Saat itu tanggal 16 Maret 2006, kira-kira pukul 12.25 WIT. Himbauan tersebut tak diindahkan ratusan mahasiswa. Mereka tetap memilih duduk bertahan di jalan raya, tepat depan Gapura Kampus Universitas Cenderawasih, Jayapura.
Mereka duduk berhadapan dengan aparat berseragam polisi anti huru-hara. Aparat memegang pentungan, tongkat, hingga pistol. Jumlah mereka kira-kira 300-an orang. Ditambah dengan aparat intelejen yang berseregam preman kurang lebih 100-an orang. Jumlah keseluruhan hampir 400-an orang.
Aksi demo telah berlangsung tiga hari lamanya, yakni; sejak tanggal 14 Maret. Massa pendemo menamakan diri dari Parlemen Jalanan dan Front Pepera PB. Intinya, mereka menolak keberadaan PT Freeport Indonesia di tanah Papua.
Tiga tuntutan utama adalah, pertama, meminta PT Freeport Indonesia ditutup. Kedua, meminta pasukan TNI/Polri ditarik dari lokasi Freeport, dan ketiga, bebaskan 7 tahanan akibat bentrokan di Timika, Papua.
Tidak sampai hitungan menit setelah datangnya suara tadi, lima aparat kepolisian dari pengendalian masyarakat (Dalmas) Polda Papua keluar dari barisan. Tiga orang dari sebelah kiri massa, dan dua dari sebelah kanan. Tanpa komando yang jelas, mereka langsung menyemprot gas air mata ke arah massa.
Dengak sigap massa pendemo dibubar paksakan. Mereka dipukul. Dihajar hingga babak belur. Tidak pandang, laki-laki atau perempuan. Bahkan ada anak-anak kecil disekitar tempat para pendemo turut menjadi korban kebrutalan polisi.
Tidak terima dengan perlakuan aparat, mahasiswa balik serang. Polisi terus dihujani batu dan lemparan kayu. Tiga anggota polisi meninggal di tempat.
Mereka adalah Pratu Daud Soleman, Seorang Anggota Pengendali Massa (Dalmas), Brigadir Syamsudin (Brimob) dan Briptu Arisona Horota (Brimob).
Mereka tak kuasa dan kabur. Daud dan Syamsudin meninggal seketika. Arisona sempat dilarikan ke Rumah Sakit Daerah Abepura, sebelum meninggal dengan luka tusuk di pinggang dan luka-luka akibat lemparan batu.
Tragedi kemanusiaan yang dikenal dengan “Uncen Berdarah” ini berlangsung kurang lebih lima menit. Ratusan mahasiswa melarikan diri. Sekitar belasan diantara mereka menyebarang ke Negara tetangga. Mereka meminta suaka di Negara Papua New Guinea. Sejak tahun 2006 hingga saat ini beberapa masih tetap berada disana.
Kira-kira pukul 14.00 WIT, aparat kepolisian dibantu Brimob Polda Papua mampu menguasai Abepura hingga Jayapura. Kota ini sangat tegang. Aktivitas lumpuh total. Tak ada warga sipil yang berani keluar dari rumah. Anak-anak sekolah yang baru saja pulang enggan berkeliaran.
Sore harinya, aparat kepolisian di bantu TNI AD melakukan operasi besar-besaran. Puluhan asrama mahasiswa yang tersebar di Abepura, dan Jayapura didatangi aparat. Tanpa sebab dan akibat, mereka diangkut paksa ke kantor polisi. Mereka dipukuli secara brutal. Bahkan ada yang dipaksa jadikan tersangka.
Besoknya, sekitar pukul 08.00 WIT pagi, pasukan Brimob masih melakukan penyisiran dan penembakan membabi buta disekitar kawasan Abepura dan Kampus Uncen. Aksi tembakan ke udara ini berlangsung sekitar 1 jam dan sempat membuat warga sekitar ketakutan, terutama anak-anak.
Dengan menggunakan kendaraan roda dua dan empat, Brimob melakukan penyisiran di wilayah Abepura dan Kotaraja dengan mengeluarkan tembakan ke udara. Akibat dari tembakan 3 warga sipil terkena peluru nyasar yaitu Solehah (39) terkena peluru di paha kanan, Ratna Sari (12) terkena pada jari kaki kanan, dan Chatrin Ohee (9) terkena di bagian bahu kanan.
Selain itu tanpa komando, personil Brimob Papua melakukan sweeping terhadap setiap kendaraan yang melintas di jalan dekat Markas Brimobda Papua Kotaraja.
Dari 73 orang yang ditangkap saat aksi massa, setidaknya 10 orang telah dijadikan tersangkat. Dan hingga saat ini, beberapa masih menjalan hukuman. Namun, ditubuh aparat militer, tidak ada satupun yang dijadikan tersangka. Ini tentu tidak adil.
Aparat Militer telah melakukan pelanggaran HAM berat terhadap mahasiswa dalam peristiwa “Uncen Berdarah” , dan karena itu harus ada yang segera bertanggung jawab. Ini tentu menimbulkan sikap ketidakpercayaan rakyat Papua terhadap Negara Indonesia.
Selpius Bobii, yang juga mantan tahanan politik kasus 16 maret, dan saat ini sebagai Sekjen Front PB kepada tabloid Jubi beberapa waktu lalu mengemukakan, bahwa pemerintah harus bertanggung jawab atas semua kerugian yang dialami korban pelanggaran HAM 16 Maret 2006.
Dan kepada Kapolda Papua agar segera mencabut Daftar Pencarian Orang (DPO) terhadap Hans Gebze serta membebaskan Tapol Napol Papua lainnya.
Awan hitam masih menggantung dilangit Papua. Kapan rasa keadilan masyarakat akan dipenuhi. Hingga kapanpun, rakyat Papua, terutama korban “Uncen Berdarah” menuntut keadilan dari Negara Indonesia.
Tuntutan keadilan harus berlaku pada siapa saja, tanpa pandang bulu. Orang Papua, maupun bangsa dan kelompok manapun.
Sampai kapanpun, rakyat Papua tetap menuntu keadilan dari pemerintah Indonesia. Dan meminta pertanggung jawaban Negara terhadap semua insiden brutal ini.
Tulisan ini telah dimuat di majalah Cermin Papua.
Sumber gambar Google.