Sayangnya, tekad tersebut tak dibarengi dengan langkah-langkah kongkrit untuk segera menyelesaikannya hingga tuntas. Malahan, di tahun 2010 yang baru saja kita lewati, pelanggaran HAM di Papua terus terjadi, dan meningkat secara singnifikan.
Berbagai kasus pelanggaran HAM tersebut dilakukan oleh aparat Militer Indonesia–Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI)—yang seharusnya memberi rasa aman bagi warga masyarakatnya.
Ini menunjukan “ketidakmampuan” seorang SBY dan Negara melindungi masyarakatnya di tanah Papua. Bukan tidak mungkin, ini akan memicu bangkitnya gerakan “separatis” di Papua yang tentu akan berdampak besar bagi keutuhaan negara republik Indonesia.
Pelanggaran HAM
Saat ini negara lebih memilih menggunakan cara-cara kekerasaan–Operasi Militer–untuk menyelesaikan konflik Papua. Dengan menempuh jalan kekerasaan, tentu ini akan menimbulkan banyak pelanggaran HAM yang juga akan memberikan citra buruk Indonesia di mata dunia internasional.
Beberapa contoh yang dapat ditemui di tahun 2010 kemarin; misalkan, muncul video kekerasan dalam pelaksanaan patroli pada 16 Maret 2010. Dalam video tersebut diperlihatkan bagaimana puluhan warga Papua di tendang dengan sepatu laras. Punggung mereka terus dipukuli. Bahkan ada yang menggunakan helm tempur untuk memukul kepala korban.
Berikutnya, peristiwa pembunuhan Kinderman Gire, seorang Pendeta Gereja GIDI Toragi, di Distrik Tinggi Nambut pada tanggal 17 Maret 2010 yang di duga dilakukan oleh aparat Militer Indonesia.
Mereka curigai Kinderman sebagai anggota “separatis”, padahal ia hanya seorang pendeta biasa. Ia dibawa dan disiksa hingga mukanya bengkak dan menghitam. Sekitar dua minggu kemudian, warga menemukan kepala pendeta Kinderman tersangkut di pinggir sungai Tinggin, Yamo, Gurage.
Berikutnya lagi, kasus kekerasan warga sipil saat diinterogasi yang terekam dan sempat beredar di situs Youtube pada 30 Mei 2010. Di dalam video tersebut, terlihat dua orang warga bernama Anggen Pugu Kiwo dan Telangga Gire diinterogasi mengenai keberadaan senjata dan pimpinan Operasi Papua Merdeka (OPM). Interogasi ini disertai tindak kekerasan yang tak manusiawi.
Keduanya diikat dan ditempatkan terpisah. Korban ini diinjak, dipukul, dan sempat diancam akan ditembak. Bahkan salah satu korban disulut dengan bara kayu yang masih berasap di alat kelaminnya. Selama 48 jam keduanya mengalami penyiksaan yang hebat. (The Jakarta Globe, 22 November 2010)
Tiga contoh kasus diatas menunjukan bagaimana pelanggaran HAM di Papua masih berlangsung sejak wilayah ini berintegrasi ke dalam negara Indonesia sejak tahun 1969 melalui proses penentuan pendapat rakyat (PEPERA) yang masih dianggap “tidak sah” oleh sebagian besar rakyat Papua.
Pandangan LSM
Human Right Watch (HRW) dalam beberapa laporannya mengkritik pemerintah Indonesia yang terus menerus melakukan pelanggaran HAM di Papua. Mereka juga menyoroti kebijakan negara yang mengharuskan wartawan asing, diplomat, serta lembaga HAM internasional untuk harus memiliki “surat jalan” untuk memasuki Papua.
Bukankah ini sebuah “imits” yang diciptakan oleh negara, bahwa Papua saat ini tidak aman untuk di kunjungi. Ini tentu akan memberikan citra buruk di mata dunia internasional. Jika pemerintah beranggapan tidak ada pelanggaran HAM di Papua atau wilayah ini aman-aman saja, maka kebijakan tersebut harus di cabut.
Selain HRW, Amnesty International dan Asian Human Rights Commision (AHRC) juga sering mengeluarkan laporan tentang pelanggaran HAM yang terus terjadi Papua. Bahkan, ada dugaan telah terjadi “slow motion genocida” di Papua.
Menanggapi isu “slow motion genocida”, tepatnya tanggal 22 November 2010 lalu, telah berlangsung dengar pendapat antara beberapa aktivis Papua Merdeka di bawah pimpinan Octovianus Mote, dengan anggota Kongres AS di Washintong DC. Ini sebuah peristiwa bersejarah yang tentu tak bisa dianggap remeh, walaupun hanya dihadiri sedikit anggota Kongres.
Berbagai lembaga HAM di Indonesia, seperti Komnas HAM, Imparsial, KontraS, dan Elsham juga secara berkala membuat laporan terkait pelanggaran HAM di Papua. Mereka sering menyerukan agar pemerintah Indonesia tidak memakai jalan kekerasaan untuk menyelesaikan konflik di Papua.
Namun, hingga saat ini negara terus menerus melakukan tindakan kekerasaan, terutama melalui operasi Militer. Seharusnya, pemerintah menyadari bahwa jalan kekerasaan tidak akan pernah menyelesaikan konflik, malahan ia justru menambah masalah baru di Papua.
Meretas Jalan
Untuk mengakhiri konflik di Papua, lebih khusus pelanggaran HAM , Lembaga Ilmu Pengetahuaan Indonesia (LIPI) pernah membuat sebuah proposal yang disebut dengan “Papua Road Map” sejak tahun 2009 lalu.
Ada empat usulan, pertama, menghilangkan sikap diskriminatif dan menghapus kebijakan-kebijakan yang memarjinalisasikan orang asli Papua.
Kedua, menciptakan proses pembangunan yang menjamin terpenuhinya hak-hak dasar orang Papua, seperti pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik lainnya.
Ketiga, membangun dialog yang setara antara Papua dan pemerintah pusat untuk menumbuhkan sikap saling percaya dalam melihat masa lalu dan menatap masa depan.
Keempat, mengungkapkan kebenaran dan mengakui kesalahan atas terjadinya rangkaian kekerasan pada masa lalu demi terciptanya rekonsiliasi.
Proposal yang diajukan LIPI perlu ditanggapi serius oleh pemerintah, juga rakyat Papua. Pemerintah harus mengakui, bahwa selama ini telah bertindak salah dalam menyelesaikan konflik di tanah Papua. Tentu rakyat Papua juga harus membuka diri.
Pemerintah tak perlu mencurigai usulan LIPI sebagai peluang untuk rakyat Papua menyatakan sikap mereka untuk segera “memisahkan diri” dari negara Indonesia. Rakyat Papua juga demikian, dimana tidak memandang dialog sebagai peluang untuk menggapai sebuah kemerdekaan.
Banyak diantara kita yang mungkin masih ingat, di tahun 1999 bagaimana embargo yang di jatuhkan dunia internasional, terutama Amerika Serikat kepada Indonesia ketika terjadi pelanggaran HAM berat di Timor Timur (sekarang Timor Leste). Embargo ini di jatuhkan ketika aparat Militer Indonesia (Red, Kopassus) membunuh ratusan warga Timtim. Kemudian embargo dicabut tahun 2010 kemarin, walau beberapa pelaku belum di sidangkan.
Tentu ini harus menjadi pelajaran penting bagi pemerintah Indonesia. SBY-Boedino beserta Kabinte Indonesia Bersatu Jilid II punya pekerjaan besar untuk menyelesaikan konflik di Papua secara adil, bermartabat dan menyeluruh.
Sekarang tinggal memilih, apakah tetap pakai cara kekerasaan—operasi militer— atau cara damai, yakni; pemerintah menggelar dialog dengan orang Papua yang di mediasi oleh pihak ketiga. Semoga!
*Oktovianus Pogau adalah solidaritas masyarakat Papua, tinggal di Jakarta
Tulisan ini telah di muat di Majalah Bulanan Cermin Papua, Edisi 02 tahun 2011