuk, main perempuan dan seterusnya. Framing seperti ini tentu tidak lepas dari rasisme. Bagaimana bisa orang Jawa yang setiap hari juga mabuk, main perempuan, dugem, memperkosa dan lain-lain kelakuannya tidak pernah dikaitkan dengan dari suku mana dia berasal. Saya yakin netizen dapat memahami di mana letak cacat logikanya.

Stigma yang seperti ini sungguh berbahaya jika sebagai masyarakat kita mudah terjebak dan larut di dalamnya. Bukan cuma aparat yang nanti dimanfaatkan oleh negara untuk membredel diskusi-diskusi, tapi juga kita yang sama-sama berasal dari kelas pekerja, dirugikan oleh sistem yang sama, saling menginjak satu sama lain. Apakah ini potret kebhinekaan yang katanya dijunjung tinggi oleh Indonesia?

Jika tidak ingin mahasiswa kerjanya cuma nongkrong dan mabuk-mabukan, kenapa diskusi kami kalian bredel? Kami hanya membawa buku dan alat tulis mengapa kalian lawan kami dengan senjata laras panjang? Kami hanya ingin diskusi dengan tenang tapi kalian intimidasi, kalian pukuli, kalian seret-seret. Pantas budaya intelektual kaum muda semakin hilang. Negara ini takut dengan orang-orang pintar.

Ruang diskusi selalu terbuka, masyarakat SELALU DITERIMA dalam ruang-ruang diskusi. Jika ada ketidaksepakatan utarakan dalam forum. Karena kami pun juga saling beradu argumen dalam forum. Apa begitu susah memahami logika yang sangat sederhana ini? Menyebarkan isu yang tidak-tidak, memecah belah rakyat dan membawa aparat lengkap bersenjata untuk membubarkan diskusi mahasiswa saya rasa hanyalah tindakan pengecut oleh orang-orang yang tidak punya kapasitas dalam berpikir.

Tindakan represif yang kalian lakukan jangan sampai mengatasnamakan keresahan warga Surabaya. Warga Surabaya mana yang kalian maksudkan? Begitu banyak penduduk di Surabaya dari berbagai macam suku dan ras. Saya harap rakyat tidak mau diadu domba dengan sesama rakyat. Rakyat kuat karena saling bergandengan erat, bukan dengan mendorong aparat untuk mempopor senjata di hadapan sesama rakyat. Karena niscaya moncong senjata itu suatu hari akan berbalik ke arah anda.

Ketidaksepakatan boleh-boleh saja, mengidolakan figur pemimpin tertentu juga tidak ada yang melarang. Yang berbahaya adalah jika menjadi fanatisme buta sehingga mematikan keran kritik yang ada. Tidak kritis terhadap pemimpin malah sesama rakyat saling menyerang padahal sama-sama lapar.

Apalagi membenarkan pelecehan seksual yang dilakukan oleh 'oknum' aparat kepolisian. Ketika payudara saya disentuh kemudian ketika saya berteriak dan marah ibu-ibu dari kecamatan dan aparat perempuan justru melindungi pelaku pelecehan dengan berteriak bahwa tidak ada yang melecehkan saya. Hal ini menjadi jelas bagi kita bahwa sesama perempuan pun bukan berarti juga melindungi kaum perempuan. Sama seperti dalam kasus penggusuran di Keputih, ibu-ibu dan anak-anak diseret keluar dari rumahnya yang dihancurkan. Begitu indah dongeng representasi perempuan sehingga kita lupa bahwa perempuan yang diberi kekuasaan juga belum tentu berpihak pada rakyat dan bisa menjadi penindas bagi sesamanya.

Akhir kata, di tengah maraknya isu-isu konflik horizontal, pencabutan subsidi dan berkurangnya tanggung jawab negara terhadap rakyat, pendidikan yang semakin mahal, pembredelan diskusi, penindasan perempuan semakin meningkat, pembangunan infrastruktur yang semakin masif dan menyebabkan penggusuran kaum miskin kota di mana-mana, meminggirkan masyarakat adat sekaligus merampas lahan-lahan petani di desa, rakyat harus bisa memetakan mana kawan dan mana lawan. Jangan-jangan apa yang dialami rakyat seperti yang saya tuliskan di atas suatu hari akan disebut sebagai hoax saja, sama seperti Humas Polrestabes Surabaya (melalui akun instagram mereka) mengatakan kejadian pembredelan semalam hanyalah hoax semata.

Anindya Joediono 

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »