Salah satu payung hukum yang dibuat adalah Instruksi Presiden No 5 tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi 2008-2009 termasuk di dalamnya mengatur Investasi Pangan Skala Luas (Food Estate). Memasuki Tahun 2010 kemarin, Kementerian Pertanian merancang peraturan pemerintah (PP) tentang food estate atau pertanian tanaman pangan dengan skala sangat luas. Sebelumnya, persoalan ini sudah dimasukkan dalam Perpres No 77/2007 tentang Daftar Bidang Usaha Tertutup Dan Terbuka.
Program Food Estate sendiri merupakan konsep pengembangan produksi pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan yang berada di suatu kawasan lahan yang sangat luas. Secara sederhana konsep Food Estate layaknya perkampungan industri pangan.
Saat ini diperkirakan ada 7,13 juta hektar lahan yang dianggap terlantar di Indonesia. Kabupaten Merauke, Provinsi Papua merupakan salah satu daerah yang dipandang layak untuk diberlakukakan program food estate dengan lahan seluas 1,6 Juta ha.
Merauke Target Program Food Estate
Kabupaten Merauke, Provinsi Papua adalah target utama pemerintah untuk mengembangkan food estate. Program Merauke Integrate Food Energy Estate (MIFFE) sendiri secara resmi telah dicanangkan oleh Bupati Merauke, Jhon Gluba Gebze pada perayaan HUT kota Merauke ke 108 tanggal 12 Februari 2010 lalu.
Merauke memiliki cadangan lahan pertanian mencapai 2,49 juta ha, terdiri dari lahan basah sekitar 1,937 juta ha dan lahan kering 554,5 ribu ha. Bahkan lahan yang ada hampir semua datar, sehingga cocok untuk usaha pertanian skala luas. Sedangkan lahar sekitar 1,63 juta ha yang potensi untuk pengembangan food estate. Dari luasan itu, ada sekitar 585.000 ha lahan areal penggunaan lain (APL) yang sudah mendapat persetujuan Kementerian Kehutanan.
Beberapa distrik di Merauke merupakan kawasan sentral produksi. Untuk tanaman padi berada di Merauke, Semangga, Kurik, Tanah Miring, Okaba dan Kimaam. Komoditi kedele berada di Jagebob, Malind, Muting, Elikobel, Okaba dan Kimaam. Sedangkan jagung di distrik Semangga, Jagebob, Muting, Elokobel, Okaba, dan Kimaam.
MIFEE dan Konglomerat
Kabarnya, untuk mendukung program Merauke Food Estate akan ada 36 investor yang menanamkan modalnya di Merauke. Sekitar 28 di antaranya adalah investor asal dalam negeri dan sisanya adalah investor asing. Menurut Serikat Keadilan dan Perdamaiaan (SKP) Merauke, beberapa perusahan besar telah mulai beroperasi sejak bulan Mei lalu.
Misalkan, perusahan milik Prabowo Subianto, PT Kertas Nusantara yang memperoleh lahan investasi paling besar yakni; 154.943 ha Hutan Tanaman Industri (HTI). Perusahan ini hadir dengan surat rekomendasi 522.1/2700 tanggal 23-10-2008. Secara khusus perusahaan ini bergerak dibidang pembuataan kertas dan bubur kertas, kantor pusatnya berada di Menara Bidakara, Jakarta Pusat.
Daerah operasi mereka meliputi beberapa distrik, seperti Ngguti, Okaba dan Tubang. Kehadiran PT Kertas Nusantara sendiri sudah tentu akan membuka hutan yang cukup besar, dikhawatirkan akan terjadi konfiik antara masyarakat adat setempat dengan pihak perusahan.
Selain itu, Medco Group perusahan milik Arifin Panigoro melalui anak usaha PT Medco Papua Industri Lestari telah menanamkan investasinya juga di Merauke. Kehadiran mereka dengan surat rekomendasi No.522.2/415 Tanggal 18-02-2010, beroperasi di Distrik Kaptel dan Ngguti. Lahan yang akan dibuka untuk energi biomassa (industri produksi energi) dan Hutan Tanaman Industri (HTI) sebesar 169.000 ha.
Medco Group dan Arifin Panigoro hadir dengan tiga misi utama yakni; memperluas eksplorasi, meningkatkan produktifitas lapangan yang sudah ada, serta, memperketat balancing portfolio. Medco Group sudah tentu akan beroperasi dalam waktu yang cukup lama di Merauke.
Tidak ketinggalan, Keluarga Wiliam Soeryadjaya yang juga pernah menjadi orang nomor dua terkaya di Indonesia menanamkan investasinya di Merauke. PT Agro Lestari dengan anak perusahan PT Papua Agro Lestari sendiri bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit. Perusahan ini mendapat lahan operasi seluas 39,8 ha, dengan surat keputusan. No 08 tanggal 16 Januari tahun 2007. Wilayah operasi mereka meliputi sebagian besar Distrik Ulilin.
Selain ketiga konglomerat kelas kakap diatas, masih ada beberapa orang lagi yang menanamkan investasinya di Merauke berskala besar, sebut saja Tommy Winata pemilik Kelompok usaha Artha Graha Network melalui anak usahanya PT Sumber Alam Sutera (SAS), kemudian Aburizal Bakrie dari kelompok Bakrie Group dan beberapa lagi.
Kehadiran beberapa perusahaan yang dimiliki konglomerat asal Indonesia semoga dapat membawah wajah baru perekonomian Indonesia, khususnya Papua. Jangan seperti penanganan lumpur Lapindo yang tidak selesai dan menimbulkan masalah hingga saat ini.
Tanggapan LSM dan Gereja
Menurut Septer J. Manufandu, Sekretaris Eksekutif Foker LSM Papua bahwa “Program Merauke Integrated Food dan Energy Estate (MIFEE) yang membuka lahan 1,6 juta hektar merupakan ancaman baru kerusakan hutan dan terjadi marjinalisasi hak-hak masyarakat adat Marind” tegasnya.
Sementara Lindung Pangkali dari Foker LSM Pokja REED mengatakan bahwa “perlu ada Perdasus pengolahan hutan yang berbasis masyarakat adat. Jika ada instrument hukum maka akan lebih mudah mengawasi pelaksanaan MIFEE di kemudian hari,” katanya.
Direktur Serikat Keadilan dan Perdamaiaan (SKP) Merauke, Pastor Decky Ogi MSC dalam kesempatan saat mempersentasekan hasil penilitiaanya pernah menyatakan bahwa dampak dari pada kehadiran MIFEE sudah tentu akan merugiakan masyarakat adat setempat.
Sementara itu, Diana Gebze dari Solidaritas Masyarakat Papua Tolak MIFEE (SORPATOM) mengatakan bahwa “Kami tolak kehadiran MIFEE di Merauke, karena ini akan menggusur hak-hak adat masyarakat Marind dan hanya untuk kepentingan imprealisme,” pungkasnya dalam siaran pers mereka beberapa waktu lalu di Jayapura, Papua.
Berharap Pada MIFEE
Kehadiran program MIFEE di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua sudah tentu merupakan program pemerintah pusat dan tidak bisa ditolak kehadirannya. Tujuan utamanya cukup baik, yakni; mengatasi krisis ketahanan pangan yang akan terjadi di Indonesia, terlebih khusus di tanah Papua.
Namun yang sangat disayangkan, jangan sampai kehadiran MIFE menggusur hak-hak adat, hutan dan budaya masyarakat setempat. Banyak pengalaman pahit yang telah membuat masyarakat adat di Papua trauma.
Semoga Presiden Yudhoyono masih ingat pada pidatonya di Kopenhagen akhir tahun 2009 lalu. Saat itu ia mengajak pemimpin dunia untuk menginjeksi logika ekonomi baru (new economic logic) dalam konsep pembangunan ekonomi. Konsep new economic logic versi Presiden Yudhoyono itu adalah mempertahankan tegakan hutan jauh lebih menguntungkan daripada menebang.
Pemerintah perlu serius memperhatikan hak-hak masyarakat adat Marind. Pemerintah jangan membuat peraturan yang berpihak kepada pemodal, sembari mengabaikan hak-hak masyarakat adat. Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang mengatur hak-hak hidup, hutan dan adat harus dibuat. Ini mengantisipasi keberlangsungan hidup masyarakat adat Marind di Merauke, Papua kedepannya.
Masyarakat adat sedang menanti keseriusan pemerintah. Kita sama-sama akan melihat, apakah kehadiran MIFEE menjadi ancaman atau berkah bagi masyarakat adat Marind di Merauke, Papua.
Gambar TABLOID JUBI
*Penulis adalah Aktivis HAM di Papua.