Ilustrasi: Sebuah gereja di Papua. (Foto: worldwatchmonitor.org) |
JENEWA, – Sejumlah gereja mengharapkan Indonesia membuka akses ke Papua bagi sejumlah pihak antara lain jurnalis internasional, peneliti independen, organisasi hak asasi manusia (HAM), dan sejumlah pihak lain.
Harapan tersebut tercermin dalam konsultasi nasional yang diselenggarakan World Council of Churches (WCC) atau Dewan Gereja Dunia dan International Coalition on Papua atau Koalisi Internasional untuk Papua yang berlangsung di Ecumenical Centre, Jenewa, hari Rabu (22/2) dan diberitakan kembali oikoumene.org, pada hari Selasa (28/2).
Direktur Komisi WCC dari Gereja Urusan Internasional (UCLA), Peter Prove, mengutip pernyataan Sekjen WCC, Olav Fykse Tveit, yang mengunjungi Papua pada tahun 2012, mengatakan bahwa ia setuju dengan pernyataan Tveit setelah mengunjungi Papua saat itu.
“Kami mendukung perjuangan hak asasi manusia rakyat Papua. Kami mendesak diakhirinya kekerasan yang terus berlangsung,” kata Prove menirukan pernyataan Tveit.
“Kami mendukung panggilan keadilan sosial dan ekonomi melalui dialog dan proses politik yang konkret dan berupaya mengatasi akar penyebab masalah ini,” kata Tveit.
Pertemuan tersebut juga dihadiri koalisi masyarakat sipil, pemerhati hak asasi manusia yang menjelaskan saat ini terjadi pelecehan terhadap hak asasi manusia di ujung timur Indonesia tersebut.
Sejumlah peserta perundingan tersebut berpartisipasi di pertemuan ke-34 Human Rights Council yang berlangsung mulai dari Senin (27/2) sampai dengan Jumat (24/3), dan dalam rangka penyusunan Universal Periodic Review (UPR) di Indonesia.
Koalisi Penegakan Sipil Hak Asasi Manusia Papua, Victor Mambor, dan sejumlah organisasi yang menegakkan hak asasi manusia di Papua sering memberi sejumlah rekomendasi bagi Indonesia.
Rekomendasi tersebut, antara lain menuntut akses terbuka ke Papua untuk wartawan internasional dan kelompok-kelompok hak asasi manusia yang mereka sebut memastikan bahwa pelaku polisi dan militer yang bertanggung jawab untuk pelanggaran hak asasi manusia masa lalu di Papua.
Pdt Dr Jochen Motte, dari United Evangelical Mission di Wuppertal, Jerman, mengatakan pada tahun 2005 bersama dengan WCC dan Faith Based Network mampu menerbitkan studi tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya di Papua.
Sekretaris jenderal Pacific Conference of Churches yang berkantor di Fiji, Francois Pihaate, mengatakan gereja-gereja di wilayah tersebut sangat prihatin tentang kekerasan di Papua.
“Bagaimana kita sebagai gereja bisa tahu tentang apa yang terjadi di luar dunia kita sendiri? Itulah mengapa gereja harus dilibatkan,” kata Pihaate.
Anggota misi Indonesia untuk PBB di Jenewa, Denny Abdi, mengatakan – dengan mengacu kepada keterangan anggota Komite Nasional Papua Bersatu, Victor Yeimo – dalam sengketa yang sering terjadi, setidaknya 4.996 orang ditangkap.
Yeimo mengatakan dia telah meminta Presiden Joko Widodo untuk memungkinkan jurnalis internasional memiliki akses ke Papua, namun belum dipatuhi.
“Tidak ada kepercayaan antara rakyat Papua dan pemerintah di Jakarta sehingga tidak mungkin untuk berbicara dari hati ke hati tentang apa yang terjadi,” kata Yeimo.
“Kita harus bicara, karena suara gereja adalah suara kenabian yang menembus batas-batas perdamaian,” kata dia.
Editor : Sotyati
Sumber: SATUHARAPAN.COM
Harapan tersebut tercermin dalam konsultasi nasional yang diselenggarakan World Council of Churches (WCC) atau Dewan Gereja Dunia dan International Coalition on Papua atau Koalisi Internasional untuk Papua yang berlangsung di Ecumenical Centre, Jenewa, hari Rabu (22/2) dan diberitakan kembali oikoumene.org, pada hari Selasa (28/2).
Direktur Komisi WCC dari Gereja Urusan Internasional (UCLA), Peter Prove, mengutip pernyataan Sekjen WCC, Olav Fykse Tveit, yang mengunjungi Papua pada tahun 2012, mengatakan bahwa ia setuju dengan pernyataan Tveit setelah mengunjungi Papua saat itu.
“Kami mendukung perjuangan hak asasi manusia rakyat Papua. Kami mendesak diakhirinya kekerasan yang terus berlangsung,” kata Prove menirukan pernyataan Tveit.
“Kami mendukung panggilan keadilan sosial dan ekonomi melalui dialog dan proses politik yang konkret dan berupaya mengatasi akar penyebab masalah ini,” kata Tveit.
Pertemuan tersebut juga dihadiri koalisi masyarakat sipil, pemerhati hak asasi manusia yang menjelaskan saat ini terjadi pelecehan terhadap hak asasi manusia di ujung timur Indonesia tersebut.
Sejumlah peserta perundingan tersebut berpartisipasi di pertemuan ke-34 Human Rights Council yang berlangsung mulai dari Senin (27/2) sampai dengan Jumat (24/3), dan dalam rangka penyusunan Universal Periodic Review (UPR) di Indonesia.
Koalisi Penegakan Sipil Hak Asasi Manusia Papua, Victor Mambor, dan sejumlah organisasi yang menegakkan hak asasi manusia di Papua sering memberi sejumlah rekomendasi bagi Indonesia.
Rekomendasi tersebut, antara lain menuntut akses terbuka ke Papua untuk wartawan internasional dan kelompok-kelompok hak asasi manusia yang mereka sebut memastikan bahwa pelaku polisi dan militer yang bertanggung jawab untuk pelanggaran hak asasi manusia masa lalu di Papua.
Pdt Dr Jochen Motte, dari United Evangelical Mission di Wuppertal, Jerman, mengatakan pada tahun 2005 bersama dengan WCC dan Faith Based Network mampu menerbitkan studi tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya di Papua.
Sekretaris jenderal Pacific Conference of Churches yang berkantor di Fiji, Francois Pihaate, mengatakan gereja-gereja di wilayah tersebut sangat prihatin tentang kekerasan di Papua.
“Bagaimana kita sebagai gereja bisa tahu tentang apa yang terjadi di luar dunia kita sendiri? Itulah mengapa gereja harus dilibatkan,” kata Pihaate.
Anggota misi Indonesia untuk PBB di Jenewa, Denny Abdi, mengatakan – dengan mengacu kepada keterangan anggota Komite Nasional Papua Bersatu, Victor Yeimo – dalam sengketa yang sering terjadi, setidaknya 4.996 orang ditangkap.
Yeimo mengatakan dia telah meminta Presiden Joko Widodo untuk memungkinkan jurnalis internasional memiliki akses ke Papua, namun belum dipatuhi.
“Tidak ada kepercayaan antara rakyat Papua dan pemerintah di Jakarta sehingga tidak mungkin untuk berbicara dari hati ke hati tentang apa yang terjadi,” kata Yeimo.
“Kita harus bicara, karena suara gereja adalah suara kenabian yang menembus batas-batas perdamaian,” kata dia.
Editor : Sotyati
Sumber: SATUHARAPAN.COM