Peluncuran Pusat Kajian Papua di UKI

PADA hari Senin, 11 April 2011, bertempat di Universitas Kristen Indonesia (UKI), Cawang, Ruang Seminar Lantai III, Gedung B telah diluncurkan Pusat Kajian Papua (PKP).
Acara dibuka secara resmi oleh Rektor UKI yang diwakili oleh pembantu rektor bidang akademik, Prof Wesley BP Simanjuntak, ME.

Dalam sambutannya ia mengapresiasi niat baik didirikannya Pusat Kajian Papua di kampus UKI. Menurutnya pusat kajian Papua yang dibentuk harus menjadi “corong” dalam menyuarakan setiap aspirasi masyarakat Papua.

“Lembaga ini harus bekerja secara mandiri, agar tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai cita-cita Negara ini dapat tercapai. Saya mewakili kampus menyambut baik pelucuran pusat kajian Papua tersebut,’ Ucap Simanjuntak.

Sementara itu, Ir. SM Doloksaribu, M.Ing, ketua Lembaga Penelitian Pengabdian Masyarakat dan Pengembangan Bisnis UKI, serta ketua panitia acara dalam sambutan menyatakan bahwa tujuan didirikan pusat kajian Papua agar dapat mengakaji setiap permasalahan yang terjadi di tanah Papua, dan dapat memberikan alternative-alternatif dan solusi melalui kajian ilmiah.

“Pusat kajian Papua untuk sementara akan meliput dua bidang utama, yakni kajian sosial budaya, dan kajian pemerintahan,” Kata Doloksaribu.

Bidang Sosial-Budaya yang dimaksud meliputi Kebudayaan, Gender, SDM, Agama, dan Masyarakat. Bidang pemerintahaan dan politik meliputi; Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dewan Adat, Demokrasi, Politik, Otsus Papua, serta Perdamaiaan dan Lingungan Hidup.

Hadir sebagai pembicara, Dr. Rizal Ramli (Ekonomi Senior Indonesia), Dr. Vience Tebay, M.Si (Dosen Fisipol Universitas Cenderawasih Papua), Daniel Alexander (Pimpinan Yayasan PESAT Nabire), dan Natalis Pigay, S.Sos, M.Sc (Tokoh intelektual Papua), serta bertindak sebagai moderator, Angel Damayanti, S.Sos, M.Si (Dosen Fisipol Unverisitas Kristen Indonesia).

Dalam pemaparannya, Dr. Rizal Ramli mengatakan pendekatan militeristik seperti di masa Orde Baru masih ditemukan di Papua. Berbeda dengan praktik militeristik di zaman Orba, di era reformasi ini yang menjadi pemain utama adalah polisi. Pendekatan militeristik inilah yang menjadi penyebab timbulnya keinginan sebagian orang Papua untuk melepaskan diri dari Indonesia.

“Saya sangat prihatin, cara-cara kekerasan masih digunakan aparat militer untuk menyelesaikan setiap permasalahan di tanah Papua” ungkapnya.

Ia juga mengkritisi tindakan pejabat Papua yang kerap kali melakukan tindakan korupsi, juga penggunaan dana Otsus yang begitu boros oleh birokrasi pemerintah. “Penggunanan dana Otsus yang dipakai oleh pejabat birokrasi sebesar 70%, sedangkan sisanya turun sampai pada warga masyarakat. Seharusnya rasio ini dibalik, 70% untuk warga masyarakat, sedangkan 30% untuk birokasi,” katanya menjelaskan. .

Papua merupakan daerah yang kaya akan sumber daya alam. Kenapa rakyatnya masih berada digaris kemiskinan. “Jika kekayaan SDA itu di kelolah dengan baik, tentu akan memberikan manfaat yang besar bagi rakyat Papua,” jelasnya.

Sementara itu pemateri berikut, Dr. Vience Tebay, M.Si dalam materinya tentang “Pelayanan Publik dengan Paradigma Baru” mengukapkan bahwa pelayanan publik, terutama yang dilakukan pemerintah terhadap masyarakat Papua masih sangat jauh dari harapan.

“Pemerintah tak pernah menjalankan fungsi mereka dalam pelayanan publik secara sepenuhnya terhadap masyakarat Papua. Ini yang menjadi kendala hingga masyarakat Papua tak berkembang,” kata Vience.

Ia juga menambahkan, pembangunan Papua terasa berat karena ada tumpang tindih peraturan yang dibuat pemerintah pusat, termasuk setiap instruksi presiden maupun keputusan presiden. Seharusnya pemerintah memerhatikan kebutuhan masyarakat Papua sebelum membuat sebuah peraturan atau kebijakan.

Vience juga menyoroti pentingnya dibuat sebagai lembaga yang menjadi pusat, atau database bagi setiap permasalahan di tanah Papua. Tolak ukur untuk liat pencapaian dan keberhasilan masyarakat Papua adalah melalui database yang ada. Jika ada database, maka masyarakat maupun pemerintah dapat bercermin sebagai acuan pembangunan di tanah Papua.

Sementara Natalis Pigay, S.Sos, M.Sc yang juga tokoh intelektual Papua memaparkan kondisi rill Papua, serta apa yang perlu dilakukan oleh akademis maupun pusat kajian Papua yang telah dibentuk. Dari beberapa kondisi rill yang terjadi di tanah Papua, Pigay menyoroti pendapatan asli daerah yang terkecil di tengah kelimpahan sumber daya alam.

Ia juga mengkritisi PT Freeport Indonesia yang belum menjalankan amanat UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, misalnya belum membayar pajak pertambangan umum kepada pronvinsi Papua sebesar 80% yang seharusnya dilakukan perusahan multi-nasional ini.

“Sampai saat ini PT FI hanya mampu bayar pajak bagi hasil sumber daya alam sebesar 18% atau sekitar 500 milyar, dari yang seharusnya 80% atau sekitar 6 trilyun sesuai amanat UU Otsus, “tegas Pigay.

Pigay juga menyoroti epidemi korupsi yang menggurita. Seharusnya dana Otonomi Khusus yang diperuntukan bagi Papua digunakan untuk pembangunan tanah Papua dan manusianya, bukan dipakai para pejabat untuk memperkaya diri mereka sendiri.

“Para pejabat di Papua harus diawasi, agar korupsi tak menjalar hingga kemana-mana. Ini yang buat sehingga pembangunan di Papua tak pernah maju dan baik,” tegasnya.

Pembicara terakhir, Daniel Alexander dalam materinya tentang Strategi Pembangunan Pendidikan di Pedalaman Papua menyatakan membangun Papua harus dimulai dari pendidikan. Dan membangun masyarakat Papua juga harus dengan hati.

“Masyarakat Papua butuh sentuhan kasih sayang. Setiap tenaga pendidik yang ada harus mengajar dan mendidik anak-anak Papua dengan kasih sayang,” jelasnya.

Hal ini telah dibuktikan beliau, bagaimana pendidikan pola asrama telah dibuka sejak tahun 1997 di pedalaman Papua, yang berpusat di Kabupaten Nabire. Disana puluhan hingga ratusan anak-anak Papua didik dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas, dan kemudian dikirim untuk melanjutkan pendidikan tinggi di luar Papua.

“Saya bias bertahan dan membangun pendidikan di Papua belasan tahun karena kedepankan kasih sayang dalam membangun pendidikan dan masyarakat Papua,” katanya.

Tampak hadir dan juga memberikan sambutan, Ibu Annie Numberi (Tokoh wanita Papua), Jhon Gluba Gebze (Tokoh masyarakat Papua). Secara pribadi Ibu Annie maupun Jhon Gluba Gebze sebagai tokoh masyarakat Papua bangga dengan niat baik dari kampus UKI untuk membuka pusat kajian Papua.

Acara ditutup pukul 14.00 Wib, setelah sebelumnya dilakukan sesi tanya jawab. Pihak penyelenggara juga mendapat beberapa rekomendasi dari peserta seminar dari diskusi yang berkembang. (*)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »