PERGOLAKAN PAPUA
“Tinjauan Sosiologi-Politik”
Oleh
Fakta mengenai rontoknya rasa persatuan dan kesatuan oleh daerah-daerah yang terintegrasi dalam Negara kesatuan republic Indonesia kini tengah menjadi persoalan yang kian rumit saja, problematika ini tentu saja di karenakan persoalan di tataran sosio-politik yang tidak seimbang, fleksibel terutama dalam mengakomodir semua kepentingan lapisan masyarakat oleh Negara. Salah satu dari polemic dan problematika tersebut ialah persoalan papua, saya mencoba untuk melakukan pendekatan sosio-politik sebagai salah satu upaya untuk mendapatkan pemahaman yang sedalam-dalamnya mengenai problematika pergoalakan di papua yang volumenya semakin bertambah dewasa ini, juga sekaligus mendapatkan suatu kemungkinan solusi yang sekiranya melalui refleksi serta penyegaran perspektif dan cara pandang kita.
Suatu konsepsi dan sudut pandang
§ Sosiologi
hal penting yang perlu digaris bawahi dari sub-pembahasan ini ialah, merumuskan suatu definisi sosiologi yang berlaku umum bukan maksud utama dari tulisan ini, yang saya bicarakan disini ialah sosiologi sebagai suatu ilmu empiris, dengan sedikit catatan historis dan sebagaimana soerjono soekamto dalam bukunya mengemukakan bahwa sosiologi sebagai ilmu pengetahuan murni dalam rangka mendapatkan pemahaman sedalam-dalamnya mengenai kondisi masyarakat. Mengingat persoalan di papua ialah persoalan mengenai hakikat social-politik yakni manusia dalam masyarakat, masyarakat dalam Negara.
Baiklah di mulai dengan sedikit catatan historis tentang asal-usul mengenai istilah tersebut. Ialah August Comte (1798-1857), orang yang pertama kali menggunakan istilah tersebut pada tahun 1839, sebelumnya August Comte menggunakan istilah “fisika social” mengenai manusia dan masyarakat, akan tetapi karena istilah tersebut sudah digunakan oleh Quetelet, ahli matematika dari belgia, untuk menunjuk studi statistika tentang gejala moral (1836), maka Comte kemudian menggantinya dengan istilah sosiologi.
Gagasan-gagasan ataupun konsepsi tentang ilmu kemasyarakatan sebetulnya telah di mulai sejak jaman yunani kuno, filsuf-flsuf besar di jaman itu seperti plato dan aristoteles telah berbicara tentang masyarakat dan Negara, namun umumnya gagasan-gagasan tersebut masih sangat normative, artinya dengan gambaran-gambaran mengenai masyarakat dan Negara yang baik. Sementara di Indonesia sendiri perkembangan disiplin ilmu sosiologi sendiri telah di mulai sejak pecahnya revolusi fisik (soerjono soekanto-sosiologi suatu pengantar), seiring lahirnya kaum sosialis yang mempunyai peran penting terhadap revolusi Indonesia
Oleh karenanya, perlu bagi kita untuk membedakan antara sosiologi dan sosialisme, yang tidak saya inginkan menjadi kekeliruan pemaknaan serta permainan kata semata mengenai ke dua istilah tersebut. Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang kategoris, murni abstrak, umum, rasional, empiris dan sosialisme sebagai suatu paham atau gagasan sebagai landasan perspektif untuk melakukan tindakan-tindakan ke arah perubahan, khususnya mengenai kelas-kelas dalam masyarakat, yang umummnya menjadi pemicu peperangan yang lebih tepat kita kategorikan sebagai salah satu penyebab dari sengketa ideology. Ini Nampak mudah tapi sebetulnya sulit membedakannya, sama halnya dengan komunisme sebagai sebagai suatu filsafat politik dengan komunisme sebagai suatu system ekonomi yang sering disebut sebagai “sosialisme” dengan semboyannya “setiap orang memberikan sesuai dengan kemampuannya, dan setiap orang memperoleh sesuai dengan kebutuhannya”.
§ Politik
Istilah “politik” kini bukan lagi sesuatu yang asing di telinga kita, sebagai istilah yang acap kali di gunakan untuk menterjemahkan secara praktis mengenai kondisi yang terjadi dalam masyarakat, kiranya inilah yang mendasari bagaimana suatu opini dan fakta kemudian di gabungkan sehingga semakin keruhlah substansi dan esensi dari politik itu sendiri. Maka menjadi perlu untuk meletakan kembali politik pada pengertian substansi dan esensinya, sejatinya politik ialah tentang kekuasaan dan otoritas, sebagai kekuatan dan kewenangan, ia di bangun dari kebutuhan kepentingan-kepentingan dalam konteks Negara berarti berhubungan dengan kepentingan masyarakat.
Sebagian besar para sarjana politik menaruh perhatian khusus pada lembaga-lembaga legislative, eksekutif, partai politik dan kelompok-kelompok kepentingan (Rafael raga maran). Yang menjadi focus dari sub-pembahasan ini ialah mendapatkan mencoba menemukan arti berbeda terkait persoalan papua, dengan kata lain saya ingin melihat dari kacamata politik sebagai suatu sudut pandang yang berbeda terhadap persoalan papua. Sebab pada hakekatnya setiap manusia memiliki kepentingan, demikianpun dengan masyarakat juga Negara.
Politik sebagaimana dunia terjebak dalam polemicnya yang tak terhindarkan, ini di sebabkan karena pada umumnya orang melihat adanya hubungan antara paham politik, ontology, dan antropologi kefilsafatan disebabkan oleh struktur-struktur politik yang scupnya luas. Menurut hemat saya politik sebagai sudut pandang melingkupi Negara, persamaan/kesetaraan dan kebebasan/merdeka. Akan tetapi perlu saya tegaskan ialah suatu filsafat politik selalu didasarkan pada teori metafisika dan epistimologi yang bulat, agar tidak terjadi kekeliruan maka perlu juga memperhatikan pandangan-pandangan dibidang aksiologi (memperhatikan masalah nilai), terutama sekali menyangkut suatu cita-cita politik.
Sosiologi – politik
Sebagai perspektif
Didalam kenyataan, bahwa belum ada suatu teori umum tentang sosiologi-politik yang disepakati dan diterima oleh semua sarjana terkait mengenai rumusannya, akan tetapi metode dan pendekatan ke arah tersebut beragam sekali, ini karena pada kenyataannya senantiasa ambivalen, disini saya mengambil posisi pada model pendekatan dan pemahaman secara komparatif, yakni tentang gejala-gejala social-politik dari suatu masyarakat dengan menekankan lebih ke fenomena dimana dunia ini selalu terseret dalam berbagai pertikaian dan peperangan, tataran itu diantaranya :
- Ideology
- Politik
- Social budaya
- Ekonomi
- HanKam
- Manusia
Dalam tataran yang saya sebutkan di atas, bagi saya perlu landasat filsafat, memilahnya menurut substansi dan esensinya :
- Filsafat social ialah sebagai usaha untuk mendapatkan jawaban dan arah atas problematika social, bentuknya berupa kritik terhadap proses social dengan menunjuk prinsip-prinsip yang mendasarinya, yakni terkait dengan struktur dan fungsi lembaga social.
- Filsafat politik ialah mendapatkan pemahaman atas sistematika mengenai tujuan pemerintah dan bukan bagaimana fungsi pemerintah.
Dengan demikian saya kira sudah cukup jelas pembagian esensi kedua istilah tersebut termasuk saling terkaitnya sebagai suatu perspektif, konsepsi dan sudut pandang, guna mencoba melakukan analisa terhadap persoalan papua. Maka perlu bagi saya mengemukakan beberapa pertanyaan pengantar, yakni; apakah persoalan papua adalah mengenai pelanggaran HAM? Perihal apa yang menyebabkan pergolakan di papua terus meningkat dari tahun ke tahun? Terkait Freeport, apakah ini berarti pergolakn di papua telah terintervensi kepentingan kelompok tertentu? Apakah pergolakan ini bisa disebut sebagai kehendak sejarah menuju untuk papua merdeka? Apakah pemberontakan OPM adalah gejala revolusi? Mengapa begitu banyak sekali kelompok-kelompok perjuangan kebebasan di papua? Dimanakah peran Negara? Terkait kebebasan dan kemerdekaan, manakah yang menjadi hak papua? Lalu apakah kesetaraan hanyalah wacana? Ataukah Negara hanya milik sekelompok RAS tertentu?
Beberapa pertanyaan umum tadi hanyalah sedikit dari banyak pertanyaan dari persoalan, yang sebetulnya jauh lebih dalam rakyat papua sendiri hidup dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai masa depan anak cucu mereka kelak. Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa wilayah tersebut memilih untuk dimasukkan ke dalam Republik Indonesia dengan referendum yang dikenal sebagai “Tindakan Pemilihan Bebas” pada tahun 1969. Pernyataan ini ditolak oleh para pendukung organisasi yang menuduh Tindakan Pemilihan Bebas tidak sukarela dan tidak mewakili populasi mayoritas penyuara kebebasan.
Terkait hal tersebut, perlu kiranya untuk mengkaji kebebasan atau juga kemerdekaan terlebih dahulu;
Negara, kebebasan-kemerdekaan, dan hak rakyat
§ kebebasan ontologis dan kebebasan sosio-politik
sejumlah besar sengketa yang timbul diantara penganut ideology-ideology politik dan ekonomi berpusat pada sekitar pengertian mengenai “kemerdekaan”. Pemaknaan ini perlu dilandaskan pada gagasan pokok mengenai kebebasan dan atau kemerdekaan tersebut, sebagaimana penjelasan saya di awal tulisan ini, ialah “seseorang dikatakan bebas ataupun merdeka apabila ia sendiri yang menentukan tujuan dari urusan-urusan serta perbuatannya, yang berarti ia mandiri”.
Pergolakan di papua salah satunya ialah mengenai perjuangan kebebasan, sebagai bentuk kritik terhadap kelas-kelas dalam konteks ke negaraan. Mengakui kebebasan dalam arti ontologism tidak berarti ada kemerdekaan dalam arti politik, akan tetapi hal semacam itu mungkin ada, sebagaimana di awal tulisan, bahwa kebebasan dalam arti ontologism di lawankan dengan determinisme, artinya kebebasan tersebut bebas secara pilihan, akan tetapi tidak dalam menentukan nasib sendiri, sebagaimana kemerdekaan dalam arti politik di lawankan dengan perbudakan.
Populasi masyarakat papua yang sebagian besar adalah masyarakat tradisional, dengan budaya serta ke arifan localnya telah mengundang kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan untuk mengeksplorasi kekayaan alamnya yang berlimpah, Freeport adalah salah satu contoh nyata. Ironi ini di perparah oleh kondisi masyarakat yang mulai ter stigmatisasi. Sementara itu di barisan kaum intelektual putra-putri papua sendiri pun mengalami kebuntuan untuk mendamaikan perseteruan yang terjadi pada lapisan masyarakat modern dan tradisional, setiap suku memiliki bahasa masing-masing, ini menjadi halangan dan tantangan sekaligus juga cambuk bagi barisan intelektual Papua yang hendak melakukan sosialisasi politik mengenai kebebasan dan kehendak bersama.
Yang perlu dipahami bersama ialah ketika manusia mulai membentuk kelompok-kelompok maka dengan demikian telah terjadi pembatasan terhadap kepentingan individual, lebih mengedepankan kepentingan kelompok yang dibentuk tersebut, dari kelompok tersebut kemudian membentuk suatu Negara melalui gerakan-gerakan social, gerakan pembaharu, maka dengan demikian telah membatasi kepentingan individual juga masyarakat yang tadinya adalah kelompok-kelompok. Artinya saat kehendak untuk bernegara itu terealisasikan maka sejatinya kebebasan ataupun kemerdekaan tadinya yang mendasari gerakan social juga gerakan pembaharu tadi menjadi terbatas dan ditentukan sesuai dengan asas kebutuhan ataupun kepentingan mayoritas.
Pertanyaannya ialah, mengapa gerakan social/pembaharu papua sangat menginginkan tujuan social dan politiknya tercapai dan yakin bahwa mereka dapat mencapainya? Apakah ini keinginan mayoritas rakyat papua? Ataukah kelompok kepentingan yang telah terintervensi oleh berbagai kepentingan yang memboncengi gerakan tersebut? Orang kebanyakan akan menjawab ini sebagai suatu “dendam sejarah”, namun orang kebanyakan juga akan dibingungkan dengan oleh siapa ini dilakukan? Jika di kaitkan dengan protes warga kulit hitam pada tahun 1960-an di amerika serikat, menurut anggapan beberapa sosiolog, ialah akibat dari peningkatan kesadaran akan arti kerugian relative dikalangan warga kulit hitam, mereka mengalami adanya jurang antara apa yang actual mereka miliki dan apa yang mereka harapkan dan rasakan sebagai hak mereka.
Umumnya gerakan-gerakan social/pembaharu muncul sebagai suatu fenomena modern, yang lahir bersamaan dengan perkembangan demokrasi modern setelah revolusi amerika dan prancis (abad ke 18), melahirkan banyak intelektual yang memperjuangkan demokrasi, runtuhnya komunisme dan kolonialisme eropa barat dan timur adalah bukti semakin banyak kesadaran akan hak-hak mengenai kebebasan dan kemerdekaan. Demikian pun yang terjadi dengan Indonesia, sebagai salah satu Negara yang berhasil melakukan revolusi melalui gerakan-gerakan perjuangan dalam bentuk fisik oleh rakyat dipadukan dengan perjuangan intelektual pemudanya.
Menjadi ironi yang memilukan ialah dalam perjalanannya yang kemudian melahirkan reformasi, setiap pemerintahan di bangsa ini masih belum menemukan cara efektif untuk merawat setiap wilayahnya, hal itu dibuktikan dengan lepasnya timor-timur, juga pergolakan yang terjadi di aceh, riau, Maluku dan papua yang hingga kini menjadi semakin kompleks polemiknya. Fakta mengenai papua sudah sedemikian nyatanya, mudahnya akses mengenai informasi pelanggaran-pelanggaran HAM di papua menjadi contoh riil akan ketidak harmonisan Negara dengan wilayahnya, demikianpun dengan hak-hak rakyat yang tidak di peroleh secara total bahkan sudah di berlakukan OTSUS sekalipun.
Negara secara prinsip ketatanegaraan dengan otoritasnya akan melaksanakan dua fungsi pengawasannya yakni :
1.) Control A-priori (preventif)
2.) Control A-posteriori (represif)
terlihat jelas pada penyelesaian pergolakan yang terjadi di papua, melalui tahapan serta perangkatnya untuk mengkonfigurasikan fungsi tersebut seperti :
a.) Operasi langsung (direct operatione)
b.) Pengendalian langsung (direct control)
c.) Pengendalian tak langsung (indirect control)
d.) Pemengaruhan langsung (direct influence)
e.) Pemengaruhan tak langsung (indirect influence)
Ini serta merta tidak bisa di pandang dipandang sebagai kepentingan NKRI semata sebab Negara lain pun akan melakukan hal yang sama, terkait dengan asetnya yang ada di wilayah papua. Mengapa ini menjadi persoalan yang bukan saja mengenai Negara dalam menjaga wilayahnya akan tetapi juga betapa ini menjadi keruh dan samar/kabur mengenai solusi apa yang hendak di upayakan Negara serta landasan apa yang sekiranya patut menjadi alasan penting tercapainya kebebasan dan kemerdekaan di papua, sementara kebebasan dalam bentuk ontologism bukan berarti kemerdekaan secara politik, karena pada hakikatnya ketika papua merdeka sekalipun maka dengan demikian telah terjadi pilihan yang didalamnya berlaku pembatasan atau lebih tepat disebut penentuan atas pilihan tersebut, dikarenakan harus menjalani kepentingan mayoritas yang memperjuangkan kemerdekaan dari papua itu sendiri.
Sebuah langkah harus diambil ditengah kenyataan mengenai perubahan politik dan konflik, Negara harus mengakui setiap perubahan politik lewat siklus lima tahun pergantian rezim seringkali dalam melasanakan fungsi A-posteriori (represif) masih menggunakan cara-cara kekerasan, berbagai studi menunjukan dampaknya, baik secara sistemik maupun emosional. Demikian yang terjadi di papua, selalu terlihat langkah represif tersebut, hal ini memungkinkan rekayasa pemengaruhan tak langsung (indirect influence) oleh pihak ketiga yag bisa berasal dari intern instrument Negara juga dari luar instrument Negara.
Pergolakan yang terjadi di papua mengindikasikan telah terjadi ketidak puasan politik baik dalam skala besar maupun skala kecil, jurang yang terbuka lebar tumbuh subur di lapisan social dan ekonomi, pressure yang dilakukan oleh gerakan-gerakan perjuangan di papua menjadi sangat beralasan, dan menjadi salah satu factor dimana kualitas demokrasi NKRI masih sangat jauh dari kemungkinan baru. mengutip tulisannya Tocqueville dalam democary in America berargumentasi bahwa demokratiasi dirawat bukan hanya melalui struktur konstitusionalnya, melainkan juga melalui kemakmuran ekonominya, tata kelakuan, adat kebiasaan, dan kepercayaan regiligius.
Dengan demikian dapat di takar dengan jelas alasan dari kelompok perjuangan tersebut serta peran Negara dan Negara lain terkait kepentingannya di wilayah papua, ini juga berarti warning bagi perjuangan dan gerakan pembaharu disana.
§ Demokrasi pluralistic, interaksi, landasan dan orientasi ideologis
Negara kesatuan republic Indonesia ialah Negara plural, yang terdiri dari pulau pulau dengan keseragaman budaya serta ke arifan localnya, oleh karenanya system demokrasi harus di pahami sebagai demokrasi pluralistic, inilah yang perlu di konfigurasikan Negara didalam menjalankan fungsinya, akan tetapi pemahaman seperti ini tidak dimiliki oleh sebagian besar elit politik dinegeri ini.
Adapun interaksi sebagai salah satu perangkat sosialisasi menjadi tumpul di sebabkan kemampuan diplomasi Negara yang tak sanggup menyentuh level bawah, banyak penelitian mengenai masyarakat tradisional terutama suku-suku yang ada di papua, bahwa sebagian besar dari etnis tersebut tidak mengenal NKRI, dan bahkan mereka hidup dengan prinsip-prinsip hukum alam. Sementara itu pembedaan ras didalam pergaulan social pun telah mengindikasikan bahwa NKRI hanya dimiliki oleh ras tertentu.
Sosialisasi politik sebagai interaksi yang gagal ini kemudian membuat jurang terciptanya kelas-kelas dalam social dan ekonomi didalam masyarakat papua, sekaligus memangkas hak-hak asasi rakyat, seperti pendidikan dan kesempatan mengembangkan ekonominya secara progress. kapitalisasi di sector penting ekonomi papua memicu intelektual papua melakukan kritik terhadap Negara. Demikianpun dengan kewajiban Negara membangun pendidikan di papua, kurikulum yang tidak mengikuti perkembangannya, pembangunan fisik gedung-gedung sekolah tidak merata dan cenderung di monopoli, kondisi ini tidak hanya terjadi di papua akan tetapi hampir di seluruh provinsi di negeri ini sarat dengan monopoli, ini menandakan bahwa Negara sebagai suatu kekuatan kedaulatan rakyat kini seperti hanya milik segelintir orang dengan kepentingannya.
Memang ada proses, akan tetapi ketik proses itu semakin mengarahkan rakyat ke arah penderitaan maka berarti proses yang di tempuh telah keluar dari esensi pembangunan, karena perlu ke arifan bagi generasi pembangun agar pembangunan itu menjadi proses yang di hormati oleh rakyat. Demokrasi pluralistic sesungguhnya merupakan harusnya di sadari Negara untuk memprakarsai tindakan kolektif secara langsung, bisa dibangun lewat ketrampilan intelektual yang sanggup berinteraksi dan melakukan sosialisasi politik di lapisan bawah, atau berkaitan dengan segmen-segmen tertentu dari masyarakat yang menghendaki perubahan.
Sementara itu di sudut reproduksi budaya di papua sendiri tengah mendapat tantangan dari apa yang di sebut “counter culture” = budaya tandingan, dalam hal ini krisis legitimasi telah terjadi seiring runtuhnya nilai-dan norma didalam masyarakat, yang berarti kehilangan kekuatan persuasifnya, di akibatkan juga dari dominasi politik kepentingan pusat ke daerah papua yang diskriminatif. Dan pada akhirnya polemic pergolakan papua ini akan bermuara pada yang namanya REVOLUSI, kehendak dan keinginan untuk bebas secara social, dan merdeka secara politik.
Hadirnya gerakan-gerakan perjuangan ke arah tersebut sebetulnya telah berlangsung cukup lama, koneksinya pun semakin menguat di level diplomasi internasional, ini adalah kehendak sejarah, telah ada korban jiwa, telah ada catatan hitam atas di penggalnya hak-hak asasi rakyat, telah ada darah yang tertumpah dan menjadi dendam sejarah, pendekatan penyelesaian konflik yang sarat dengan cara-cara kekerasan seperti mengajarkan kita mengenai membangun bangsa dengan militerisme, belum sembuh luka orde baru akan tetapi papua terus menelannya sebagai takdir sejarah, kini sebagai rakyat yang tertindas papua berhak untuk ada dalam irama kebebasan menentukan nasib sendiri, namun bukanlah mudah membawa kebebasan kedalam ranah kemerdekaan, sebab butuh proses yang namanya menemukan landasan serta orientasi ideologis terlebih dahulu.
Ketika keinginan untuk memisahkan diri dari wilayah NKRI itu menjadi bulat secara mayoritas maka Negara sejatinya harus menghormatinya, ketika upaya diplomasi berupa sosialisasi-politik gagal, jaringan ekonomi yang sepihak, serta monopoli kekuasaan itu semakin menjadi tradisi Negara demokrasi pluralistic maka revolusi perlu di lakukan, dan papua telah mengambil suatu langkah untuk memperjuangkan kemungkinan baru bagi masa depannya kelak.
Suatu gerakan social yang bertujuan untuk revolusi di segala aspek kehidupan rakyat haruslah di landaskan pada ideologi, dan landasan tersebut harus di bangun bersama secara kolektif, agar orientasinya jelas dan mampu memperjuangkan seluruh kepentingan rakyat didalamnya. Perjuangan gerakan-gerakan social di papua umumnya belum punya landasan ideologis ini, akibatnya seringkali terjadi benturan antara kelompok pejuang dan rakyat sipil yang tidak tahu menahu mengenai tujuan kelompok pejuang tersebut.
Koordinasi serta interaksi menjadi penting, terutama sekali sanggup menyentuh lapisan tradisional masyarakat papua. Belajar dari sejarah agar dapat membaca dan melaksanakan kehendak sejarah, ungkapan ini jelas bahwa orientasi ideologis adalah alasan dan landasan perekat semua element rakyat papua, juga menjadi penentu identitas gerakan perjuangan tersebut, ketika di intern rakyat telah menjadi padu menuju kemerdekaan maka langkah selanjutnya ialah membangun diplomasi dengan dunia internasional, tentu langkah yang bijak apabila di pusatkan pada Negara-negara sosialis, sebab pada umumnya politik pintu terbuka (open door policy) yang di canangkan soeharto alhasil membuka lebar gerbang bagi capitalism di segala bidang. Kiranya ini yang perlu di perhatikan dengan teliti oleh gerakan pejuang, agar perjuangan tersebut tidak diboncengi dan benar-benar pure sebuah perjuangan, agar menjadi pelajaran sejarah bagi peradaban Indonesia ke depan.
Dengan demikian sampailah tulisan ini pada kesimpulan terlepas tulisan ini di nilai sebagai pro terhadap gerakan perjuangan di papua ataukah tinjauan ilmiah mengenai persoalan papua maka saya tegaskan bahwa tulisan ini adalah kegelisahan mengenai keduanya, yakni kecintaan kepada NKRI dan penghormatan terhadap cita-cita social-politik dan mimpi kebebasan serta kemerdekaan oleh rakyat papua. Keduanya punya alasan ilmiah baik sebagaimana di uraikan dalam tulisan ini, dan semoga kita menjadi semakin paham bahwa “yang benar menurut Negara ialah pembatasan mengenai kebebasan rakyat terkait pilihannya, dan yang baik untuk rakyat ialah kemerdekaan di segala aspek kehidupannya”.
Sumber : Jong Sulawesi