“19 Steep Annessione Papua” Menggugat Sejarah Kemerdekaan Papua


PEMBEBASAN.ORG (9/1/2017); Kemarin (8/1/2017) KURR, sebuah kolektif performer yang mempunyai eksplorasi di wilayah Performance Art, mengadakan sebuah pertunjukan bernama “REC”. Pertunjukan yang dimulai pada tanggal 7 Januari 2017 ini digawangi oleh duabelas performer yang melakukan performance art secara bergiliran selama 24 jam di berbagai tempat di seputar Bandung Raya. Performance art ini dilakukan untuk merekam hal-hal yang terjadi selama 2017. Beberapa performance art mengangkat keadaan sosial-politik yang sedang terjadi.

Ada yang menarik saat penutupan performance “REC” ini. 5 orang mahasiswa Papua nampak berbaris rapi di sepanjang Jalan Aceh, Bandung, yang dikenal sebagai kawasan militer Kodam III Siliwangi. Sementara itu performer dengan berpakaian mandor proyek terlihat merayap-rayap di antara barisan mahasiswa Papua sembari membentangkan pita ukur seolah mengukur jarak dengan orang-orang Papua itu sebagai patoknya.

Ditanyai mengenai makna performance art-nya itu, Buli Ju (23) yang berperan sebagai performer menjelaskan bahwa performance art ini berjudul “19 Steep Annessione Papua”. ‘Annessione’ adalah bahasa Italia yang berarti ‘aneksasi’. Adapun makna dari performance-nya adalah mempertanyakan perihal sejarah kemerdekaan bangsa Papua yang hanya berusia 19 hari, sebelum Presiden Indonesia, Soekarno, mengeluarkan komando Trikora.

Buli Ju menuturkan, “19-steep annessione Papua” adalah upaya mempertanyakan angka itu. Angka tersebut adalah angka yang dibebani sejarah terenggutnya kebahagiaan otentik bagi tubuh yang mengalaminya. Mereka kira kemerdekaan tubuh, politik, ekonomi, akan dikecap dalam-dalam selama usia bumi ini. Nyatanya tidak. Hanya 19 hari usia itu dirasakannya. Ini tidak lain adalah produk dari sejarah yang didistraksi, sejarah yang disumbat–sehingga sampai saat ini kemerdekaan adalah puisi yang kehilangan metaforanya.

Sejarah, bagaimanapun tidak bisa dilepas seperti kita melepas kenangan atau memotong kenangan: diambil yang menguntungkannya saja. Sejarah mesti utuh. Akibatnya, jika sejarah dibaca dengan optik yang utuh, yang hadir adalah kesakitan dan kemarahan. Perlawanan dan penindasan. Kenapa begitu? Seperti diungkap di muka, bayangkan jika seluruh kejadian manusia bisa diingat dengan baik dari sejak kecil sampai usia dewasa, katakan, maka manusia akan berdiri di atas kebenaran dan cita-cita pembebasan. Sayangnya, sejarah hanya menjadi sayur tanpa garam–jika sejarah versi Indonesia pun dengan militer di dalamnya adalah sayur, maka yang hadir ke permukaan adalah sejarah ke-hero-an dan klaiming atas pencapaian mereka, versi mereka dan diturun-kembangkan pada setiap generasi, bahwa sejarah hanyalah status quo, dan kebenaran adalah milik kami. Sementara mereka lupa, ada garam yang belum mereka olah dalam sayur. Garam bisa dikaitkan dengan kebenaran yang tidak pernah diungkap dan diturun-kembangkan. Yang terjadi, sejarah kita saat ini, menjadi lauk-pauk yang hambar. Kehilangan seleranya.

Melalui ’19-steep annessione Papua’, saya mencoba menginterogasi tubuhku dengan tubuh di luarku. Pengukuran langkah kawan-kawan Papua di kota yang bukan tanah kelahirannya, dan bahkan di tanah kelahirannya sendiri, hanya terentang jarak per-sekian centimeter lagi. Mereka tidak berdaya di hadapan sejarah yang ditelikung itu. Saya mencoba khidmat, mengukur jalan, langkah mereka–per-19 langkah–dengan alat meteran pakaian/pita ukur sepanjang 150 centimeter. Di hadapan pita ukur, akan berapa nyawa lagi yang akan habis, tentu kita ketahui bersama dengan alat tembak.”, papar Buli Ju. (Irf)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »