Ideologi berasal dari kata idea (Inggris), yang artinya gagasan, pengertian. Kata kerja Yunani oida = mengetahui, melihat dengan budi. Kata “logi” yang berasal dari bahasa Yunani logos yang artinya pengetahuan.
Jadi Ideologi mempunyai arti pengetahuan tentang gagasangagasan, pengetahuan tentang ide-ide, science of ideas atau ajaran tentang pengertian-pengertian dasar. Dalam pengertian sehari-hari menurut Kalian ‘idea’ disamakan artinya dengan cita-cita.
2.Fungsi Ideologi
Fungsi ideologi sebagai berikut:
a.Struktur kognitif, yakni keseluruhan pengetahuan yang dapat merupakan landasan untuk memahami kejadian dalam keadaan alam sekitarnya.
b.Orientasi dasar, dengan membuka wawasan yang memberikan makna serta menunjukkan tujuan dalam kehidupan masyarakat.
c.Norma-norma yang menjadi pedoman dan pegangan bagi seseorang.
d.Bekal dan jalan bagi seseorang untuk menentukan identitasnya.
e.Kemampuan yang mampu menyemangati dan mendorong seseorang untuk menjalankan kegiatan dan mencapai tujuan.
f.Pendidikan bagi seseorang atau masyarakat untuk memahami, menghayati, serta mempolakan tingkah lakunya sesuai dengan orientasi dan norma-norma yang terkandung didalamnya.
3.Manfaat Ideologi
Manfaat Ideologi bagi suatu negara, yaitu sebagai berikut :
1.Menjadi pedoman bagaimana bangsa itu membangun dirinya.
2.Memberi arah dan cita-cita bangsa yang bersangkutan.
3.Memiliki pegangan dan pedoman bagaimana memecahkan masalah masalah politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
4.Mampu memandang persoalan-persoalan yang dihadapinnya dan menentukan arah serta bagaimana bangsa itu memecahkan persoalan yang di hadapi. (http://adimasnonbloks.blogspot.co.id)
Bangsa Indonesia segera akan tiba pada salah satu puncak eskalasi pertengkarannya di antara mereka sendiri sesaudara. Salah satu hasil minimalnya nanti adalah tabungan kebencian, dendam dan permusuhan masa depan yang lebih mendalam. Maksimalnya bisa mengerikan. Kita sedang menanam dan memperbanyak ranjau-ranjau untuk mencelakakan anak cucu kita sendiri kelak.
Masing-masing yang sedang bertengkar memiliki keyakinan atas kebenarannya dari sisinya masing-masing. Dan tidak perlu ada yang memperpanjang masalah serta menambah ranjau dengan mempersalahkan pihak yang ini atau yang itu. Minimal untuk sementara, ada baiknya menghindari ‘kenikmatan’ menuding “siapa yang salah”. Sebab kalau salah benar diposisikan pada subjek, kemudian yang ditegakkan adalah pro dan kontra pihak-pihak, maka semua akan terjebak situasi-situasi subjektif: kalau kita “pro” suatu pihak, maka ia “benar 100%”. Kalau kita “kontra” suatu pihak, maka ia “salah 100%”. Kita berada sangat jauh dari kedewasaan berpikir.
Produknya adalah kita bermasalah terhadap dua hal: pertama, anak cucu kita akan kebingungan mempelajari sejarah “kebenaran melawan kebenaran” dan “kebaikan melawan kebaikan”. Kedua, kita mempertengkari hakiki kemanusiaan kita sendiri, sebab “setiap orang dan pihak ada benarnya ada salahnya”. Tidak bisa benar mutlak, tidak bisa salah absolut.
Meskipun pahit dan tidak nyaman, tapi yang sekarang perlu dilakukan memang bukan mendiskusikan “siapa yang salah”, melainkan duduk bersama untuk secara jernih untuk menemukan “apa yang salah”. Itu meminta pengorbanan pada harga diri subjektif masing-masing. Sebab keselamatan sejarah Indonesia membutuhkan kejujuran, kejernihan, dan kejantanan untuk saling menemukan kesalahan diri dan kebenaran orang lain.
Berpikir, Bersikap dan Bertindak NKRI
Yang saya maksud “puncak eskalasi pertengkaran” adalah segera akan muncul adegan di panggung di mana “yang kuat mengalahkan yang lemah”. Seseorang mungkin akan menang di Pengadilan maupun di Pemilihan. Sebelum itu, faktor-faktor yang dianggap kontra-produktif terhadap kemenangan itu, mungkin akan dipastikan untuk dipadamkan, ditangkap, dipenjarakan, dibubarkan, diberangus atau dikebiri, minimal dieliminir. Mungkin yang bisa terjadi adalah letupan pertengkaran kecil, tapi itu rintisan lebih mendalam untuk masa depan pertengkaran yang lebih besar. Pertanyaan yang muncul adalah: apa hebatnya bangsa Indonesia mengalahkan bangsa Indonesia? Kalau dalam hidup ini memang harus ada yang dimenangkan dan dikalahkan, apakah itu juga berlaku untuk sesama bangsa Indonesia? Itukah makna nilai Bhinneka? Kalau belajar dari filosofi Jawa: kegaduhan yang sekarang terjadi adalah “Sopo siro sopo ingsun” (siapa kamu siapa aku, emangnya kamu siapa!). Salah satu outputnya adalah “adigang adigung adiguna” (sok kamu ini, saya lindas!). Konstelasi dikotomisnya adalah “Habil dibunuh Qabil”. Hitam-putihnya adalah “Putih melindas Hitam”. Persoalannya: masing-masing merasa, yakin, dan memiliki argumentasi bahwa ia adalah Habil, yang merasa terancam oleh Qabil, sehingga mendahului untuk memberangus Qabil. Bahwa ia adalah Putih, yang merasa dimakari oleh Hitam, sehingga harus bersegera menumpas Hitam. Sementara yang ditumpas juga meyakini bahwa ia adalah “Habil yang dibunuh Qabil” dan “Putih yang diberangus oleh Hitam”.
Mana Bapa Adam? Mana Ibu Hawa? Habil maupun Qabil adalah putra-putranya sendiri. Adam Hawa tidak berpikir bahwa Qabil adalah musuhnya, meskipun ia mengancam putranya yang lain. Yang mengancam dan diancam sama-sama anaknya. Adam Hawa mempelajari keduanya dengan sabar. Mencari cara agar Habil tidak dibunuh, tetapi cara yang dipilih bukan membunuh Qabil duluan sebelum ia membunuh Habil.
“Positioning Adam” adalah berpikir dan bersikap NKRI. Kalau PDIP ada di latar belakang kekuasaan NKRI, maka diri PDIP adalah diri NKRI. PDIP mendayagunakan energinya untuk NKRI, bukan mengeksploitasi NKRI untuk PDIP. Siapapun saja yang duduk di Pemerintahan, dirinya adalah diri NKRI. Subjek primer di dalam kesadarannya adalah NKRI. Maka demikianlah pula berpikir dan bersikap, serta pengambilan keputusan tindakan-tindakannya.
Bu Mega menghindari kosakata politik praktis. Tidak perlu menyebut kata “ideologi tertutup”, “makar”, cukup membatasi diri pada kata-kata kasih sayang, pengayoman, ekspresi keIbuan. Yang sedang mengemban amanat di Pemerintahan membersihkan hatinya dari paranoia merasa diancam, sehingga tidak menyimpulkan bahwa apa yang tidak sejalan dengan dia adalah musuh. Bahwa yang tidak sependapat adalah makar. Ia dan jajarannya dilantik untuk memprimerkan Bhinneka Tunggal Ika, bukan memelihara, mempertajam dan meraya-rayakan Bhinneka. Padahal tugasnya adalah mentunggal-ikakan Bhinneka.
Yatim Piatu Tiada Tara
Bangsa Indonesia adalah anak yatim piatu. Tidak punya Bapak yang disegani dan tidak ada Ibu yang dicintai. Saya coba menjelaskan hal ini melalui dua terminologi. Pertama, ketika lahir, NKRI memang lebih berpikir “membikin sesuatu yang baru” dan kurang berpikir “meneruskan yang sudah ada sebelumnya”. Kita memilih “Sejarah Adopsi” dan tidak merasa perlu menekuni “Sejarah Kontinuasi”. Kita dirikan “Negara” dan “Republik” dengan mengadopsi prinsip, tata kelola, sistem nilai, hingga birokrasi dan hukum. Kita meneruskan “mesin Belanda” meskipun dengan memastikan pengambilalihan kepemilikan. Kita tidak mengkreatifi kemungkinan formula yang otentik hasil karya kita sendiri yang merupakan kontinuitas-kreatif dari apa yang sudah dilakukan oleh nenek moyang kita. Sejak merdeka kita memang seolah-olah “sengaja” meninggalkan orangtua kita sendiri. Padahal Belanda sendiri, juga banyak Negara-negara Eropa lain, tetap berpijak pada Kerajaan “orangtua” mereka. Fakta yang itu justru tidak kita adopsi. Juga tidak belajar kepada Majapahit, umpamanya. Kencanawungu atau kemudian Hayam Wuruk adalah Kepala Negara, Gajah Mada adalah Perdana Menteri. Kepala Negara bikin kebijakan dan sistem kontrol, Perdana Menteri berposisi eksekutif dalam kontrol Negara. Hari ini Kepala Pemerintahan kita adalah juga Kepala Negara. MK, KY, KPK, dll adalah lembaga Negara, tapi faktanya mereka berlaku sebagai lembaga Pemerintah, karena Bangsa Indonesia tidak merasa perlu membedakan antara Negara dengan Pemerintah. Negara adalah Bapak, Tanah Air adalah Ibu (Pertiwi). Negara adalah Keluarga, Pemerintah adalah Rumah Tangga. Manajemen Rumah Tangga adalah bagian dari manajemen Keluarga. PNS yang diganti namanya menjadi ASN, tidak beralih kesadaran bahwa mereka adalah abdi Negara, yang patuh kepada Undang-Undang Negara. Bukan abdi Pemerintah, yang taat kepada atasan. Kalau anak merasa ia adalah Bapak yang memiliki dan menguasai Ibu, maka sangat banyak pertanyaan yang mencemaskan atas NKRI hari ini dan di masa depan. Sekarang anak-anak sedang nikmat bertengkar, tidak ada Bapak yang mereka segani, tidak ada Ibu yang mereka cintai. Keluarga kita menjadi sangat rapuh, dan para tetangga mengincar kita, menginflitrasi kita, menusuk masuk ke tanah dan jiwa kita, menggerogoti hak milik kita untuk dijadikan milik mereka. Anak-anak gugup siang malam, tidak punya waktu yang tenang untuk merumuskan ketepatan pemahaman tentang nasionalisme NKRI, tentang SARA, tentang apa itu Agama sebenarnya. Justru semua itu dijadikan bahan pertengkaran tanpa henti-hentinya. Anak-anak saling men-Qabil dengan merasa Habil. Bangsa Indonesia yatim piatu tiada tara.
Indonesia (Kehilangan) Pusaka Kedua, di antara Bapak Ibu bangsa Indonesia yang Jawa memberi pesan tentang “Sandang Pangan Papan”, “Keris Pedang Cangkul”, “Gundul Pacul”, “Kawula Gusti”, dlsb. Pasti banyak sekali juga pesan-pesan dari nenek moyang Yang Sunda, Yang Minang, Yang Bugis, Yang Batak, Yang Sasak, Yang Madura dan ratusan lainnya — yang setelah merdeka semua itu kita sekunderkan, atau bahkan kita remehkan dan kita lupakan. Itu menyebabkan sekarang kita tidak lagi punya “pusaka”, dalam dimensi kejiwaan bangsa maupun dalam penerapan tata sistem, konstitusi dan hukum pengelolaan kebersamaannya.
Sandang Pangan Papan tidak bisa dibalik. Lebih baik tidak makan asal tetap berpakaian. Bukan program makan melimpah dan tak apa telanjang karena pakaiannya dijual, karena martabat dan harga diri digadaikan. Manusia dipinjami hak milik oleh Tuhan: nyawa, martabat dan harta benda. Negara dan Pemerintah bertugas menjaga nyawa, martabat dan harta benda rakyatnya. Orang korupsi tidak terutama kita sesali hilang hartanya, tetapi kita prihatini kehancuran martabat hidup koruptornya. Demikian juga setiap langkah Negara dan Pemerintah: skala prioritasnya adalah nyawa, kemudianmartabat, lantas harta benda.
Keris Pedang Cangkul sangat jelas. Rakyat pegang cangkul mencari penghidupan. Pemerintah pegang pedang untuk menjaga keamanan sawah yang dicangkul oleh rakyat. Pejabat tidak boleh menggunakan pedang untuk mencangkul. Pejabat dan pegawai bukan profesi, bukan alat mencari nafkah, sebab penghidupan mereka dijamin oleh Negara. Sementara Negara adalah keris, adalah Pusaka, ia perbawa, aura, hati nurani, ia “kasepuhan”, ia seperti Bapak Sepuh yang kita cium tangan dan lututnya. Karena beliau sudah merdeka dari nafsu terhadap harta benda dan keduniaan. Itu yang bangsa Indonesia sekarang tidak punya dan tidak sadar untuk merasa perlu punya.
Gundul Pacul, anak-anak hapal sampai sekarang. Pemerintah bertugas “nyunggi wakul”, memanggul bakul kesejahteraan rakyat, isinya harus disampaikan ke rakyat. Jangan sambil jelan ke rumah rakyat diambili sendiri isi bakul itu. Apalagi sampai menjual bakul-bakul ke tetangga. Negara mengontrol dan siap menghukum mereka. Tapi Bangsa Indonesia sedang tidak punya Negara kecuali hanya namanya, yang berdiri di depan hanya Pemerintah.
Itupun tidak terdapat tanda bahwa prinsip Ki Hadjar Dewantara, pahlawanan nasional dan Bapak Pendidikan Nasional, dilaksanakan. Kita semakin tidak belajar kepada beliau. Karir adalah “ing ngarsa sung tulada”, berdiri paling depan untuk member teladan. Kemudian meningkat “ing madya mangun karsa”, menyatu dengan rakyat saling dukung mendukung dan menyebar motivasi. Puncak karier adalah “tut wuri handayani”. Orang besar bangsa Indonesia adalah yang berani dan ikhlas berada di barisan paling belakang, mendorong rakyat untuk terus maju dan berjuang.
Kerajaan dan Sebab Akibat
Yang di awal tulisan ini saya sebut sebagai “puncak eskalasi pertengkaran” adalah jika Pemerintah, yang bertindak atas nama Negara, menerapkan “ing ngarsa sung kuwasa”: berdiri paling depan dengan kekuasaan untuk menguasai, dan dengan kekuatan untuk mengalahkan.
Kawula Gusti. Posisi manusia itu “ngawula” atau menghamba. Maka Sila-1 adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Janji nasional untuk menghamba ke Tuhan. Dalam peradaban Kerajaan, Raja diverifikasi, dikwalifikasi kemudian dipercaya sebagai representasi dari Tuhan. Maka kawula, rakyat, menghamba kepada Raja, sebagai jalan menghamba kepada Tuhan. Rakyat bisa salah identifikasi, sejarah berisi Firaun sangat banyak. Tetapi tidak bisa lenyap naluri menghamba pada manusia. Ketika masuk era modern kita bilang “mengabdi kepada Negara, Bangsa dan Agama”. Tiga level itu adalah eskalasi menuju penghambaan kepada Tuhan. Rakyat kecil, kaum terpelajar, semua orang-orang hebat, berlomba-lomba menghamba kepada Tuhan melalui jabatan Staf Khusus atau Staf Ahli Presiden atau Menteri, jadi Komisaris BUMN, atau minimal dapat dana untuk proyek penghambaan kepada Tuhan.
NKRI adalah Negara dengan sejumlah fakta kejiwaan dan perilaku Kerajaan. PDIP tetap disinggasanai dan diotoritasi langkah-langkahnya oleh Ratu Mega putri Raja Besar Bung Karno, berikut akan ke cucu beliau. Demokrat akan mencagubkan atau tidak keputusannya di tangan Raja SBY. Demikian juga tipologi perilaku pada Kerajaan-kerajaan lainnya, termasuk mobilisasi dan pencitraan yang berpangkal pada identifikasi “Satria Piningit”, atau juga rintisan Kerajaan Hary Tanoe.
Bangsa Indonesia adalah hamba-hamba Allah yang setia. Bahwa wasilahnya, proses identifikasi dan kualifikasinya untuk menentukan mengabdi kepada Tuhan melalui Raja atau Presiden siapa — bisa keliru, itu persoalan lain. Dan ini bukanlah soal salah atau benar, bukan perkara baik atau buruk. Tetapi jelas ada yang perlu dihitung kembali, dipikirkan ulang, hal-hal yang menyangkut formula pengelolaan kesejahteraan rohani jasmani Bangsa Indonesia.
Kita membutuhkan keselamatan masa depan dengan mempertanyakan kembali “cara pandang, sisi pandang, sudut pandang, jarak pandang dan resolusi pandang, bahkan kearifan pandang”: terhadap NKRI dengan seluruh perangkat hardware maupun software-nya. Bhinneka harus kita tunggalika-kan, bukan memelihara dan memperuncing permusuhan di antara Bhinneka.
Enam ragam pandang di atas berada dalam spektrum sebab pandang dan akibat pandang. Pemerintah merasa traumatik terhadap Islam adalah akibat yang ada sebabnya, terutama dari dunia global. Sikap keras 212 adalah akibat dari sebabnya. HRS, misalnya, bukan Iblis, Jkw atau TK, pun bukan Tuhan. Masing-masing manusia. Semua warga Bhinneka tidak bisa menunda iktikad baik dan kebijaksanaan untuk saling mempelajari sebab akibat dari seluruh yang dialaminya. Tidak bisa masing-masing egois merasa “kamilah Bhinneka Tunggal Ika, yang itu Kaum Intoleran”.
Sila-5 belum kunjung tercapai, ada sebabnya, dan harus dicari di Sila-4: Pemerintahan dan Perwakilan yang kehilangan aspirasi dan rumusan Permusyawaratan. Mesin Sila-4 tidak memproduksi Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Ini mungkin juga akibat dari Sila-3 yang “bikin mesin pemerintahan” Sila-4. Parpol-parpol, Ormas-ormas dan ketokohan-ketokohan nasional mungkin tidak berdiri, berpikir, bersikap dan bertindak NKRI, melainkan menitik-beratkan pada kepentingan diri dan golongannya masing-masing.
Jangan-jangan ini akibar dari sebab yang terletak pada Sila-2: pendidikan pemberadaban manusia Indonesia. Ada tumpukan masalah dan pertanyaan yang sangat serius terhadap dunia kependidikan nasional. Mungkin salah pijakan, salah niat, misalnya bahwa dunia kependidikan bukanlah urusan profesi di mana pelaku-pelakunya mencari nafkah penghidupan. Sebagaimana Pegawai bukanlah profesi, karena nafkahnya dijamin oleh Negara. Sekolah bukan perniagaan, Universitas bukan perusahaan. Sebagaimana juga perlu diarifi kembali bahwa kapitalisme jangan sampai menjadi titik berat pelaksanaan wilayah Pendidikan, Kebudayaan, Kesehatan dan Agama.
Kalau Sila-5 tak tercapai karena kegagalan Sila-4, Sila-4 tidak produktif karena salah pilih oleh Sila-3, kalau Sila-3 bukan Persatuan Indonesia melainkan sumber perpecahan karena disorientasi Sila-2 – mungkin sekali sebab mendasarnya adalah karena seluruh petugas sejarah Bangsa Indonesia ini memang tidak serius dengan Sila-1. Mungkin benar parodi “Keuangan Yang Maha Esa”. Mungkin tak terhitung jumlah penistaan kita semua terhadap Pancasila, Agama dan Tuhan.
Yang Tak Kita Ketahui
Kegagalan simultan, sistemik, dan struktural mem-Pancasila-kan Indonesia itu hari ini menghasilkan keyatim-piatuan, ketiadaan Ibu dan Bapak, anak-anak menjadi liar oleh ketidakseimbangan berpikir untuk meng-NKRI-kan dirinya dan tindakan-tindakannya. Kita dikepung oleh fenomena Habil Qabil, terkikisnya martabat kebangsaan dan kemanusiaan, terampoknya harta benda Tanah Air.
Untuk jangka pendek ke depan, secara pribadi saya mohon izin untuk mengemukakan kalimat sehari-hari. Bahwa kalau engkau bermasalah terhadap Tuhan, kalau Tuhan tidak kau perlakukan sebagai Subjek Utama sejarah hidupmu, maka syukur Tuhan masih bisa menunda bencana. Tapi kalau NKRI bukan konsiderasi primer langkah-langkahmu, maka tidak ada yang bisa menghindari bencana. Engkau yang kuat, yang terbaik bagimu bukan meng-kuat-i saudara-saudaramu sendiri. Kalau engkau berkuasa, jangan pikir yang selamat adalah meng-kuasa-i sesamamu.
Engkau bisa mudah menguasai Pengurus NKRI, engkau bisa membeli lembaga-lembaga, menaklukkan Ormas-ormas. Tapi Pemerintah Indonesia berbeda dengan Bangsa Indonesia, Bangsa Indonesia berbeda dengan Rakyat Indonesia, Rakyat Indonesia berbeda dengan hamba-hamba Tuhan di tanah air Indonesia. NU berbeda dengan Nahdliyin, Muhammadiyah berbeda dengan Muhammadiyin. Ormas-ormas Islam berbeda dengan Ummat Islam. Dan Ummat Islam berbeda dengan Islam. Ada yang bisa kau kalahkan, kau taklukkan, kau rampok, kau tindas dan perhinakan. Tapi ada yang tidak. Dan yang tidak bisa kau taklukkan itu adalah dimensi dan energi yang juga ada di semesta dan tanah yang disebut Indonesia. Ada yang sama sekali tak kita ketahui tentang besok pagi.
Penjajahan Suatu kelompok ‘yang menguasai suatu daerah atau tanah atau Negeri/Pulau dinamakan “PENJAJAH” Apakah karena berhasil merebut menguasai segala sesuatu disebut PENJAJAH” KECUALI ‘Kelompok yang mengatasnamakan “Agama” maka kelompok tersebut Tidak termasuk menjajah atau Bukan Penjajah? Belum, itu masih di sebut kolonialisme. Sedangkan penjajah adalah suatu negara yg merebut kedaulatan orang lain.
Penjajah adalah orang yang menguasai suatu daerah, tapi dalam arti orang tersebut berasal dari daerah lain dan hanya ingin memanfaatkan sumber daya Alam dari daerah kekuasaannya tersebut untuk wilayah aslinya.
Penjajah adalah kelompok/bangsa/negara yang memperlakukan suatu kelompok bangsa atau negara seperti memeras harta, sumber daya alam, sumber daya manusia, membuat pengertian HAM hilang, dan tentu saja melakukan tindakan-tindakan kekerasan pada kelompok/bangsa/negara yang dijajah. Kemudian Penjajahan ideologi adalah pembelengguan terhadap kehidupan manusia melalui pemikiran akan nilai-nilai dari tradisi hingga dogma-dogma agama yang memenjarakan manusia dalam tatanan regularitas hidup yang serba formal dan sakral. Pendidikan (Paideia) adalah alat utama yang menjadi kendaraan manusia untuk keluar dari belenggu penjajahan idelogi, terutama penjara dogmatis dan kebodohan pada masyarakat. Indonesia adalah satu satu contoh riil, dimana telah terjadi penjajahan ideologi, karna sumber daya manusia dan alamnya di eksploitasi secara legal formal yg berimplikasi melahirkan budak di negeri sendiri.
Penjajahan ideologi adalah pembelengguan terhadap kehidupan manusia melalui pemikiran akan nilai-nilai dari tradisi hingga dogma-dogma agama yang memenjarakan manusia dalam tatanan regularitas hidup yang serba formal dan sakral. Pendidikan (Paideia) adalah alat utama yang menjadi kendaraan manusia untuk keluar dari belenggu penjajahan idelogi, terutama penjara dogmatis dan kebodohan pada masyarakat. Indonesia adalah satu satu contoh riil, dimana telah terjadi penjajahan ideologi, karna sumber daya manusia dan alamnya di eksploitasi secara legal formal yg berimplikasi melahirkan budak di negeri sendiri. Negeri (bangsa) yg menjajah: dengan kekuatan senjata akhirnya kaum ~ itu berhasil menguasai daerah itu; orang yg terlalu menguasai (menindas dsb) orang lain (bawahan
APAKAH INDONESIA MENJAJAH BANGSA PAPUA BARAT..???
Indonesia benar menjajah bangsa Papua Barat, bagaimana bentuk penjajahanaya apa saja penjajahan NKRi di Papua Barat ? penjajahan NKRI di Papua memang sulit untuk dilihat dengan jelas, namun ada beberapa bentuk penjajahan indonesia di Papua yang dapat dilihat, antara lain sebagai berikut:
1. Penjajahan di Bidang Ekonomi
Pusat perekonomian di Papua semua sektor dikuasai oleh masyarakat imigran yang datang dari luar, mulai dari pendagang kaki lima di pinggir jalan penjual pinang sampai di pasar –pasar sentral yang di bangun pemerintah sampai dengan Tokoh-tokoh, Mol-Mol besar dan kios-kios kecil. Orang asli Papua tidak memiliki tempat yang layak seperti orang pendatang.
Selain sumber-sumber pendapatan perekonomian pendangang asli Papua pada umumnya dan lebih khusus mama-mama papua dimatikan dengan cara licik dan sitematis. Tempat tempat mama-mama mengelolah sayur kakngung dan kebun-kebun singgong dan juga sayur mayur dibangun mol-mol besar dan tokoh-tokoh besar milik pengusaha orang non papua, lalu mereka jual sayur-sayur dalam mol besar sehingga orang lebih tertarik beli di mol besar dan tokoh-toko orang pendatang sehingga, mama julan sayur di pinggir jalan tidak pernah laku.
Kemudian cara lain yang dipakai oleh masyarakat pendatang untuk mematikan perekonomian pendagang asli papua adalah, mereka menyediakan sayur mayor kemudia mereka bawa dengan motor dari rumah ke rumah sehingga konsumen tidak pernah datang belanya sayur di pasar mama-mama pendagang asli papua sediakan dipasar dan di pinggir jalan.
Mama-mama pendagang asli Papua tidak memiliki tempat yang layak untuk berjualan, mereka berjualan di tempat yang tidak layak seperti di pinggir-pigir jalan, di pasar pun mereka jualan di atas tanah tempat yang pecek beralaskan karton dan karung. Sedangkan pasar-pasar yang pemerintah bangun dikuasi oleh masyarakat pendatang.
Pengusaha-pengusaha juga semuanya orang pendatang, semua proyek dari pemeritah dikelola oleh masyarakat non papua, baik jasa kontruksi pendaan barang dan jasa sampai dengan kontraktor, seakan –akan orang Papua tidak mampu mengelola proyek-proyek. Selain itu sopir-sopir anggutan kota dan panggalan oyek semua milik orang pendatang, semua sector ekonomi milik orang non papua.
2. Penjajahan secara politik
Penjajahan secra politik dilakukan kolonial NKRI di Papua Barat adalah dimana wilayah Papua Barat dianeksasi sejak 1963 sampai dengan saat ini, melalui rekayasa pepera 1969 orang papua dipaksakan memilih Indonesia. Pelaksaan pepera yang cacat hukum dan moral karena tidak sesuai dengan perjanjian New York Agreement 15 agustus 1962. Perjanjian New York hanya rekayasa dan awal pelanggaran terhadap hak –hak dan martabat orang Papua karena dalam perjanjian tersebut tidak orang papua dilibatkan sebagai subyek dalam perjanjian tersebut karena pemilik wilayah Papua Barat adalah orang Papua sorong sampai merauke.
Kemudian penjajahan melalui paket politik secara sitematis adalah pada tahun 2001 orang papua minta merdeka pemerintah Indonesia memberikan tawaran politik yaitu otonomi khusus. Otonomi khusus merupakan sebuah sitem penjajahan baru, terus dipaksakan walapun orang papua menolak.
Kemudian kebijakan –kebijakan lain yang diterapkan di Papua seperti PP NO 77 UP4B dan kini otonomi plus saat ini derafnya sedang dikodok di Jakarta merupan sebuah penjajahan baru setelah UP4B, dan semua paket politik ini merupakan politik kolonial untuk menjajah orang papua barat.
3. Penjajahan dibidang pendidikan
Penjajahan dalam bidang pendidikan juga diterapkan secara sistematis dimana contohnya Kurikulum pendidikan yang disusun seharusnya sesuaikan dengan kondisi di papua namun semua krikulum disusun berdasarkan ideologi pancasila dan cara berfikir mereka, mereka memaksakan orang papua memahami ideologi dan cara hidup mereka.
Contoh : Kurikulum di SD pernah kita belajar tetang cara hidup orang jawa Indonesia pergi ke Sawa, ini Danau toba, pada hal di Papua tidak ada sawa, kemudian seharusnya anak-anak papua ajarkan tentang danau sentani atau danau paniai, namun yang terjadi adalah orang indonesia memaksakan anak-akan papua mengerti barang yang tidak pernah mereka lihat di papua. Hal ini menadakan sistem penjajahan dalam pendidikan diterafkan sejak dini.
Selain sejak dini anak-anak Papua di wajibkan berbahasa Indonesia dan dilarang berbahasa daerah pada hal di pulau jawa ada kurikulum mulok atau muatan lokal tetang bahsa daerah dan kesenian namun kurikulum milok tidak sisusun dalam krikulum. Hal ini dilakuklan untuk menghancurkan nilai-nilai indendintas bangsa Papua, supaya orang papua bisa berfikir seperti orang melayu Indonesia dan cara hidup mereka dipaksakan di papua Barat. Selain fasilitas pendidikan tidak memanday, dimana SD dikampung-kampung mengadakan proses belajar mengajar di tempat yang tidak layak. Kemudian teori terlalu banyak namun perakteknya tidak berjalan sehingga anak-anak didik yang dilahirkan tidak berkualitas. 4. Penjajahan di Bidang Kesehatan
Otonomi khusus belum dapat memenuhi hak hak penduduk asli papua untuk mendapatkan kesehatan. Kesehatan penduduk asli papua semakin bertambah buruk karena kurangnya fasilitas kesehatan yang layak, obat-obat dan dokter. Menurut data kesehatan pada tahun 2003, 68 % terinfeksi virus HIV AIDS di tanah papua.
Setelah Indonesia menguasai wilayah papua barat dari sorong sampai merauke, dan menyebar luaskan segala macam penyakit terhadap manusia papua. Rakyat papua barat awalnya mereka tidak mengenal HIV AIDS, Flu Babi, Flu Ayam dan segala macam penyakit, tetapi sekarang segala macam penyakit menguasai seluru tanah papua.
Akhir kata: Bangkitlah Generasi Anak Bangsa Papua, Bangkitlah Kekuatan Sipil Rakyat Papua, Bangkitlah Membangun Kekuatan Militer Papua Untuk Melawan Penjajah dan Lahirlah Semangat Juang Pembebasan Bangsa Papua Barat Untuk Mengakhiri Perjuangan dan Katakanlah “Salam Revolusi, Kita Harus Mengakhiri”.
Dengan demikian, penulis berpesan bahwa harap mempelajarinya, jika ada kesalahan dalam penulisan penulis mohon maaf. Selanjutnya saran dan kritikan untuk berjuang penentuan nasib sendiri bangsa Papua Barat, boleh konfirmasi melalui alamat penulis yang dicantumkan dibawah ini.
Written by: Steven Peyon West Papua Human Rights Activist Independence
Tujuan Negara, Selamat Membaca - Negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang merupakan persekutuan masyarakat dan merupakan alat untuk mencapai tujuan bersama. Dengan mengetahui tujuan suatu negara, akan dapat dikaji sifat serta legitimasi kekuasaan dari organisasi negara tersebut. Selain itu, dapat pula dipahami orientasi dan motivasi terbentuknya negara dan ke arah mana cita-cita yang hendak diwujudkan melalui organisasi negara tersebut. Dengan mengetahui tujuan suatu negara, dapat juga dikenal tatanan dan pengendalian organisasinya dengan keadaan lingkungan warga negara. Setiap negara mempunyai tujuan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut karena adanya perbedaan latar belakang sejarah, budaya, dan ideologi suatu masyarakat atau suatu bangsa. Lantas, apa yang menjadi tujuan dari negara? Berikut ini kami uraikan untuk Anda tentang tujuan negara. Pembahasannya dibagi menjadi tujuan negara secara umum dan menurut pendapat ahli, selamat membaca. Tujuan Negara Secara Umum Setiap negara harus memiliki tujuan, karena tujuan negara merupakan pedoman atau arah bagi penyelenggara negara untuk menjalankan pemerintahannya. Tujuan Negara merupakan sesuatu yang ditentukan disepakati oleh masyarakat itu sendiri, termasuk cara yang akan ditempuh untuk mencapainya. Tujuan Negara pada umumnya adalah untuk menciptakan dan meningkatkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Tujuan Negara merupakan sesuatu yang dicita-citakan atau harapan bagi suatu bangsa. Terwujudnya tujuan negara ini menjadi kewajiban setiap negara sebagai organisasi tertinggi suatu bangsa. Tujuan Negara Menurut Ahli Kenegaraan Beberapa pendapat mengenai tujuan Negara dikemukakan oleh para ahli kenegaraan sebagai berikut:
Menurut R. Kranenburg Tujuan negara menurut R. Kranenburg adalah mewujudkan kesejahteraan rakyat (kesejahteraan umum). Dalam hal ini, negara dipandang sebagai alat belaka yang dibentuk manusia untuk mencapai tujuan bersama, kemakmuran, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat itu. Menurut Dante Alighieri Menurut Dante Alighieri, negara bertujuan untuk mencapai perdamaian dunia. Dalam teori perdamaian dunianya, Dante Alighieri berpendapat bahwa di dunia ini sebaiknya terdapat hanya satu Negara yang berdaulat penuh dan kekuasaannya terletak pada satu orang. Jika di dunia ini terdapat banyak Negara merdeka, ketentraman dan perdamaian tidak akan terwujud. Hal ini terjadi karena setiap Negara memiliki tujuan dan kepentingan yang berbeda satu sama lain. Akibatnya, muncul benturan atau konflik yang dapat mengarah kepada perang.
Menurut Imamnuel Kant Menurut Imamnuel Kant, tujuan negara adalah menjamin hak dan kebebasan manusia. Imamnuel Kant mengatakan bahwa Negara harus menjamin kedudukan setiap warga Negara. Oleh karena itu, setiap warga Negara tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang oleh penguasa. Demi mencapai tujuan tersebut, perlu dibentuk Negara hukum sehingga setiap tindakan Negara harus berlandaskan hukum. Menurut Niccolo Machiavelli Menurut Niccolo Machiavelli, tujuan negara adalah membentuk kekuasaan negara. Dalam bukunya II Principle (Sang Pangeran), Niccolo Machiavelli menjelaskan bahwa pemerintahan merupakan sebagai satu-satunya cara memperoleh kekuasaan dan menjalankannya. Ia menekankan bahwa untuk membentuk kekuasaan Negara, pemerintah dapat berbuat apa saja. Jika perlu pemerintah dapat berbuat curang demi menyelamatkan Negara. Oleh karena itu, pemerintah yang lemah tidak akan bertahan lama atau akan cepat mengalami kehancuran. Menurut Roger H. Soltau Tujuan negara adalah sedapat mungkin mampu membuat rakyatnya berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin (The freest possible development and creative self-expression of its members). Menurut Harold J. Laski Tujuan negara adalah menciptakan suatu keadaan di mana rakyat dapat meraih keinginan-keinginan mereka secara maksimal (Creation of thoese conditions under which the members of the state may attin the maximum satisfaction of their desires). Menurut Shang Yang Menurut Shang Yang satu-satunya tujuan negara adalah mengumpulkan kekuasaan negara yang sebesar-besarnya dengan cara menyiapkan tentara yang kuat, dan berdisiplin. Jika negara ingin kuat, rakyat harus lemah.
Menurut J. Barents Ada tiga tujuan negara, yaitu: Untuk memelihara ketertiban dan ketenteraman Mempertahankan kekuasaan Mengurusi hal-hal yang berkenaan dengan kepentingan-kepentingan umum. Menurut Kaum Sosialis Tujuan negara menurut kaum sosialis adalah memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan merata bagi segenap manusia. Untuk melaksanakan hal tersebut, semua alat-alat produksi dan distribusi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dimiliki oleh negara. Repost: http://www.ilmusiana.com
KEBERADAAN aparat militer TNI AD –dari Batalyon Infateri (Yonif) 753/Arga Vira Tama (AVT) Nabire dan Batalyon Infateri (Yonif) 751/Berdiri Sendiri Sentani– di Distrik Tingginanmbut, Kabupaten Puncak Jaya, Papua telah meresahkan warga setempat.
Pasalnya, kehadiran mereka dengan jumlah yang cukup banyak membuat masyarakat setempat tak aman hidup, bahkan untuk melakukan aktivitas sehari-hari sekalipun. (The Jakarta Globe, 12 Juli, 2011).
Samuel P Huntington (2003) dalam buku “Prajurit dan Negara: Teori dan Politik Hubungan Militer-Sipil” mengatakan militer profesional adalah mereka yang mampu jalankan tugas negara dengan sebaik-baiknya, tanpa korbankan warga sipil –termasuk membuat mereka takut untuk hidup.
Aktivis hak asasi manusia (HAM) melaporkan bahwa militer selalu mengintai setiap aktivitas warga sipil di wilayah tersebut. Bahkan, secara terang-terangan ada yang dituding sebagai anggota separatis.
Wartawan dan aktivis HAM juga tidak luput dari pengawasan. Bahkan, beberapa aktivis HAM lebih memilih keluar dari Puncak Jaya karena merasa sangat terancam.
Korban Warga Sipil
Kontak senjata antar militer dan orang tak dikenal sudah berlangsung lama. Dalam beberapa kali, militer juga menembak warga sipil –padahal mereka tak tahu menahu tentang aktivitas kelompok separatis.
Rumah-rumah penduduk sipil sering jadi sasaran operasi. Stigma separatis terus legalkan aparat militer untuk bertindak semena-menanya. Padahal, stigma tersebut tak bisa dibuktikan kebenarannya.
Akibatnya, banyak warga sipil setempat lebih memilih mengungsi ke wilayah diluar Puncak Jaya.
Peristiwa terhangat, pada 12 Juli, pukul 06.00 WIT lalu, terjadi lagi kontak senjata antar militer dan orang tak dikenal. Tanpa sebab, dilaporkan militer mendatangi warga sipil di setiap rumah, dan menembak yang dicurigai sebagai separatis.
Warga sipil yang menjadi korban adalah Ny. Dekimira (50 tahun), seorang Ibu terkena tembakan pada kaki sebelah kanan, Anak kandungnya Jitoban Wenda (4 tahun), juga terkena tembak pada kaki sebelah kiri. Dua anak lainnya tetangga Dekimira, Dekimin Wenda (4 tahun), dan Dimison Wenda (8 tahun), keduanya terkena peluru pada kaki bagian kiri.
Setelah kejadian, Panglima Kodam XVII/Cenderawasih Panglima Mayjen TNI Erfi Triasunu kepada media di Jayapura membenarkan peristiwa tersebut. Ia menuding Organisasi Papua Merdeka (OPM) berada dibalik aksi-aksi tersebut.
Jika benar pelakunya OPM, maka kenapa aparat militer tidak melakukan pengejaran hingga menangkap, dan juga dapat meminta pertanggung jawaban?
Selama ini aparat menuding OPM berada dibalik serangkaian kasus, tapi tak bisa membuktikan kebenaran pernyataan tersebut, yang sering ditangkap dan disiksa adalah warga sipil –kasus dua orang petani, Tunaliwor Kiwo dan Kindeman Gire yang disiksa dan hampir dibunuh oleh militer Indonesia adalah sebuah fakta yang tak bisa terelahkan.
Konfrensi Perdamaian Papua
Situasi di Puncak Jaya sangat kontras dengan pernyataan pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Menko Polhukam Djoko Suyanto, di Jayapura pada 5 Juli lalu saat membuka Konfrensi Perdamaian Papua (KPP).
Dalam sambutan ia menyatakan pentingnya menciptakan Papua sebagai tanah damai, dan tekad pemerintah dalam melakukan komunikasi konstruktif dalam menyelesaikan tiap masalah di Papua.
Kalau begitu, pertanyaannya, kenapa kebijakan operasi militer masih terus ditempuh dalam menyelesaikan tiap konflik di Puncak Jaya.
Apakah hal yang rumit pemerintah Indonesia membuka ruang berdialog dengan pihak-pihak yang selama ini dianggap berseberangan ideologi (baca: menginginkan kemerdekaan dari Indonesia).
Tekad dan komitmen pemerintah Indonesia dalam mewujudkan Papua tanah damai tak bisa hanya sebatas komentar-komentar di media massa, seminar, lokakarya, bahkan konferensi sekalipun.
Ia harus dibuktikan dengan tindakan nyata, juga kebijakan yang memang dapat ciptakan Papua sebagai tanah damai kedepannya.
HAM –untuk hidup aman dan damai– warga sipil di Puncak Jaya harus di dahulukan dari segala kepentingan –termasuk kepentingan keutuhan Negara Indonesia sekalipun.
Banyak orang ragu akan kinerja (baca: profesionalitas) militer di Puncak Jaya, dan menuding telah melakukan berbagai pelanggaran HAM berat jika pelaku penembakan aparat TNI pada 25 Juni lalu tak bisa diungkap ke publik.
Militer harus dapat membuktikan bahwa OPM selama ini berada dibalik serangkaian kasus tersebut. Atau jangan-jangan ada pihak lain diluar TNI maupun OPM. Siapa?
Dialog Bermartabat
Cara terbaik yang dapat ditempuh saat ini adalah aparat militer (baca: pemerintah Indonesia) membuka ruang dialog yang lebih bermartabat dengan kelompok yang selama ini berseberangan ideologi.
Jalan kekerasan (baca: operasi militer) yang telah lama ditempuh justru tak akan menyelesaikan konflik di Puncak Jaya, dan bukan tidak mungkin justru menambah konflik baru yang tensinya akan semakin meningkat.
Tiap perbedaan pandangan di dalam Negara demokrasi adalah hal yang wajar, dan tak pantas dihadapi dengan kekerasan, bahkan moncong senjata.
Komitmen pemerintah Indonesia ciptakan Papua tanah damai, dan secara khusus di Puncak Jaya masih akan terus dipertanyakan.
*Penulis warga Papua, tinggal di Jakarta dan kelolah sebuah kelompok diskusi yang dinamakan "Honai Study Club"
OCTHO- Saya sungguh tertarik dengan beberapa penggalan kalimat yang pernah di sampaikan pak King, Jr semasa beliau masih hidup. Mungkin kata-katanya sukar sekali diterima oleh setiap kita. Mungkin juga kita akan mengelak, seraya mengatakan bahwa konteks dulu dan konteks sekarang berbeda.
Tapi saya hanya ingin mengingatkan dengan penyampaiannya dibawah ini, bahwa tujuan hidup, serta akhir hidup ditentukan bukan oleh orang lain, tetapi oleh setiap keputusan-keputusan yang kita ambil saat ini. Mari simak penggalan kata-kata yang di sampaikan oleh beliau di bawah ini. - Dr. Martin Luther King, Jr. Pejuang kesetaraan bagi warga kulit hitam
“I say to you, this morning, that if you have never found something so dear and precious to you that you will die for it, then you aren’t fit to live. "You may be 38 years old, as I happen to be, and one day, some great opportunity stands before you and calls upon you to stand for some great principle, some great issue, some great cause.
"And you refuse to do it because you are afraid. "You refuse to do it because you want to live longer. You’re afraid that you will lose your job, or you are afraid that you will be criticized or that you will lose your popularity, or you’re afraid that somebody will stab or shoot or bomb your house. So you refuse to take a stand.
"Well, you may go on and live until you are ninety, but you are just as dead at 38 as you would be at ninety. "And the cessation of breathing in your life is but the belated announcement of an earlier death of the spirit.
"You died when you refused to stand up for right. "You died when you refused to stand up for truth. "You died when you refused to stand up for justice."
Sumber Foto: http://entrylevelliving.files.wordpress.com/2009/01/martin_luther_king3.jpg