Dewan Adat Meepago Papua Ajukan Solusi Atasi Kisruh Freeport

Ketua Dewan Adat Wilayah Meepago, Oktoviauns Pekei (Foto: Ist)
JAKARTA,  – Dewan Adat Wilayah Meepago, Papua, meminta Pemerintah Indonesia membangun komunikasi level bawah dengan mengajak berunding pemilik ulayat tanah di Papua. Ini diperlukan sebagai langkah mencari solusi atas sengketa pemerintah dengan Freeport McMoran terkait tambang tembaga emas Grasberg yang dijalankan oleh PT Freeport Indonesia di Papua.

Ketua Dewan Adat Wilayah Meepago, Oktovianus Pekei, dalam siaran persnya yang diterima satuharapan.com, mengatakan semua pihak tidak bisa melakukan negosiasi jika tidak melibatkan masyarakat setempat. Sebab, mereka merupakan salah satu pemangku kepentingan (stakeholder) yang semestinya diajak berunding terlebih dahulu.

“Jika tidak demikian, maka komunikasi apapun di level atas, baik negosiasi maupun arbitrase, yang dibicarakan hanyalah sebuah konspirasi kepentingan para elit. Masyarakat pemilik tanah tetap ditempatkan pada posisi korban yang tidak jauh berbeda dengan Kontrak Karya pertama tahun 1967, akibat negara dan perusahan masih mengklaim tanah rakyat,” demikian pernyataan Oktovianus.

Sejauh ini, Oktovianus menilai baik pemerintah maupun Freeport masih berada pada posisi dan kepentingannya masing-masing. Pemerintah Indonesia berdiri pada aturan yang dikeluarkan yang harus ditaati oleh semua perusahan tambang termasuk PT Freeport, sedangkan  pihak Freeport berada pada kewajiban-kewajiban yang selama ini dijalankannya serta Peraturan Pemerintah tentang IUPK yang dinilai akan merugikan pihaknya.

Akibat kedua belah pihak berdiri pada posisi dan kepentingannya tersebut, kata dia, konflik antara kedua belah pihak masih belum selesai hingga saat ini.

“Masing-masing pihak memiliki alternatif yang berbeda-beda. Pemerintah Indonesia menawarkan Negosiasi Berbasis Kepentingan (NBK) sebagai alternatif penyelesaian konflik tambang tersebut. Sementara itu, PT Freeport berkehendak konflik tersebut harus diselesaikan melalui Arbitrase Internasional sebagai alternatif yang tepat," kata Oktovianus.

“Sangat disayangkan bahwa kedua belah pihak tidak pernah melibatkan pemilik ulayat tanah sebagai salah satu aktor legal. Sejak Kontrak Karya (KK) Pertama Tahun 1967 hingga perdebatan soal Peraturan Pemerintah (PP) Tahun 2017 ini, pemilik ulayat tanah tidak dilibatkan."

Menurut dia, selama ini Pemerintah Propinsi Papua dan Pemerintah Daerah Kabupaten Mimika berupaya memposisikan diri sebagai perwakilan daerah. “Namun, mereka pun tidak pernah bernegosiasi dengan pihak pemilik ulayat tanah untuk menjaring aspirasi mereka. Akhirnya, dalam sengketa tersebut terkesan komunikasi yang terbangun ialah “komunikasi level atas” tanpa memikirkan komunikasi level bawah yakni masyarakat pemilik tanah sekalipun sebagai aktor legal sekaligus subyek hukum.

Ia menegaskan sampai sekarang pihaknya melihat status perusahan Freeport bagi masyarakat setempat ialah ilegal karena memang diawali tanpa negosiasi dengan masyarakat setempat selaku pemilik tanah.

“Apakah hal ini harus berlanjut hingga sekarang? Tentu tidak. Oleh karena itu, kami Dewan Adat Wilayah Meepago mengajak para pihak untuk mengadakan negosiasi tiga pihak, yakni Pemerintah, Perusahan dan Pemilik Tanah. Dalam hal ini, kiranya perlu kami tegaskan bahwa Pemerintah Propinsi Papua dan Pemerintah Daerah Mimika ialah lembaga pemerintah yang merupakan stakeholder pemerintah yang tidak terkait dengan Pihak Masyarakat Setempat selaku Pemilik Tanah.”

Tujuh Wilayah Adat

Sebagai catatan, di Papua ada tujuh Wilayah Adat.
Pertama, Wilayah Adat Mampa meliputi Papua Timur Laut atau di wilayah sekitar Jayapura. Ke dalamnya antara lain  Port Numbay, Sentani, Sarmi, Memberamo Raya dan Keroom. Wilayah adat Mamta merupakan wilayah adat terbesar dengan 87 suku.

Kedua, Wialayah Adat   Saereri yang terletak di sekitar Teluk Cenderawasih, meliputi Biak Numfor, Supiori, Yapen, Waropen dan Nabire bagian pantai.

Ketiga adalah Wilayah Adat Domberai, terletak di Papua Barat Laut sekitar Sorong Manokwari. Wilayah ini meliputi Manokwari, Bintuni, Wondama, Sorong, Raja Ampat, Sorong Selatan dan Tambrauw.
Keempat, Wilayah Adat Bomberai terletak di Papua Barat yakni Fakfak Mimika dan sekitarnya, meliputi Fakfak, Kaimana, Mimika Pantai.

Kelima, Wilayah Adat Ha Anim, terletak di Papua Selatan yakni Merauke dan sekitarnya, meliputi Merauke, Boven Digul, Mappi dan Asmat.

Keenam, Wilayah Adat La Pago terletak di Pegunungan Papua Tengah Bagian Timur, meliputi. Pegunungan Bintang, Wamena, Lani Jaya, Puncak Jaya, Puncak, Nduga, Yahukimo, Yalimo, Mamberamo Tengah dan Tolikara.

Ketujuh adalah Wilayah Adat Meepago terletak di Pegunungan Papua Bagian Tengah, meliputi Intan Jaya, Paniai, Deiyai, Dogiyai, Nabire Gunung dan Mimika Gunung.

Editor : Eben E. Siadari
Sumber:  SATUHARAPAN.COM

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »