Ini Tuntutan Aksi Mahasiswa Papua Di Yogyakarta

Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk Papua Barat (FRI-WP) menggelar aksi damai di Yogyakarta pada 23/7/2018. Mereka menuntut diterbitkannya tindakan represif yang dilakukan oleh TNI dan Polri terhadap masyarakat sipil di Nduga.
Mereka juga mengungkapkan TPN-PB (Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat) dan juga yang memberikan pendidikan masyarakat sipil Ndugama, dengan alasan membela Pilkada 2018 yang berkedok kentingan pemodal bahkan individu tertentu.

Peristiwa ini terjadi dari tanggal 22, 25, dan 27 Juni 2018 dan berlaku untuk tindakan represif yang terjadi pada kode etik militer Indonesia yaitu memungkinkan tidak berlaku untuk masyarakat Nduga.

Kata kunci yang membuat orang yang tidak bebas terhadap masyarakat dan orang-orang yang diserang di bagian kaki oleh pihak militer dan melakukan penyisiran tentang Bandara Udara pada tanggal 27 Juni 2018. Selama penyisiran yang dilakukan oleh TNI / Polri di Kabupaten Ndugama membuat kegiatan masyarakat tidak terjadi semestinya .

Massa menyebutkan, data pihak kepolisian (Kapolda) Papua sejak 22 Juni 2018 hingga sebanyak 30 anggota Brimob dan 150 orang di tempatkan di kenyam pada 25 Juni 2018, 700 personil dari Polda Papua dan 3000 personil untuk mengamankan Pilkada 2018 dan pada 17 Januari 2018, Polisi Jendral Tito Karnavian mengatakan bahwa 14 ribu personil akan ke Papua, termasuk 2.800 dari TNI, Linmas 4000 personel, dari jumlah personil dikirim ke Nduga, jumlah statistik masyarakat Nduga saat ini.

Pada tanggal 4 Juli 2018, antara militer Indonesia dan TPN-PB saling kontak senjata di kampung Alguru, Nduga. Militer Indonesia penyerangan melalui udara dengan doa dan mortir di kampung Algurual tanggal 11 Juli 2018 pada pukul 11.01 WIT. Ketika bom mortir dijatuhkan oleh TNI / Polri dari helikopter di kampung Alguru ada sebanyak 50 kepala keluarga mengungsi dan menyelamatkan diri ke hutan.

Penyuiran, kontak senjata, dan peledak, bom mortir menciptakan ketidaknyamanan, ketakutan terhadap rakyat Nduga mengingat tragedi yang memungkinan militer yang pernah terjadi di Papua dan khususnya Ndugama 1996 atau yang dikenal dengan memutar Mapenduma. Kejadian ini menciptakan seluruh masyarakat yang membuat Nduga mengungsi ke hutan, daerah lain seperti Agast, Timika, Wamena, Yahukimo, dan Merauke mulai 27 Juni hingga 20 Juli 2018 dan terus berlangsung hingga saat ini.

Operasi Mapenduma yang dilakukan oleh TNI/Polri pada tahun 1996 dengan serangan dari udara menggunakan helikopter dari udara maupun serangan dari darat. Akibat serangan ini 35 orang ditembak mati, 14 perempuan diperkosa, 13 gereja dan 166 rumah dibakar. Peristiwa penyerangan Mapenduma mengakibatkan 123 masyarakat Nduga meninggal dunia karena sakit dan kelaparan di hutan bahkan diburu oleh Kopassus dibawah pimpinan komando operasi Prabowo Subianto sebagai komandan Kopassus pada masa itu.

Dalam sejarah Papua tercatat bahwa sejak 1 Mei 1963 dimana wilayah administrasi atas West Papua dialihkan kepada Indonesia oleh UNTEA untuk melaksanakan PEPERA, dan untuk berupaya memenangkan PEPERA pada 1969, sebelum PEPERA dilakukan adanya penandatanganan kontrak karya pertama PT. Freeport sejak 1967 yang ilegal. Sehingga itulah, Indonesia telah mulai melakukan pelanggaran-pelanggaran atas hak-hak asasi rakyat Papua: hak hidup, hak berkumpul dan berserikat, hak menyampaikan pendapat di muka umum, hak bangsa Papua, dan hak-hak lainnya sebagaimana diatur dalam Konvenan Internasional tentang hak sipil politik, Konvenan Internasional tentang hak ekonomi sosial budaya dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Kapolda Papua dan pemerintah Papua, sengaja sedang diam di depan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh bawahannya, bahkan menyetujui bersama pemerintah Indonesia menambahkan personil militer dan melakukan represif terhadap masyarakat Nduga tanpa memperhatikan hukum dan kode etik perang militer yang berlaku di negara Indonesia maupun hukum internasional. Dan bahkan membangkitkan perasaan traumatis dan emosionalitas kepada masyarakat Nduga, dan militer dengan kemauannya menyerang rakyat dengan bom mortir, senjata api, penyisiran dengan peralatan militer lengkap, serta operasi-operasi khusus oleh militer.
Peristiwa terkait situasi yang terjadi di Nduga tidak ada sepihak apa pun yang mengambil tindakan untuk menuntaskan kasus yang terjadi antara pihak militer Indonesia dan TPN-PB, menyikapi semua fenomena pelanggaran HAM dan penderitaan rakyat Nduga dan rakyat Papua pada umumnya. Saat ini aparat keamanan TNI-Polri menduduki secara paksa di kampung Alguru. Hingga kini aktifitas rakyat sipil berupa roda perekonomian, pekerjaan, perkantoran, pendidikan dapat lumpuh secara total.

Maka kami dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) menuntut:

(1) Tarik militer organik maupun non organik dari Nduga dan seluruh tanah West Papua

(2) Buka akses jurnalis lokal maupun asing untuk meliput di West Papua

(3) Menuntut Komnas HAM agar segera menyelesaikan kasus represif militer di Nduga, serta seluruh pelanggaran HAM yang pernah terjadi di tanah West Papua

(4) Hak menentukan nasib sendiri adalah solusi terbaik untuk bangsa West Papua

***

Sumber: https://oasepapua.id/ini-tuntutan-aksi-mahasiswa-papua-di-yogyakarta-seram/

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »